Definisi Hirabah Pengertian Perompak
SANKSI BAGI PEROMPAK (HIRABAH)
Hirabah
adalah keluarnya sekelompok bersenjata di daerah Islam dan melakukan
kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan,
merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlaq, dan ketertiban umum,
baik dari kalangan muslim, maupun kafir [dzimmiy maupun harbiy]. [Sayyid
Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab Hirabah].
Termasuk dalam hirabah (perompak), adalah kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh sindikat, mafia, triad, dan lain-lain. Misalnya, sindikat
pencurian anak, mafia perampok bank dan rumah-rumah, sindikat para
pembunuh pembayaran, tawuran massal, dan lain-lain.
Hirabah” berasal dari kata ‘harb’ [peperangan]. Para ‘ulama sepakat bahwa tindakan hirabah (perompak) termasuk dosa besar yang layak dikenai sanksi hadd.
Hukum hirabah (perompak) dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan
kakinya secara bersilangan, atau dibuang dari negerinya. Ketentuan ini
didasarkan pada firman Allah swt,artinya;
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan
membuat kerusakan di muka bumi, tidak lain mereka itu dibunuh, atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya); yang demikian itu adalah
sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia. Dan di akherat mereka
memperoleh siksaan yang berat." [Al-Maidah:33]
Ayat
ini turun berkenaan dengan hirabah (perompak), baik yang dilakukan oleh
orang-orang muslim maupun kafir. Sebab, ayat itu berbentuk umum. Tidak
ada dalil yang mengkhususkan bahwa hukuman itu khusus hanya untuk kaum
muslimin. Lanjutan ayat tersebut adalah sebagai berikut,
“kecuali
orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [al-Maidah:34]
Lanjutan ayat ini tidak menunjukkan kekhususan hukum hirabah (perompak) bagi kaum muslimin. Sebab, “taubat” dalam ayat ini maksudnya adalah taubat dari hirabah (perompak), baik yang
dilakukan oleh kaum muslimin maupun orang-orang kafir. Hal ini
diperkuat dengan sebab turun ayat; yakni apa yang dilakukan oleh kaum
Urniyyin. Mereka murtad dari Islam, kemudian membunuh penggembala onta,
dan merampok onta-ontanya, lalu melarikan diri. Setelah mereka
tertangkap -sebelum bertaubat-, Rasulullah saw memerintah untuk memotong
tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, dan membiarkan mereka
di pinggiran Harrah, sampai mereka mati. Selanjutnya, -menurut Anas-,
turunlah ayat ini. [lihat. ‘Abdurrahman Maliki, Nidzam al-‘Uqubaat, hal.75-76]
Imam Abu Daud dan Nasaiy juga mengetengahkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Sekumpulan
orang merampas onta Rasulullah saw, kemudian mereka murtad dari Islam,
membunuh penggembala onta Rasulullah saw yang mukmin, kemudian beliau
mengutus untuk mengikuti jejak mereka. Akhirnya mereka tertangkap,
kemudian tangan dan kaki mereka dipotong, dan biji matanya dicongkel.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Lalu turunlah ayat ini [al-Maidah:33].”
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa surat al-Maidah ayat 33 itu
bersifat umum, mencakup kaum muslim maupun orang-orang kafir.
……
REALITAS HIRABAH
Sanksi had bagi muharibiin (perompak)
akan dijatuhkan bila tindakan mereka telah mencerminkan realitas
hirabah (perompak). Adapun syarat-syarat yang bisa menetapkan, bahwa
suatu tindakan disebut tindakan hirabah ada tiga syarat.
Pertama, lokasi
hirabah yang dilakukan oleh pelakunya harus di tempat yang jauh dari
tempat keramaian. Semisal di padang rumput yang jauh, di gunung, atau
tempat yang sangat jauh dari lokasi penduduk. Jika tindakan itu
dilakukan di tempat keramaian, maka namanya bukan tindak hirabah, akan
tetapi perampasan biasa. Sebab yang disebut dengan hirabah adalah
penyamunan, atau perampokan yang dilakukan di jalan-jalan. Akan tetapi,
bila mereka melakukan tindakan pembunuhan, perampasan harta, dan teror
di tempat-tempat keramaian, maka tindakan mereka dianggap sebagai
hirabah dan berhak dijatuhi sanksi had. Ini adalah pendapat mayoritas
‘ulama Fiqh, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan lain-lain.
Kedua, pelaku
membawa senjata yang dapat digunakan untuk membunuh, semisal pedang,
senapan, golok, dan lain-lain. Jika mereka tidak membawa senjata, atau
bersenjatakan alat-alat yang –pada ghalibnya— tidak bisa digunakan untuk
membunuh, seperti, tongkat, cambuk, dan lain-lain, maka tindakan mereka
tidak disebut dengan hirabah (perompak).
Ketiga, dilakukan
dengan terang-terangan. Mereka merampas harta dengan paksa dan
terang-terangan, dan memiliki markas. Jika mereka mengambil harta dengan
cara sembunyi-sembunyi mereka disebut suraaq (pencuri-pencuri). Jika mereka merampas kemudian melarikan diri, mereka disebut penjambret.
Jika tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka tindakan itu tidak disebut sebagai hirabah (perompak).
Apabila
pelaku hirabah (muharibiin) bertaubat sebelum mereka tertangkap, taubat
mereka diterima. Mereka juga tidak dikenai sanksi had. Akan tetapi, ia
harus menunaikan hak-hak orang yang mereka dzalimi, atau hak-hak anak
Adam (huquq al-adamiyyin). Ini didasarkan pada firman Allah swt,
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [al-Maidah:34].
Jika mereka bertaubat setelah tertangkap, maka mereka tetap dikenai sanksi had.
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar