Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Januari 2013

Penolakan Terhadap Bolehnya Poligami Menolak Syariah

Penolakan Terhadap Bolehnya Poligami Menolak Syariah



Persepsi Salah Yang Harus Diluruskan : Penolakan Terhadap Poligami

    Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa poligami tidak disyari’atkan di dalam Islam. Mereka berargumentasi bahwa adil merupakan syarat bagi poligami, padahal di ayat yang lain dinyatakan bahwa manusia tidak pernah bisa berbuat adil. Ayat yang dimaksud adalah surat al-Nisa’ ayat 129, artinya, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kami terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamubiarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-Nisaa’:129]

    Pendapat semacam ini tidak pernah keluar dari ulama’-‘ulama terkenal dari kalangan kaum muslim. Bahkan, perkara bolehnya poligami merupakan perkara yang sudah masyhur di kalangan para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam madzhab. Pendapat di atas adalah pendapat menyimpang dan bathil yang menyalahi syari’at Islam yang telah pasti. Penakwilan yang mereka lakukan adalah penakwilan menyimpang yang tidak sejalan dengan maksud ayat-ayat tersebut di atas.

    Bantahan atas pendapat anti-syariah di atas sebagai berikut.

Keadilan bukanlah syarat poligami.

Sebab, surat al-Nisaa’ ayat 3 telah menjelaskan dengan sangat gamblang hal ini, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi, dua tiga, atau empat” Ayat ini menunjukkan dengan jelas bolehnya melakukan poligami secara mutlak, dan kalimat itu telah selesai (sempurna) dan berdiri sendiri.

Selanjutnya dimulai kalimat baru (kalam musta’nif) dengan makna baru, ”Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Kalimat ini bukanlah kalimat persyaratan. Sebab kalimat ini tidak bergabung dengan kalimat sebelumnya, akan tetapi sekedar kalam musta’nif (kalimat permulaan). Seandainya hal ini adalah kalimat persyaratan, tentu ayat itu akan berbunyi, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi), dua tiga, atau empat jika kamu dapat berlaku adil”. Akan tetapi, kalimat pertama telah selesai dan sempurna maknanya, kemudian disambung dengan kalimat baru berikutnya. Susunan kalimat semacam ini menunjukkan dengan jelas bahwa, keadilan bukanlah syarat untuk menikahi wanita lebih dari satu orang.

Kalimat pertama menunjukkan hukum syara’ yang berbeda dengan kalimat yang kedua. Kalimat pertama menunjukkan hukum bolehnya poligami sebatas empat orang saja, sedangkankan kalimat kedua menunjukkan hukum lain, yaitu lebih disukai untuk menikahi satu orang saja jika dengan berpoligami itu akan menyebabkan suami tidak bisa berlaku adil di antara mereka. Akan tetapi, kalimat kedua ini sama sekali tidak menafikan (meniadakan) pengertian ayat yang pertama.

    Atas dasar itu, keadilan bukanlah syarat dan tidak boleh dijadikan syarat bagi ayat pertama (surat al-Nisaa’:3]. Sebab, ayat di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa adil bukanlah syarat bagi poligami. Siapapun yang menafsirkan bahwa keadilan merupakan syarat untuk berpoligami, berarti ia telah menafsirkan al-Quran dengan gegabah dan telah menyimpangkan penafsiran yang benar.

Perhatikan pendapat Prof. Mahmud Syaltut, “Sungguh mengherankan, ada orang yang berdalil dengan ayat-ayat ini bahwa poligami tidak disyari’atkan di dalam Islam. Mereka beralasan bahwa keadilan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh ayat pertama (surat al-Nisaa’:3), sedangkan ayat kedua (surat al-Nisaa;129) menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin bisa berlaku adil. Dengan demikian makna dua ayat itu telah berubah: poligami diperbolehkan dengan syarat adil, sedangkan adil tidak mungkin dipenuhi oleh manusia. Walhasil, poligami tidak diperbolehkan. Jelaslah kesimpulan semacam ini telah menyia-nyiakan ayat-ayat Allah dan mengubah pengertian ayat-ayat tersebut..” [Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.189]

    Akan tetapi, keadilan yang dituntut di sini bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, akan tetapi keadilan terhadap kaum wanita yang masih dalam batas kemampuan manusia. Sebab, Allah swt tidak membebani manusia kecuali sebatas kemampuannya. Allah swt berfirman, artinya:

    “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS al-Baqarah:286]

    Memang benar, kata ta’diluu pada surat al-Nisaa’:3 berbentuk umum mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi keumuman ayat ini telah ditakhshish sesuai dengan kemampuan manusia. Artinya, keadilan yang dituntut oleh Allah swt dalam masalah poligami bukanlah keadilan yang bersifat umum baik dalam masalah fisik dan non fisik, akan tetapi yang dituntut oleh Allah swt adalah keadilan dalam masalah fisik (materi) yang masih dalam jangkauan manusia. Ayat yang mentakhsish keumuman ayat di atas (surat al-Nisaa’:3) adalah surat al-Nisaa’ ayat 129. Allah swt berfirman, artinya:

    “Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian.  Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung.” [QS al-Nisaa’:129]

    Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami mustahil berlaku adil dan bersikap seimbang di antara isteri-isterinya, hingga ia tidak condong sama sekali terhadap salah satu isterinya. Keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan dalam masalah kasih sayang dan jima’ (syahwat/ berhubungan badan suami-istri).

    Mohammad bin Sirin berkata, “Saya bertanya mengenai ayat ini kepada ‘Ubaidah, kemudian ia menjawab, ”Kasih sayang dan jima’ (syahwat)” [Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, hal.634]

    Dalam mengomentari ayat ini (QS al-Nisaa:129), salah seorang pakar tafsir Ibnu al-‘Arabiy, mengutip pendapat Abu Bakar al-Raaziy, menyatakan, “Ayat ini menunjukkan bolehnya memberikan taklif (beban) dengan sesuatu yang tidak mampu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya, Allah swt telah memerintahkan seorang laki-laki untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya, kemudian Allah swt memberitahu kepada mereka (suami-suami) bahwa mereka tidak akan mampu berbuat adil. Tentunya ini merupakan perkara yang sangat ganjil. Oleh karena itu, keadilan yang dituntut oleh Syaari’ adalah keadilan dalam masalah-masalah fisik (dhahir). Pengertian ini ditunjukkan ayat selanjutnya, artinya, “Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung.” [QS al-Nisaa’:129]”

    Ibnu ‘Arabiy melanjutkan lagi, “Ini merupakan perkara yang bisa disanggupi oleh manusia (yakni adil dalam masalah materi/fisik). Sedangkan keadilan yang diberitakan Allah kepada mereka bahwa, mereka tidak mungkin bisa menunaikannya, dan tidak akan dibebankan kepada mereka; adalah keadilan dalam masalah non fisik (kejiwaan). Oleh karena itu, Rasulullah saw bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya dalam masalah pembagian (dalam masalah-masalah fisik), sedangkan dalam hal kasih sayang (kesenangan hati) beliau tetap lebih condong kepada ‘Aisyah. Beliau saw bersabda, “Ya Allah, inilah kemampuan yang aku miliki, dan janganlah kamu meminta tanggung jawab kepadaku dalam masalah-masalah yang Engkau sanggupi namun tidak aku sanggupi.” [Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, hal.634]

    Ibnu al-‘Arabiy melanjutkan lagi, “Benar, masalah ini (kasih sayang dan jima’) tidak mungkin bisa dikuasai oleh seorangpun (maksudnya ia bisa berlaku adil dalam masalah ini terhadap isteri-isterinya, pentj.), sebab, hati manusia berada di antara dua ujung jari Allah Swt., di mana Allah Swt. bisa membolak-balikkannya sekehendakNya ...Seorang laki-laki akan lebih cenderung kepada salah satu isterinya. Jika dirinya tidak mampu berbuat adil dalam masalah ini, maka tidak ada paksaan bagi mereka. Sebab, hal-hal yang tidak mampu ia lakukan tidak berhubungan dengan masalah taklif (pembebanan).” [idem, hal.634-635]

    Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan melakukan poligami tanpa harus terikat dengan syarat keadilan. Adapun perintah agar seorang suami bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya hanya berhubungan dengan hal-hal yang masih dalam penguasaan dan kemampuan dirinya, yakni adil dalam masalah-masalah fisik/ materi. Misalnya, pembagian nafkah yang adil, menggilir mereka, atau menyantuni mereka, serta yang lain-lain.

    Sedangkan dalam masalah kasih sayang dan jima’, seorang suami mustahil mampu berlaku adil secara sempurna kepada isteri-isterinya. Akan tetapi, keadilan dalam masalah seperti ini, jima’ dan kasih sayang tidak meniadakan taklif bolehnya berpoligami. Bahkan, Allah swt mengijinkan seorang suami melakukan poligami meskipun ia tidak bisa berlaku adil dalam dua hal ini. Sebab, keadilan dalam hal kasih sayang dan jima’ di luar kemampuan manusia. Meskipun demikian, Allah swt melarang seorang suami terlalu cenderung atau condong kepada salah satu isterinya, sehingga yang lain teraniaya dan terdzalimi (tak terpenuhi haknya). Perhatikan kelanjutan surat al-Nisaa’:129, artinya,

    “Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung.” [QS al-Nisaa’:129]

    Pecahan kalimat, “Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung”, menunjukkan bahwa poligami diperbolehkan meskipun ia tidak mampu berbuat adil dalam masalah kasih sayang dan jima’. Pecahan ayat, “hingga yang lain terkatung-katung”, menunjukkan bahwa laki-laki itu sedang dalam kondisi berpoligami, atau isterinya banyak. Akan tetapi, ia dilarang condong kepada salah satu isterinya yang bisa berakibat teraniayanya isteri-isterinya yang lain. Akan tetapi, ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seorang suami dilarang condong kepada salah satu isterinya. Yang dilarang adalah kecondongan berlebihan sehingga isteri yang lain terlantar dan teraniaya (tak terpenuhi haknya). Walhasil, ayat ini dengan sangat jelas menjelaskan bolehnya seorang laki-laki melakukan poligami.

