Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 05 Januari 2013

Dasar Pengharaman Minuman Keras (Khamer)

Dasar Pengharaman Minuman Keras (Khamer)



APAKAH PENGHARAMAN KHAMER KARENA BENDANYA SENDIRI ATAU KARENA UNSUR MEMABUKKANNYA

Sisi lain yang perlu dibahas adalah perbedaan pendapat mengenai “apakah pengharaman khamer itu karena bendanya sendiri, atau karena memabukkannya?”

Pendapat yang menyatakan, khamer diharamkan karena unsur mabuknya, bukan karena substansi khamernya sendiri, didasarkan suatu anggapan, bahwa  ‘illat (atau sebab) diharamkannya khamer adalah karena mabuknya. Dengan kata lain, khamer menurut mereka adalah jenis minuman yang membuat mabuk atau tertutupinya akal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah swt, artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat” [al-Maidah:91]. Mereka juga mengetangahkan riwayat-riwayat shahih dari Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw bersabda, ”Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap khamer adalah haram.” Al-Tirmidzi dan al-Nasaa’iy meriwayatkan sebuah hadits, artinya, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga diharamkan.” Berdasarkan riwayat-riwayat ini, mereka berpendapat, khamer diharamkan bukan karena dzatnya, akan tetapi karena unsur memabukkannya. Oleh karena itu, mereka mengkategorikan semua minuman yang memabukkan termasuk bagian dari khamer.

Pendapat ini sangat lemah. Pendapat yang lebih sharih adalah, khamer itu dilarang karena dzatnya sendiri. Artinya, khamer bukanlah benda yang bersifat maknawi, akan tetapi ia adalah sebutan tertentu atau nama bagi benda tertentu. Adapun bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai berikut;

    1.  Tidak ada ‘illat pada perkara makanan dan pakaian. Nash-nash yang berhubungan tentang larangan khamer sama sekali tidak mengandung ‘illat. Dampak-dampak buruk akibat minum khamer bukanlah ‘illat pengharaman khamer. Sebab, bila dampak-dampak buruk ini (semisal, munculnya sikap permusuhan, lalai sholat dll) bisa dihilangkan artinya hukum minum khamernya juga akan lenyap. Sebab, kaedah ‘illat berbunyi, “al-‘illat taduru ma’a ma’luul wujudan wa ‘adaman” [Illat itu beredar kepada apa yang di’illati ada atau tidak adanya].

Seseorang yang minum bir akan tetapi dia tidak mabuk, dan malah menimbulkan perasaan ukhuwah, melenyapkan kebencian dan permusuhan, atau menambah semangat dalam bekerja, tentu aktivitas minum bir tidak lagi haram. Sebab, minum bir tidak lagi menimbulkan dampak-dampak buruk bagi peminumnya. Jelas, hal ini tentu akan bertentangan dengan sabda Rasulullah saw, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya adalah haram.” [HR. Abu Daud, dan Turmudzi] Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang mengkonsumsi minuman yang memabukkan walaupun sedikit maka ia telah terjatuh pada tindak haram. Dan kita tahu, seorang yang minum sedikit, tentu tidak akan mabuk. Dan hadits itu menekankan bahwa walaupun seseorang minum sedikit (dan tidak mabuk), akan tetapi karena benda yang diminum itu adalah khamer, maka ia telah melakukan kemaksiyatan kepada Allah.

Oleh karena itu, dampak-dampak buruk akibat minum khamer (memabukkan) bukanlah ‘illat diharamkannya khamer, akan tetapi ia hanya dampak saja, tidak lebih dari itu. Adapun mengapa khamer dilarang oleh Allah, maka selama tidak ada keterangan dalam al-Quran dan Sunnah yang menerangkan hal itu, kita harus menerima pengharamannya begitu saja tanpa perlu bertanya sebab pengharamannya.

2. Ada riwayat yang sangat jelas menyatakan bahwa pengharaman khamer bukan karena unsur mabuknya akan tetapi karena dzatnya sendiri. Abu ‘Aun al-Tsaqafiy meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah bin Syaddad dan Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Khamer itu diharamkan karena bendanya itu sendiri, sedangkan (diharamkan) mabuknya itu adalah karena hal lain.” Nash ini  tidak memerlukan takwil lagi bahwa khamer diharamkan karena dzatnya bukan karena sifat memabukkannya. Walhasil, khamer diharamkan karena benda khamer itu sendiri memang haram, bukan karena memabukkannya.

3. Riwayat lain yang menguatkan bahwa khamer adalah dzat itu sendiri adalah, “Jika khamer berubah menjadi cuka, maka ia boleh dikonsumsi (cukanya). Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusy menyatakan, bahwa para ‘ulama sepakat bolehnya minum khamer yang berubah menjadi cuka. Ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dari Anas bin Malik yang menceritakan bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi saw tentang anak-anak yatim yang mendapatkan warisan khamer. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Tumpahkanlah khamer itu”. Abu Thalhah bertanya lebih lanjut, “Apakah tidak boleh aku olah menjadi cuka”. Nabi saw berkata lagi, “Jangan.” Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan al-Tirmidzi. Hadits ini hanya menunjukkan larangan untuk mengolah khamer menjadi cuka. Akan tetapi bila khamer sudah berubah menjadi cuka, dibolehkan untuk diminum.

Khamer yang berubah menjadi cuka tentu bukan khamer yang bermakna “semua sifat yang memabukkan”. Sebab, candu, ganja, opium dan lain-lain tidak bisa berubah menjadi cuka. Ini menunjukkan bahwa khamer adalah benda tersendiri. Dalam penelitian modern menunjukkan bahwa etanol (substansi dari khamer) memang bisa berubah menjadi cuka (asam asetat).
Argumentasi ini sudah cukup untuk mengokohkan pendapat yang menyatakan bahwa khamer adalah zat yang memiliki susbtansi tersendiri. Khamer bukanlah sifat.

Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam