Bahaya Kok Dipelihara
Seorang ayah tega
membunuh anaknya yang masih balita, Desember 2017 lalu, gara-gara menenggak
minuman keras. Yaredi yang mabuk berat itu menghempaskan gunting ke kepala
anaknya yang baru berusia 19 bulan dan punggung istrinya. Peristiwa ini
menggegerkan warga Gunungsitoli, Sumatera Utara.
Masih ingat 14 remaja
ingusan di Bengkulu, dua tahun lalu yang melampiaskan nafsu bejatnya kepada
seorang siswi SMP dan kemudian membunuhnya? Dan banyak lagi, kasus-kasus minol
berseliweran di media setiap hari. Bahaya minol (minuman beralkohol) bagi peminumnya
maupun masyarakat tak terbantahkan.
Beberapa referensi
kesehatan menjelaskan bahaya minuman keras. Di awal minum minol, efek yang
muncul adalah: mulut terasa kering, jantung berdegup lebih kencang, mual, sulit
bernafas, dan sering buang air kecil. Tiap orang bisa berbeda. Setelah mabuk,
akan timbul perasaan yang membuat peminumnya seolah-olah merasa hebat sampai
rasa malu pun akan hilang dengan sendirinya. Pikiran mereka terasa plong dan
rileks.
Selain itu, meminum
minuman keras mengakibatkan fungsi motorik tidak berjalan secara normal seperti
bicara cadel dan sempoyongan. Ketidaksadaran ini secara berangsur akan hilang
dalam kurun waktu 4 hingga 6jam. Setelah itu, peminum akan merasa sangat tertekan
dan lelah.
Lebih jauh lagi mereka
akan mengalami masalah kesehatan. Di antaranya: lever membengkak; kerusakan
otak; penurunan fungsi indera; mempercepat monopouse pada wanita; nyeri saat
haid; cacat pada janin; osteoporosis; kanker hati; kerusakan sistem pencernaan;
gangguan hormonal; dan kematian.
Biang Kejahatan
Peredaran miras yang
marak berkorelasi positif terhadap meningkatnya jumlah kejahatan di tengah
masyarakat. Catatan Humas Pengadilan Negeri (PN) Ambon mengungkapkan, 90 persen
pelaku tindakan asusila atau pelecehan seksual, rata-rata karena sudah mengonsumsi
minol.
Data Kejaksaan Negeri
Bandung juga menunjukkan hubungan antara minol dan kejahatan. Dari laporan
kejahatan yang diproses hingga ke pengadilan terungkap bahwa faktor minol
menjadi penyebab dominan pada diri pelaku kejahatan. Sebanyak 55 persen asal
usulnya dari minol. Mereka yang melakukan tindak pidana kejahatan itu diawali
dengan minuman keras.
Angka di Bandung ini
mirip dengan temuan data kriminalitas akibat minol yang diteliti kriminolog
dari Universitas lndonesia Iqrak Sulhin. ”Data narapidana di penjara ini ada 54
persen berisi pelaku kriminal yang sebelumnya didahului meminum minol. Angka persentase
ini mirip dengan penelitian yang ada di Amerika," kata Iqrak memaparkan
penelitian di LP Cipinang 2011 dalam sebuah diskusi di Jakarta tiga tahun lalu
seraya mengungkapkan, 72 persen narapidana sebelum masuk penjara adalah
peminum.
”Dampak merusak luar
biasa dari minol itu, karena menjadi biang tindakan kriminal mulai dari
pembunuhan, perkosaan, hingga pencurian. Banyak remaja kita yang menjadi korban
tindakan kriminal pembunuhan di mana pelakunya di bawah pengaruh minol. Belum
lagi yang meninggal karena ditabrak pemabuk,” ungkap Ketua Umum Gerakan
Nasional Anti Minol (GeNAM) Fahira Fahmi Idris.
WHO memperingatkan
dampak fatal dari konsumsi alkohol. Sekitar 3,3 juta jiwa tewas di tahun 2012
sehubungan dengan konsumsi alkohol yang berlebihan, demikian dinyatakan WHO.
Ini berarti setiap 10 menit, satu orang tewas karena mengonsumsi alkohol alias
minol. Konsumsi minol juga meningkatkan risiko timbulnya Iebih dari 200
penyakit, termasuk siroris hati, tuberkolosis dan beberapa jenis kanker.
Ironis
Meski dampak minol
begitu besar, tampaknya hukum negara ini tidak melarangnya. Banyak alasan yang
mendasarinya. Tapi yang paling menonjol adalah faktor ekonomi. Ada manfaat dari
segi itu. Yakni keuntungan alias uang. Minol masih dijadikan sebagai sumber pendapatan
bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya dari cukai
minuman beralkohol.
Padahal sebenarnya,
berdasarkan data, kontribusinya sangat kecil dibanding penerimaan APBN secara
total. Data tahun 2014, target penerimaan dari cukai minol ini hanya 0,6 persen
dari APBN atau senilai Rp 6 triliun. Bandingkan ini dengan bunga utang yang harus
dibayar pemerintah tahun 2014 sebesar Rp103,352 trilyun, atau bunga utang
sekarang yang mencapai lebih dari Rp150 triliun.
Selain itu, peredaran
minol pun tidak dilarang karena demi kepentingan wisatawan. Padahal, banyak
negara justru kini menawarkan wisata halal dan itu sangat berhasil menggaet
wisatawan. Bahkan negara yang mayoritas bukan Muslim saja berani mengambil
kebijakan wisata tanpa minol. Kenapa justru Indonesia malah sebaliknya?
Dilihat dari sisi
pekerja, jumlah karyawan perusahaan minuman mengandung etil alkohol (MMEA) ada
sekitar 5.000 orang yang ada di 90 pabrik di Indonesia. Jumlah ini jauh lebih
sedikit dibanding sektor lainnya, tekstil misalnya.
Yang pasti, secara
sosial budaya, peredaran minol berdampak negatif terhadap masyarakat. Apa yang
dirasakan penduduk Papua bisa menjadi contoh nyata betapa minol telah
menyengsarakan dan membahayakan eksistensi manusia.
Papua Saja Bisa Ambil Pelajaran
Penduduk Papua sudah
merasakan dampak minuman keras ini. Fakta menunjukkan, warga Papua sebagian
sudah kecanduan minuman beralkohol. Saking parahnya. sangat mudah mendapati
orang mabuk di propinsi paling timur Indonesia itu. Bahkan tak jarang mereka
bergeletakan di pinggir-pinggir jalan pada waktu pagi setelah semalaman mabuk.
Tak heran para tokoh
se-Propinsi Papua sepakat melarang minol di Papua, tahun 2016 lalu. Hari itu
merupakan sejarah bagi generasi Papua. Di mana keputusan yang diambil maksudnya
untuk kepentingan menyelamatkan orang asli Papua dari kepunahan.
Minol dianggap menjadi
penyebab utama kematian orang asli Papua. Selain itu, minol juga menjadi pemicu
kriminalitas dan kecelakan lalu lintas yang berujung kematian.
Dan, tokoh-tokoh
setempat menyambut gembira aturan itu. Menurut tokoh agama Pegunungan Tengah
Papua, Pastor Jhon Djonga, pelarangan miras sangat penting untuk menyelamatkan
orang-orang Papua yang “masih tersisa".
Seperti dikutip tabloidjubi.com,
ia menegaskan, sangat tidak tepat jika dalih menambah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dari pajak minol, sebab nyawa manusia Papua akibat meneguk minol tidak
bisa dibayar dengan PAD. “Nyawa lebih penting dari PAD,” tandasnya.
Nah lo, hukum negara
ini kok malah kebalik?
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar