Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 09 April 2018

Dalil Fakir Dan Miskin Berhak Mendapat Zakat



BAB II
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

Orang orang yang berhak mendapatkan zakat itu ada delapan golongan, yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk* orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, mu’allaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, orang yang berjuang (perang) fii sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (TQS. At-Taubah: 60)

* Huruf laam dalam ayat ini menunjukkan kepemilikan atau hak atau taqdirnya, ‘diwajibkan’, sebagaimana yang ditunjukkan oleh akhir ayat: “Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan.”

Diriwayatkan dari Ziyad bin al-Harits ash-Shuda-i, dia berkata:

“Aku mendatangi Rasulullah Saw. lalu membai’atnya. Kemudian datanglah seorang pria, lantas berkata, "Berikanlah kepadaku sebagian zakat!” Maka Nabi Saw. berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. tidak rela dengan hukum Nabi atau yang selainnya dalam zakat, sehingga Allah sendiri yang memberikan ketentuan di dalamnya, dengan membagi zakat kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk salah satunya, maka aku akan memberikan hakmu.”
(DHA’IF. HR. Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu’tha minash Shadaqah wa Haddul Ghaniy (II/281, no.1630). Beliau berkata: “Di dalam sanadnya terdapat 'Abdurrahman bin Ziyad bin An'am al-Ifriqi, lebih dari satu ulama yang mempermasalahkannya.”)

Penjelasan dari Delapan Golongan yang Disebutkan dalam Ayat

ORANG-ORANG FAKIR DAN ORANG-ORANG MISKIN

Mereka adalah orang-orang yang butuh tetapi tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka, kebalikan dari orang-orang kaya yang berkecukupan. Ukuran seseorang disebut kaya adalah nishab yang lebih dari kebutuhan pokok dirinya, istri dan anak-anaknya, berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, kendaraan, alat-alat kerja, dan semisalnya, yang setiap orang tidak bisa lepas darinya. Siapa saja yang tidak memiliki ukuran di atas, maka dinamakan fakir, berhak mendapatkan zakat.

Disebutkan dalam hadits Mu’adz:

“Zakat itu diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka.”

Orang yang diambil zakatnya adalah orang kaya yang memiliki nisbah.

Sebaliknya, orang yang diberi zakat adalah orang fakir yang tidak memiliki harta sebanyak orang kaya.

Tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dari segi kebutuhan, kesulitan, dan hak mendapatkan zakat. Tetapi ayat di atas menggabungkan antara fakir dan miskin (dengan huruf 'athaf yaitu wawu, -ed.). Sedangkan (huruf) 'athaf mengandung arti pembeda. Namun hal ini tidak bertolak belakang dengan apa yang kami ungkapkan karena orang miskin merupakan bagian dari orang-orang fakir, di mana mereka memiliki sifat-sifat yang lebih khusus. Hal ini cukup sebagai pembeda.

Dijelaskan dalam hadits bahwa orang-orang miskin adalah kaum fakir yang selalu menjaga harga dirinya dengan tidak meminta-minta, dan kefakiran mereka tidak diketahui oleh orang lain. Lalu mereka pun disebutkan dalam ayat al-Qur-an, karena orang lain tidak menyadari kefakiran mereka, disebabkan kondisi mereka yang terlihat baik.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Bukanlah orang miskin itu adalah yang mondar-mandir karena satu atau dua biji kurma, bukan pula karena satu atau dua suap makanan. Orang miskin hanyalah orang yang menjaga kehormatan dirinya. Bacalah (firman Allah) jika kalian mau,
“Mereka sama sekali tidak minta-minta kepada manusia, apalagi merengek.” (TQS. Al-Baqarah: 273)
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil ladzi Laa Yajidu Ghinan wa Laa Yufthanu lahu fa Yutashaddaq 'alaihi (II/719, no.102)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiirul Miskiin (V/84-85, no.2571)
Abu Dawud dengan lafazh yang mirip: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu’tha minash Shadaqah wa Haddul Ghaniy (II/283-284, no.1631)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil ladzi Yutashaddaq 'alaihi (I/379)
Ahmad dalam al-Musnad (II/260, 457 dan 469)

Disebutkan dalam lafazh yang lain:

“Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling kepada orang lain, disebabkan satu suap atau dua suap makanan atau karena satu atau dua biji kurma. Tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang menutupi kebutuhannya, namun tidak ada yang menyadari kondisinya sehingga (tidak) diberi sedekah. Ia tidak berdiri untuk minta-minta kepada orang lain.”
(Diriwayatkan oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Qaulullaahi Ta'aala Laa Yas-aluunan Naasa Ilhaafaa (II/154)
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil ladzi Laa Yajidu Ghinan wa Yufthanu Lahu fa Yutashaddaq 'alaihi (II/719 no.101)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiirul Miskiin (V/85, no. 2572)
Ahmad dalam al-Musnad (I/384, 446, II/260, 316, 393, 449 dan 469)
Abu Dawud dengan lafazh yang mirip: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu'tha minash Shadaqah wa Haddul Gina (II/283-284, no.1631)
Malik dalam al-Muwaththa': Kitab Shifatin Nabi bab Ma Jaa-a fil Masaakin (II/923, no.7)

Ukuran zakat yang diberikan kepada orang fakir dengan jumlah (jika memungkinkan) yang mengeluarkannya dari kefakiran kepada kekayaan, dari serba butuh menjadi cukup selamanya. Hal ini berbeda sesuai perbedaan individu dan keadaan.

‘Umar ra. berkata, “Jika engkau memberi mereka, maka jadikanlah mereka kaya!”
Maksudnya, memberi zakat.

Dijelaskan dalam hadits bahwa meminta itu halal bagi orang fakir hingga ia mendapatkan sesuatu yang memungkinkan untuk menunjang kehidupannya dan mencukupinya sepanjang hayat.

Diriwayatkan dari Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku menanggung hutang (untuk mendamaikan perselisihan), lalu aku mendatangi Rasulullah Saw. untuk minta kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Tunggulah hingga datangnya zakat, maka kami akan memerintahkan (petugas zakat) untuk memberikan sebagiannya kepadamu.” Kemudian beliau Saw. bersabda:
“Wahai Qabishah, sesungguhnya minta-minta itu tidak dihalalkan keeuali untuk tiga kelompok. (1) Seseorang yang menanggung hutang untuk mendamaikan perselisihan, maka meminta itu dihalalkan baginya, sampai ia mendapatkannya, kemudian ia menahan diri (tidak meminta lagi). (2) Seseorang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa menutupi hajat hidupnya. (3) Seseorang yang ditimpa kefakiran, sehingga tiga orang yang berpengetahuan dari kaumnya berkata, “Fulan telah tertimpa kefakiran.” Maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa menutupi hajat hidupnya. Adapun meminta selain itu, wahai Qabishah, maka merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya secara haram.”
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab Man Tahillu Lahul Mas-alah (II/722, no.109)
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Maa Tajuuzu fiihil Mas-alah (II/290, no.1640)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab ash-Shadaqah liman Tahammala bi Hamaalatin (V/89-90, no.2580)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Man Tahillu Lahush Shadaqah (I/396)
Ahmad dalam al-Musnad (V/60) dengan lafazhnya dan dengan lafazh yang hampir sama (III/477)

Orang yang kuat dan mampu bekerja (sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya) tidak diberi zakat, kedudukannya seperti orang kaya.

Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar, beliau berkata:

“Dua orang mengabarkan kepadaku, bahwa mereka mendatangi Nabi Saw. ketika haji wada’, yaitu ketika beliau sedang membagi-bagikan zakat. Lalu keduanya pun meminta sebagian zakat. Maka Rasulullah Saw. melihat kami (keduanya) dari atas sampai bawah dan memandang kami sebagai orang yang kuat. Lalu beliau bersabda, “Jika kalian mau, maka kalian akan kuberi. Tetapi dalam zakat ini tidak terdapat hak bagi orang kaya serta orang yang kuat dan mampu bekerja.” (Maksudnya, mampu bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaukani)
(SHAHIH. Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fiz Zakaah Hal Tuhmal min Baladin Ila Baladin? (II/285-286, no.1633)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Mas-alatul Qawiyyil Muktasib (V/99-100, no.2598)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/224 dan V/362)

Diriwayatkan dari Raihan bin Yazid, dari ‘Abdullah bin 'Amr ra., dari Nabi Saw., beliau berkata:

“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya, serta orang yang kuat dan sehat badannya untuk bekerja.”
(SHAHIH. HR. At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa jaa-a man laa Tahillu Lahush Shadaqah (III/33, no.652), dan beliau berkata, “Hadits ini hasan.”)

(Mirrotun maknanya adalah berbadan kuat dan sehat, yang dengannya ia bisa menanggung beban dan kelelahan. Adapun sawiyyin maknanya adalah anggota badan yang sehat dan normal)

Pemilik harta yang sudah mencapai nishab tetapi belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
Barangsiapa memiliki harta yang mencapai nishab, dari jenis apapun harta tersebut, tetapi dia belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, karena tanggungannya yang banyak, atau karena harga yang melambung tinggi; di mana ia disebut sebagai orang kaya jika dilihat dari sisi harta yang mencapai nishab sehingga konsekuensinya terkena kewajiban zakat; tetapi juga disebut sebagai orang fakir jika dilihat dari sisi bahwa apa yang dimilikinya belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, maka pada kondisi ini ia boleh menerima zakat seperti layaknya orang fakir.

An-Nawawi berkata, “Barangsiapa memiliki lahan, tetapi pemasukannya kurang dari kebutuhan hidupnya, maka dia adalah orang fakir yang berhak menerima zakat, dan ia tidak dibebankan untuk menjual lahan tersebut.”

Disebutkan dalam kitab al-Mughni, Al-Maimuni berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan Abu 'Abdillah -Ahmad bin Hanbal-, lalu kukatakan, “Bisa jadi seseorang memiliki unta dan kambing yang sudah terkena kewajiban zakat, tetapi ia masih masuk ke dalam kategori orang fakir. Ia memiliki empat puluh ekor kambing juga pekerjaan, tetapi hal itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bolehkah ia diberi zakat?” Beliau menjawab, “Ya, boleh. Sebab, ia tidak punya harta sekaligus tidak mampu mendapatkan usaha yang bisa mencukupinya. Oleh sebab itu, ia boleh mengambil zakat, seolah-olah apa yang dimilikinya itu tidak terkena kewajiban zakat.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam