Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan Kami
tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan
dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi
sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.”
(TQS. al-Furqan [25]: 20)
Para rasul
adalah utusan Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia. Sebagai
utusan manusia, mereka juga manusia. Sehingga mereka memiliki sifat-sifat
manusiawi yang melekat pada dirinya sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka
pun merasakan lapar dan haus sehingga memerlukan makan dan minum. Untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidup, mereka juga harus mencari nafkah. Oleh
karena itu, keberadaan sifat-sifat manusiawi tersebut tidak boleh dijadikan
alasan untuk menolak seorang rasul, bahkan menjadi bahan celaan.
Inilah di
antara yang diterangkan ayat ini.
Perbuatan Para
Rasul
Allah SWT
berflrman: “Wa maa arsalnaa qablaka min
al-mursaliin illaa annahum laya'kuluun al-tha'aam (dan Kami tidak
mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan).”
Menurut Fakhruddin al-Razi, ayat ini merupakan jawaban atas pertanyaan dengan
nada celaan dan hinaan oleh orang-orang musyrik, sebagaimana diberitakan dalam
ayat sebelumnya: “Dan mereka berkata:
"Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?”
(TQS. al-Furqan [25]: 7). Allah SWT pun menerangkan bahwa itu merupakan
kebiasaan yang berlangsung pada semua rasul-Nya. Maka tidak ada celaan atas
perkara tersebut.
Dengan jawaban tersebut, maka sikap kaum musyrik yang mempertanyakan
sifat manusiawi pada Rasulullah ﷺ tersebut terbantahkan. Makan dan minum bukan
merupakan perbuatan tercela. Bahkan bukan hanya dilakukan oleh Rasulullah ﷺ,
namun juga semua rasul sebelumnya. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata: “Allah
SWT berfirman yang memberitakan para rasul yang pernah diutus sebelumnya bahwa
mereka semua memakan makanan dan memerlukan makanan.”
Makan
memang bisa menjadi perbuatan tercela manakala makanannya haram, baik karena
dzatnya atau cara pemerolehannya. Terhadap para rasul-Nya, Allah SWT
memerintahkan mereka memakan makanan yang halal. Allah SWT berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh” (TQS. al-Mukminun [23]:
51). Ketentuan ini juga berlaku pada semua manusia sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya: “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (TQS. al-Baqarah
[2]: 68).
Di samping
juga: wa yamsyuuna fi al-aswaaq (dan
berjalan di pasar-pasar). Aktivitas utama di pasar adalah jual-beli. Aktivitas
ini dilakukan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Ketika
seseorang membutuhkan sesuatu, sedangkan dia tidak memilikinya, maka dia harus
mendapatkannya dari orang lain. Mekanisme yang paling umum dan dilakukan dengan
saling ridha adalah tukar-menukar dengan orang lain. Aktivitas inilah yang
dikenal sebagai jual-beli, dan pasar adalah pusat berlangsungnya aktivitas
tersebut. Dikatakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan berjalan
di pasar-pasar adalah bekerja untuk mendapatkan harta dan melakukan jual-beli.
Ini juga
bukan perbuatan tercela, baik bagi manusia biasa maupun para rasul. Sebab,
aktivitas jual-beli merupakan sesuatu yang dihalalkan.
Perlu ditegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh para rasul tersebut
merupakan sesuatu yang wajar. Sebab, sebagaimana dikatakan al-Samarqandi dalam Bahr al-‘Uluum, para rasul adalah Bani Adam, bukan para malaikat.
Atas dasar itu, maka penolakan dan celaan kaum musyrik terhadap Rasulullah ﷺ
karena memakan makanan dan pergi ke pasar terbantahkan.
Ayat ini
juga merupakan dasar bagi pelaksanaan sebab dan mencari penghidupan dengan
berdagang, membuat kerajinan, dan lain-lain. Demikian diterangkan al-Qurthubi
dalam tafsirnya, al-Jaami' li Ahkaam al-Qur'aan.
Cobaan untuk
Bersabar
Setelah membantah celaan kaum musyrik terhadap Nabi ﷺ,
kemudian Allah SWT berfirman: Wa ja'alnaa ba‘dhakum li ba'dh[in] fitnah (dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain). Khithab atau seruan ayat ini bersifat umum untuk seluruh
manusia. Demikian al-Syaukani dalam tafsirnya. Dengan demikian, sebagian
manusia dijadikan sebagai fitnah bagi sebagian lainnya.
Menurut
al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaaf, kata
al-fitnah berarti al-mihnah wa al-ibtilaa‘
(cobaan dan ujian). Diterangkan al-Qurthubi, maksudnya dunia adalah negeri
cobaan dan ujian. Maka Allah ingin menjadikan sebagian hamba cobaan bagi
sebagian yang lain secara umum, baik orang itu beriman maupun kafir. Orang yang
sehat adalah cobaan bagi orang yang sakit, orang kaya adalah cobaan bagi orang
miskin, dan orang fakir yang sabar adalah cobaan bagi orang kaya. Ini berarti,
setiap orang dicoba dengan temannya.
Orang kaya
dicoba dengan orang miskin. Karena itu, dia harus menyantuninya dan tidak
mengejeknya. Orang fakir dicoba dengan orang kaya, karena itu dia wajib tidak
dengki kepadanya dan tidak mengambil harta darinya kecuali apa yang diberikan
kepadanya. Selain itu, masing-masing dari keduanya bersabar atas kebenaran.
Orang-orang yang diberi cobaan berkata, "Mengapa cobaan itu tidak
dihapus dari kami?” Orang buta berkata, ”Mengapa aku tidak dijadikan seperi
orang yang melihat?” Seperti itulah yang dikatakan oleh setiap orang yang
mendapatkan cobaan. Rasulullah ﷺ yang secara khusus diberi kehormatan sebagai nabi
juga diberi cobaan yang datang dari orang-orang kafir di masanya. Begitu pula
dengan para ulama dan pemimpin yang adil. Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam
tafsirnya.
Terhadap
ketetapan tersebut, Allah SWT berfirman: atashbiruuna
(Maukah kamu bersabar?). Menurut al-Samarqandi, kalimat tanya ini bermakna
perintah. Artinya, bersabarlah kalian! Ini sebagaimana firman Allah SWT: “Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan
memohon ampun kepada-Nya?” (TQS. al-Maidah [5]: 74). Maknanya,
bertaubatlah kepada Allah.
Selain
sebagai dorongan agar bersabar, mendrut al-Baidhawi, juga bisa dipahami sebagai
'illah li al-ja'l (penyebab dijadikannya
realitas tersebut). Artinya, Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian
lainnya agar Kami mengetahui siapakah di antara kalian yang sabar. Ini semisal
dengan firman Allah SWT: “Supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (TQS. al-Mulk [62]:
2).
Ayat ini
diakhiri dengan firman-Nya: Wakaana Rabbuka
Bashiir[an] (dan adalah Tuhanmu Maha Melihat). Maksudnya, Allah SWT
mengetahui setiap orang yang bersabar dan yang gelisah, yang beriman dan yang
tidak beriman, serta yang menunaikan hak orang lain dan yang tidak
menunaikannya. Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya.
Dalam
konteks ayat ini, penegasan bahwa Allah SWT Maha Melihat ini merupakan wa'd li al-shaabiriin wa wa'iid li al-'aashiin
(janji kebaikan bagi orang yang sabar dan ancaman bagi pelaku kemaksiatan).
Demikianlah, Rasulullah ﷺ tidak berbeda dengan para rasul sebelumnya dalam
sifat-sifat manusiawinya. Bagi Rasulullah ﷺ, semua celaan dan ejekan, penentangan dan permusuhan
kaum kafir merupakan ujian dan cobaan bagi beliau. Dan sesungguhnya, manusia
dijadikan ujian dan cobaan bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, solusi atas
semua itu adalah sabar. Tetap teguh dan kokoh dalam menetapi syariah-Nya dalam
keadaan apapun.
Semoga kita
dijadikan sebagai orang-orang yang bersabar berjuang di jalan-Nya. WalLah a'lam bi al-shawab.[]
Ikhtisar:
1. Perbuatan makan dan pergi ke pasar dilakukan oleh seluruh rasul,
sehingga tidak ada alasan bagi kaum musyrik mencela Rasulullah ﷺ
karena melakukan perbuatan tersebut.
2. Sebagian
manusia menjadi cobaan dan ujian bagi sebagian lainnya, maka manusia wajib
menjaga dirinya agar menjadi orang yang sabar.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 134