    Pengertian ayat semacam ini sama dengan ayat berikut ini, artinya:

    “Janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu royal dalam memberi).” [QS al-Israa’:29]

    Ayat ini mengandung pengertian bolehnya kita memberi kepada orang lain, akan tetapi dilarang terlalu royal atau berlebihan. Dengan kata lain, memberi kepada orang lain bukanlah suatu yang dilarang. Yang dilarang adalah terlalu royal atau berlebihan dalam memberi.

    Atas dasar itu, Allah Swt. tidak melarang suami untuk bersikap condong kepada salah satu isterinya, tetapi melarang bersikap condong berlebihan kepada salah satu isterinya sehingga yang lain terkatung-katung dan terdzalimi. Oleh karena itu, pengertian surat al-Nisaa’ ayat 129 tersebut adalah, “Jauhilah sikap condong yang berlebihan (atau kecondongan mutlak) kepada salah satu isterimu.”

    Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, Nabi Saw. bersabda, artinya, “Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia bersikap condong kepada salah satu di antara mereka, niscaya ia akan datang pada Hari Kiamat nanti sambil menyeret separuh badannya dalam keadaan terputus dan condong.” [HR. Ahlu al-Sunan, Ibnu Hibban dan Hakim]

    Hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas bolehnya seorang laki-laki melakukan poligami. Manthuq hadits ini menyatakan dengan sangat jelas, “Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia bersikap condong kepada salah satu di antara mereka”, bahwa seorang suami boleh melakukan poligami, meskipun ia tidak bisa bersikap adil dalam masalah kasih sayang dan jima’. Hadits ini semakin memperkuat pengertian surat al-Nisaa:129, bahwa seorang laki-laki boleh saja condong kepada salah seorang isterinya, akan tetapi jangan sampai melebihi batas sehingga berakibat isteri yang lain terlantar dan terkatung-katung.

    Atas dasar itu, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara isteri-isterinya sesuai dengan kemampuannya, baik dalam hal bermalam, memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain sebagainya [masalah fisik]. Sebaliknya, dalam masalah kasih sayang dan jima’, seorang suami boleh bersikap condong kepada salah satu isterinya. Sebab, hal ini di luar kemampuan dirinya dan termasuk perkara yang dikecualikan berdasarkan nash-nash al-Qur'an. Akan tetapi ia tidak boleh condong secara berkelebihan yang mengakibatkan isterinya yang lain terlantar.

    Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara mendetail dan mendalam. Kesimpulannya, keadilan bukanlah syarat bagi poligami. Keadilan yang dituntut oleh Allah Swt. kepada seorang suami adalah keadilan dalam hal-hal yang masih berada di dalam kemampuannya, yaitu dalam masalah fisik/ materi. Akan tetapi, Allah Swt. tidak memerintahkan seorang suami untuk bisa berlaku adil dalam perkara kasih sayang dan jima’. Sebab, selain di luar kemampuannya, keadilan dalam dua hal ini telah ditakhshish berdasarkan nash-nash al-Quran. Seorang suami tidak mungkin bisa berbuat adil secara sempurna kepada para isterinya dalam dua hal ini, sebab Allah Swt. telah memberitahukan masalah ini.

Ketidakmampuan manusia untuk melakukan perkara ini menunjukkan bahwa perkara tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan taklif. Sebab, taklif (pembebanan hukum) hanya berhubungan dengan perkara-perkara yang mampu dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu ketidakmampuan manusia untuk bersikap adil dalam dua perkara ini sama sekali tidak menafikan bolehnya berpoligami. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Swt. membolehkan seorang suami condong kepada salah satu isterinya dalam hal kasih sayang dan jima’, akan tetapi kecondongan ini tidak boleh mengakibatkan isteri-isterinya yang lain terkatung-katung dan teraniaya. Rasulullah Saw. sendiri memiliki kecondongan kepada ‘Aisyah, akan tetapi beliau Saw. bisa berlaku adil dalam masalah-masalah fisik/ materi.

Penolakan Terhadap Bolehnya Poligami Menolak Syariah - Bacaan: buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam