Bisyarah Dari Langit Dan
Isra’-Mi’raj
Oleh: K.H. Hafidz
Abdurrahman
Meski terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits dan sirah, tentang kapan peristiwa Isra’-Mi'raj Nabi SAW tetapi yang pasti
peristiwa ini terjadi saat dakwah Nabi SAW benar-benar menghadapi kesulitan
yang luar biasa. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi SAW telah
mendapatkan titah kewajiban shalat lima waktu pada saat Isra'-Mi'raj [Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zad al-Ma'ad, Juz II/49].
Allah SWT menuturkan
peristiwa ini dalam satu surat, dan satu ayat, "Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” [QS al-Isra': 01]. Allah sendiri menyebut, bahwa peristiwa
ini merupakan cara Allah untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang dinyatakan oleh kaum kafir tentang
Nabi dan dakwahnya. Allah juga Maha Mendengar dan Mengetahui doa yang telah
dipanjatkan Nabi SAW.
Karena itu, peristiwa
ini, selain untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah, juga merupakan
rihlah jasadiyyah dan ruhiyyah bagi Nabi SAW.
Pertama,
untuk mengabarkan kabar gembira kepada Nabi SAW tentang kekuasaan yang akan
diberikan kepada baginda SAW sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, ”Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui." [QS. Saba': 28].
Ini ditunjukkan oleh
Allah SWT dengan mengangkat Nabi SAW sebagai imam bagi para Nabi dan Rasul
sebelumnya, yang dilakukan di pelataran Masjid Qubah Shakhra', sebelum di-mi'raj-kan ke Sidratul Muntaha. Ini sekaligus
menjadi isyarat tentang akan datangnya ”nushrah”
yang dijanjikan, di mana peristiwa Isra'-Mi'raj
ini sendiri terjadi menjelang Bai'at ‘Aqabah Pertama dan Kedua [al-Mubarakfuri,
ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 142].
Kedua,
selain titah shalat lima waktu yang diberikan kepada Nabi SAW, di-mi'raj-kannya baginda SAW juga untuk menghibur
duka dan lara yang menyelimuti hati baginda Saw., setelah peristiwa wafatnya
kedua orang yang dicintainya, Abu Thalib dan Khadijah, serta penolakan yang
bertubi-rubi yang dilakukan oleh kaum Kam Quraisy, Tsaqif di Taif, Bani Amir
bin Sha'sha'ah, Bani Kindah, Bani Hanifah, dan lain lain. Seolah-olah, dakwah
baginda SAW benar-benar sudah membentur dinding yang kokoh. Saat itulah, Allah
me mi'raj-kan kekasih-Nya, Nabi SAW ke
Sidratul Muntaha, disambut para penghuni langit. Seolah Allah SWT hendak
mengatakan kepada Nabi SAW, ”Wahai Nabi-Ku, biarlah seluruh penghuni bumi
memusuhi dan menolak dakwahmu, tetapi lihatlah para penghuni langit menyambut
dan menerimamu dengan penuh kehangatan!” [Rawwas Qal'ah Jie, Qira'ah Siyasiyyah li as-Sirah an-Nabawiyyah,
hal. 82]
Anugerah Allah SWT
kepada Nabi SAW ini seolah ingin memenuhi apa yang menjadi doanya saat di kebun
milik kedua putra Rabi'ah, yaitu 'Utbah dan Syaibah, ”Ya Allah, kepada-Mu lah
hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, minimnya daya upayaku, dan hinanya hamba-Mu
ini di mata orang-orang itu. Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan
orang-orang yang tertindas. Engkau Tuhan hamba, kepada siapa Engkau akan
serahkan hamba-Mu ini? Kepada yang jauh, yang menyerangku? Ataukah kepada musuh
yang menguasai urusanku? Andai bukan karena murka-Mu kepada hamba, hamba tak
peduli. Tetapi, ampunan-Mu Maha Luas bagi hamba. Hamba berlindung dengan cahaya
wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dengannya urusan dunia dan akhirat menjadi
baik dari turunnya murka-Mu kepada hamba, atau dari halalnya kemurkaan-Mu untuk
hamba. Hanya untuk-Mu semuanya ini hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya
kecuali hanya milik Mu.”
Iya, peristiwa Isra'-Mi'raj ini memang luar biasa dahsyat,
yang membuktikan kebenaran janji Allah SWT kepada Nabi dan para kekasih-Nya.
Meski QS. al-Isra' hanya menjelaskan peristiwa ini dalam satu ayat, setelah itu
justru Allah membeberkan bagaimana kejahatan yang telah dilakukan oleh Yahudi
[QS. al-Isra': 04], namun kedua ayat ini mempunyai kaitan yang kuat [tanasub].
Perlu diketahui, bahwa
sebelum peristiwa Isra'-Mi'raj ini,
kepemimpinan dunia ada di tangan Bani Israel, karena agama Samawi yang ada,
yaitu Yahudi dan Nasrani, adalah agama Israili. Di sisi lain, mereka yang
memeluk agama tersebut tidak layak memimpin dunia, karena ulah mereka sendiri
yang mengkhianati agama mereka. Karena itu, momentum Isra'-Mi'raj ini seolah menegaskan pencabutan mandat dari Bani
Israel, untuk diberikan kepada umat Muhammad SAW. Dimulai dari pilihan Nabi SAW
pada susu, bukan khamer, penunjukan baginda SAW menjadi imam bagi para Nabi dan
Rasul sebelumnya, hingga ditunjukkannya dua sungai yang zahir dan batin. Dua
sungai yang zahir itu adalah Sungai Nil, di Mesir, dan Sungai Eufrat di Irak.
Untuk mengemban amanah
itu, Nabi SAW membutuhkan negara. Namun, negara yang bisa mengemban amanah itu
bukan sembarang negara, melainkan negara yang harus memenuhi dua syarat:
Pertama,
akidah dan sistem yang diterapkan sejalan dengan fitrah manusia, karenanya
rakyat yang akan diperintah di dalamnya tidak akan merasa dipaksa, apalagi
dizhalimi. Sebaliknya, mereka akan menemukan kebaikan dan kebahagiaan di
dalamnya.
Kedua,
pemangku yang bersih, amanah dan tulus. Inilah yang dinyatakan oleh Jibril
kepada Nabi SAW saat memilih susu, bukan khamer, yang kemudian dikomentari oleh
Jibril, ”Engkau telah membimbing umatmu pada fitrah.”
Kedua prasyarat ini
telah dipersiapkan oleh Rasulullah SAW selama 13 tahun di Makkah. Nabi SAW
telah membina umat, mendidik mereka dengan tsaqafah
Islam, Al-Qur’an, as-Sunnah, serta berbagai pengetahuan yang terkait dengan
keduanya. Semuanya itu telah dilakukan oleh Nabi SAW.
Pendek kata, akidah
dan sistem Islam yang hendak diwujudkan oleh Nabi SAW dalam sebuah negara sudah
diejawantahkan ke dalam benak umat yang dilahirkannya.
Para sahabat ra, yang
telah dididik oleh Nabi SAW juga telah menjelma menjadi manusia terbaik,
setelah Nabi SAW. Ini telah dibuktikan dengan berbagai ujian, onak dan duri
dalam perjalanan dakwah mereka selama periode Makkah.
Pada saat yang sama,
Nabi SAW menolak kekuasaan yang diberikan oleh kaum Quraisy, dengan syarat,
baginda SAW harus meninggalkan dakwahnya, dan itu mustahil. Karena itu, baginda
SAW genggam erat prinsip dakwahnya, dan tidak ada kompromi, apapun resikonya.
Ini tampak dalam sabda Nabi SAW kepada pamannya, ”Wahai Paman, andai saja,
mereka sanggup meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan
kiriku, sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkan urusan ini, hingga aku
binasa karenanya, atau dimenangkan di jalannya.”
Mengapa sikap baginda
SAW begitu rupa? Karena Nabi SAW tahu persis kekuasaan seperti apa yang bisa
memenangkan risalah-Nya. Bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang
dibangun dengan orang-orang yang telah meyakini risalah-Nya.
Sebab, jika tidak,
maka boleh jadi baginda SAW berkuasa, tetapi tidak akan pernah bisa mewujudkan,
apalagi memenangkan risalah-Nya. Karena justru penentang pertama dan utamanya
adalah rakyatnya sendiri. Padahal, hanya dengan risalah-Nya itulah, kerahmatan
bagi alam semesta akan bisa diwujudkan, dan umat yang terpuruk dan tak
berperadaban itu bisa dibangkitkan.
Dari sini, kita
mengerti mengapa Nabi SAW menolak kekuasaan yang diberikan kepada baginda SAW,
bukan karena baginda SAW tidak membutuhkan kekuasaan, tetapi kekuasaan yang
dibutuhkan adalah kekuasaan yang bisa memenangkan agama-Nya (sulthanan nashira). Wallahu a'lam.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar