Menurut aqidah Islam, hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah,
yakni hukum Allah, bukan hukum buatan manusia. Karena itu,
dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari wahyu.
Penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu harus
dengan qath’i (definitif/ pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah,
sementara akidah tidak boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi
keyakinan.
Apabila sumber
hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum yang dihasilkannya menjadi salah
pula.
وَمَا
يَتَّبِعُ
اَكْثَرُهُمْ
اِلَّا ظَنًّاۗ
اِنَّ
الظَّنَّ لَا
يُغْنِيْ
مِنَ الْحَقِّ
شَيْـًٔاۗ
اِنَّ
اللّٰهَ
عَلِيْمٌ ۢبِمَا
يَفْعَلُوْنَ
“Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. (10) Yunus: 36)
Dalil-Dalil Syariah yang
Diakui
Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang
menunjukan pada sesuatu yang kongkrit (hissi) atau yang abstrak (maknawi).
Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat
petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan
penelaahan yang sahih bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb
khabari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status
hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu
Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297).
Adapun
dalil-dalil hukum syariah yang diakui dan telah memenuhi
kualifikasi qath’i, pasti bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
Dalil bahwa
al-Qur’an berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya,
merupakan dalil yang qath’i (pasti).
Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang
berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf,
disampaikan secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai
dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul
Qur’ân, hlm. 8).
Kemukjizatan
al-Qur’an juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an merupakan kalam (firman) Allah, bukan
perkataan manusia.
وَاِنْ
كُنْتُمْ
فِيْ رَيْبٍ
مِّمَّا نَزَّلْنَا
عَلٰى
عَبْدِنَا فَأْتُوْا
بِسُوْرَةٍ
مِّنْ
مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا
شُهَدَاۤءَكُمْ
مِّنْ دُوْنِ
اللّٰهِ اِنْ
كُنْتُمْ
صٰدِقِيْنَ
“(Dan) apabila
kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. (2) Al-Baqarah: 23)
Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti
menyebutkan bahwa wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ .
قُلْ
اَيُّ شَيْءٍ
اَكْبَرُ
شَهَادَةً ۗ
قُلِ اللّٰهُ
ۗشَهِيْدٌۢ
بَيْنِيْ
وَبَيْنَكُمْ
ۗوَاُوْحِيَ
اِلَيَّ
هٰذَا
الْقُرْاٰنُ
لِاُنْذِرَكُمْ
بِهٖ وَمَنْۢ
بَلَغَ ۗ اَىِٕنَّكُمْ
لَتَشْهَدُوْنَ
اَنَّ مَعَ اللّٰهِ
اٰلِهَةً
اُخْرٰىۗ
قُلْ لَّآ
اَشْهَدُ ۚ
قُلْ اِنَّمَا
هُوَ اِلٰهٌ
وَّاحِدٌ
وَّاِنَّنِيْ
بَرِيْۤءٌ
مِّمَّا
تُشْرِكُوْنَ
“Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah." Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur’an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)...” (QS al-An’am [6]: 19)
قُلْ
اِنَّمَآ
اُنْذِرُكُمْ
بِالْوَحْيِۖ
وَلَا
يَسْمَعُ
الصُّمُّ
الدُّعَاۤءَ
اِذَا مَا
يُنْذَرُوْنَ
“Katakanlah (hai
Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian
dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila
mereka diberi peringatan.” (QS al-Anbiya’
[21]: 45)
Dua ayat ini
dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa
al-Qur’an disampaikan melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
Selain dari
bahasanya, isi Al-Qur'an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya
perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath),
juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Persia (QS. Ar-Ruum) dsb.
Selain itu, isi Al-Qur'an juga menunjukan tentang kejadian sejarah terdahulu
yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian iptek, misalnya
penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dsb, yang
pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukan bahwa Al-Qur'an
memang bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan
Pengatur alam semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan
keharusan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan kehidupan dan hukum
manusia.
2. As-Sunnah
As-Sunnah dan al-Hadits pengertiannya sama, yaitu perkataan,
perbuatan dan ketetapan yang datang dari Rasulullah ﷺ (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178).
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang
merupakan dalil yang dibawa oleh wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara
redaksinya dari Rasulullah saw.—telah disebutkan dengan tegas dan jelas di
dalam beberapa ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَمَا
يَنْطِقُ
عَنِ
الْهَوَى * إِنْ
هُوَ إِلا
وَحْيٌ
يُوحَى
“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm [53] : 3-4)
قُلْ
إِنَّمَا
أَتَّبِعُ
مَا يُوحَى
إِلَيَّ مِنْ
رَبِّي
Katakanlah,
“Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku
kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203)
وَمَا
آتَاكُمُ
الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ
وَمَا
نَهَاكُمْ
عَنْهُ
فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا
اللَّهَ
إِنَّ
اللَّهَ
شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa
yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS al-Hasyr [59]: 7)
Ayat-ayat ini
dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang diucapkan Rasulullah ﷺ tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan
jelas pula Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang
Rasulullah perintahkan, dan menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil yang qath’i.
Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan
berdasarkan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni
sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
Al-Qur'an telah
menegaskan bahwa selain dari Al-Qur'an, Rasulullah ﷺ juga menerima wahyu yang lain, yaitu ‘Al-Hikmah’ yang
pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan, ataupun
ketetapan (diamnya).
لَقَدْ
مَنَّ
اللّٰهُ
عَلَى
الْمُؤْمِنِيْنَ
اِذْ بَعَثَ
فِيْهِمْ
رَسُوْلًا
مِّنْ اَنْفُسِهِمْ
يَتْلُوْا
عَلَيْهِمْ
اٰيٰتِهٖ
وَيُزَكِّيْهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتٰبَ
وَالْحِكْمَةَۚ
وَاِنْ
كَانُوْا
مِنْ قَبْلُ
لَفِيْ
ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Sungguh Allah
telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara
mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran: 164)
هُوَ
الَّذِيْ
بَعَثَ فِى
الْاُمِّيّٖنَ
رَسُوْلًا
مِّنْهُمْ
يَتْلُوْا
عَلَيْهِمْ
اٰيٰتِهٖ
وَيُزَكِّيْهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتٰبَ
وَالْحِكْمَةَ
وَاِنْ كَانُوْا
مِنْ قَبْلُ
لَفِيْ
ضَلٰلٍ
مُّبِيْنٍۙ
“Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2)
وَاذْكُرْنَ
مَا يُتْلٰى
فِيْ
بُيُوْتِكُنَّ
مِنْ اٰيٰتِ
اللّٰهِ
وَالْحِكْمَةِۗ
اِنَّ
اللّٰهَ
كَانَ
لَطِيْفًا
خَبِيْرًا
“Dan ingatlah
apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu).
Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Ahzab: 34)
3. Ijmak Sahabat
Ijmak Shahabat
adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 52).
Arti Ijmak
Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan
kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah.
Sebab, pendapat Sahabat bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidak ma’shum (terpelihara)
dari kesalahan. Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara
menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil, lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut,
tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan Dengan kata lain,
bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nash-nya (Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198).
Adapun dalil
yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang qath’i, bersumber
dari wahyu, adalah:
Pertama: Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Qur’an dengan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i
ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti.
وَالسّٰبِقُوْنَ
الْاَوَّلُوْنَ
مِنَ
الْمُهٰجِرِيْنَ
وَالْاَنْصَارِ
وَالَّذِيْنَ
اتَّبَعُوْهُمْ
بِاِحْسَانٍۙ
رَّضِيَ
اللّٰهُ
عَنْهُمْ
وَرَضُوْا
عَنْهُ
وَاَعَدَّ
لَهُمْ جَنّٰتٍ
تَجْرِيْ
تَحْتَهَا
الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ
فِيْهَآ
اَبَدًا
ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيْمُ
“Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah: 100)
Pujian Allah
ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati
oleh mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil
mereka sepakat atas sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan
pujian Allah kepada mereka.
Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil
agama ini. Merekalah yang menyampaikan al-Qur’an kepada kita. Allah SWT telah berjanji
untuk menjaga al-Qur’an.
اِنَّا
نَحْنُ
نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ
وَاِنَّا
لَهٗ
لَحٰفِظُوْنَ
“Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.” (QS al-Hijr [15]: 9)
لَّا
يَأْتِيْهِ
الْبَاطِلُ
مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَلَا مِنْ
خَلْفِهٖ
ۗتَنْزِيْلٌ
مِّنْ
حَكِيْمٍ
حَمِيْدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. [41] Fushilat: 42)
Sahabat adalah
orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga
menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat.
Selain itu, mustahil mereka yang membawa agama dan al-Qur’an kepada kita sepakat melakukan kesalahan dan kedustaan,
karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi maka hal itu bertentangan dengan jaminan Allah
melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat merupakan dalil yang qath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.51).
Karena itu,
hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Imam Dawud
berkata:
الإِجْمَاعُ
إِنَّمَا هُوَ
إِجْمَاعُ
الصَّحَابَةِ
فَقَطْ
Ijmak (yang
diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl, hlm. 53).
Bahkan Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan:
مَنِ
ادَّعَى
اْلإِجْمَاعَ
فَهُوَ
كَاذِبٌ
Siapa saja
yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah, A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498).
4. Qiyas
Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang
lainnya dalam hukum syariah karena adanya kesamaan ‘illat (kondisi yang mengharuskan berlakunya
hukum syariah tertentu) di antara
keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi
Ushûl al-Fiqh, hlm. 85).
Dalil yang qath’i yang
menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai
dalil syariah, dalam hal ini tidak lain adalah nash itu sendiri yang
menjadi rujukan qiyas. Sebab, ‘illat dalam qiyas tidak
diambil kecuali apabila nash telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyas sebagai
dalil syariah merupakan suatu keharusan.
Qiyas pada
hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan
dengan ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini
dalilnya adalah nash itu sendiri yang mengandung ‘illat, yakni kondisi yang mengharuskan berlakunya
hukum syariah tertentu.
Jadi, apabila
dalil ‘illat adalah al-Qur’an maka dalil qiyas ini juga
al-Qur’an. Apabila dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila dalil ‘illat adalah
Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat.
Dengan demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i,
sama dengan dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, III/320).
Contoh qiyas: mengadakan transaksi jual-beli tatkala adzan
sholat Jum’at adalah haram.
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْٓا
اِذَا
نُوْدِيَ
لِلصَّلٰوةِ
مِنْ يَّوْمِ
الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ
اللّٰهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَۗ
ذٰلِكُمْ
خَيْرٌ لَّكُمْ
اِنْ
كُنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’ah, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
(shalat) dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. (62) Al-Jumu’ah: 9)
‘Illat
pada ayat di atas adalah lalai dari sholat Jum’at. Oleh karena itu,
sewa-menyewa, transaksi perdagangan, maupun perbuatan lainnya yang mempunyai
kesamaan ‘illat, yaitu melalaikan dari shalat Jum’at, maka perbuatan
tersebut hukumnya di-qiyas-kan dengan perbuatan jual-beli, yaitu haram.
WalLâhu a’lam
bi ash-shawâb.
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 123