Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 02 September 2017

Dalil Mandi Hari Jumat Sunah Hukumnya


Mandi pada Hari Jum’at

Beberapa hadits menyebutkan mandi pada Hari Jumat, yang akan kami sebutkan secukupnya. Kemudian kami sebutkan beberapa pendapat terkait hukumnya. Setelah itu kami akan mengeluarkan hukumnya yang rajih, insya Allah.

1. Dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian hendak menghadiri shalat Jumat, maka hendaklah dia mandi.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai)

Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan:

“Jika salah seorang dari kalian akan mendatangi shalat Jum’at, maka hendaklah dia mandi.”

2. Dari Abu Said, dia berkata: Aku menyaksikan Rasulullah Saw. bersabda:

“Mandi pada Hari Jumat itu wajib atas setiap orang yang baligh, juga bersiwak dan memakai wewangian jika ada.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan siwak.

3. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Satu hak milik Allah yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari, di mana dia membasuh kepala dan tubuhnya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan an-Nasai)

4. Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Atas setiap Muslim diharuskan untuk mandi selama tujuh hari itu pada setiap Hari Jumat.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

5. Dari Ibnu Umar:

“Bahwasanya Umar bin Khaththab ketika dia berdiri khutbah pada Hari Jumat, sekonyong-konyong masuk seorang sahabat Nabi dari kaum Muhajirin. Lalu Umar menyerunya: Saat apa ini? Dia berkata: Sesungguhnya aku sibuk, dan aku belum pulang menemui keluargaku sampai aku mendengar adzan, karenanya aku hanya sempat berwudhu saja, tidak lebih. Maka Umar bertanya: Hanya berwudhu? Sungguh engkau telah tahu bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan mandi.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Malik)

6. Dari Samurah bin Jundub:

“Barangsiapa yang berwudhu pada Hari Jum’at, maka dengan rukhshah (dia berpegang) sedangkan sunah terbaik dia tinggalkan. Dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini diriwayatkan dan dihasankan oleh Tirmidzi.

7. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Orang-orang berangkat mendatangi shalat Jumat dari rumah-rumah mereka di al-‘Awali. Mereka mendatangi Jumat dengan mengenakan mantel, lalu mereka terkena debu, sehingga keluar bau tidak sedap dari mereka. Kemudian salah seorang dari mereka menemui Rasulullah Saw., dan beliau Saw. berada di sisiku. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Seandainya kalian bersuci (mandi) untuk hari raya kalian ini.” (HR. Bukhari)

Al-‘Awali adalah desa di luar Madinah dengan jarak sekitar empat mil.

8. Dari Aus bin Aus at-Tsaqafi, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mandi dengan membasuh rambutnya pada Hari Jum’at, dan mandi dengan menyiram tubuhnya, kemudian dia bersegera pergi untuk shalat Jum’at, berjalan kaki dan tidak berkendaraan, lalu dia mendekat kepada imam untuk mendengarkan khutbah dan tidak lalai (tidak berbicara), maka setiap langkahnya dicatat sebagai amal satu tahun dengan pahala ibadah puasa dan qiyamullail selama satu tahun itu.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan. At-Thabrani meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang dihasankan oleh al-Iraqi.

9. Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi shalat Jumat, mendengarkan (khutbah) dan tidak berbicara, maka diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dengan Jumat yang lain, dengan tambahan tiga hari. Dan barangsiapa yang meraba-raba batu kerikil maka ia telah berbuat sia-sia.” (HR. Muslim dan Ahmad)

10. Dari Salman al-Farisi ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada Hari Jum’at, lalu bersuci sebaik mungkin, memakai wewangian miliknya atau mengusapkan minyak wangi keluarganya, kemudian dia keluar (berangkat menuju masjid), ia tidak memisahkan dua orang untuk didudukinya, kemudian dia shalat yang diwajibkan padanya, kemudian dia diam (tidak berbicara) ketika imam menyampaikan khutbah, melainkan dosa-dosanya yang ada antara Jumatnya itu dengan Jum’at yang lainnya akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur yang lain.

Para imam dan fuqaha berbeda pendapat tentang hukum mandi pada Hari Jumat.
Penganut madzhab Dhahiriyah, Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Ibnu Khuza'imah, as-Syaukani, dari kalangan at-tabi’in ada al-Hasan, dari kalangan sahabat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari mereka ada Umar, Abu Hurairah, dan Ammar; mereka berpendapat bahwa mandi pada Hari Jumat itu wajib hukumnya. Mereka berargumentasi dengan hadits kedua yang menyebutkan bahwa mandi pada Hari Jumat itu adalah wajib. Mereka juga berargumentasi dengan hadits ketiga yang menyebutkan bahwa mandi pada Hari Jumat itu adalah hak Allah yang harus ditunaikan setiap Muslim. Selain itu, mereka berargumentasi dengan hadits kelima yang menyebutkan bahwa Umar bin Khaththab mencela Utsman ra. karena tidak mandi, dialah orang yang dimaksud dalam hadits ini. Pemahaman ini diperkuat juga dengan lafadz yang ada dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata:

“Ketika Umar bin Khaththab berkhutbah Hari Jumat di hadapan orang-orang, tiba-tiba masuklah Utsman bin Affan, lalu Umar menyindir perbuatan Utsman: Mengapa orang-orang bisa terlambat setelah mendengar seruan adzan.”

Mereka mengatakan, seandainya meninggalkan mandi Jumat itu tidak dosa, niscaya Umar tidak akan mencelanya. Tentang hadits kesembilan yang berbunyi:

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya.”

(Tentang hadits ini) mereka berkomentar: Di dalam hadits ini tidak ada penafian kewajiban mandi. Mereka menolak hadits-hadits lain yang digunakan sebagai hujjah oleh orang yang mensunahkan mandi Jumat, dengan mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut tidak setara dengan hadits-hadits mereka dari sisi kekuatan dan keshahihannya, sehingga hadits-hadits tersebut tidak layak digunakan untuk melawan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mandi Jumat.

Setelah membeberkan pendapat mereka yang mensunahkan mandi Jumat, as-Syaukani mengatakan: “Dengan demikian tampak dengan terang di hadapan Anda, bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh jumhur ulama yang tidak mewajibkan mandi Jumat itu tidak sanggup bertahan melawan dalil-dalil yang mewajibkannya. Terang pula bahwa di antara dalil-dalil yang tidak mewajibkan dengan dalil-dalil yang mewajibkan tidak mungkin bisa dikompromikan, walaupun peluang pengkompromian itu ada bila dikaitkan dengan beberapa perintahnya, tetapi nyata peluang itu tidak ada ketika dikaitkan dengan lafadz kewajiban dan hak, kecuali dengan kesewenang-wenangan yang terlalu dipaksakan oleh tuntutan pengkompromian. Orang yang memiliki pemahaman minimal sekalipun terkait persoalan ini tidak akan ragu menyatakan, bahwa hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat itu lebih rajih dibandingkan hadits-hadits yang tidak mewajibkannya, karena dilalah yang paling jelas dari hadits yang tidak mewajibkan adalah hadits Samurah, padahal hadits ini penuh dengan kritikan dan insya Allah akan kami jelaskan. Sedangkan di dalam hadits-hadits yang lain tidak ada pengertian apapun selain pengambilan kesimpulan yang sangat lemah.”

Jumhur ulama dari kalangan salaf, khalaf, dan fuqaha yang ada di beberapa kota, seperti al-Auza’iy, at-Tsauri, Malik, as-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat darinya), Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah, ash-habur ra'yi, dan at-Tirmidzi, berpendapat bahwa mandi Jumat itu dihukumi sunah saja, bukan wajib. Mereka berargumentasi dengan hadits: kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Sabda Rasulullah Saw.:

“Mandi pada Hari Jumat itu wajib.”

Dan sabda beliau Saw. dalam hadits ketiga:

“Satu hak bagi Allah yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari.”

Dipahami oleh mereka sebagai penekanan anjuran saja.
Mereka menafsirkan hadits kelima bahwa seandainya Utsman mengetahui mandi Jumat itu wajib hukumnya, niscaya tidak akan ditinggalkannya. Dan ketika Utsman meninggalkannya (tidak mandi Jumat-pen.) niscaya Umar tidak akan mengijinkannya ikut shalat, dan pasti mengeluarkannya dari masjid.
Mereka mengatakan bahwa anjuran mandi pada Hari Jumat itu disebabkan faktor kebersihan, yang disebutkan dalam hadits ketujuh. 'Illat atau sebab yang ada dalam hadits tersebut menjadikan perintah mandi tersebut menjadi sunah saja.
Mereka mengatakan bahwa dalam hadits kedua disebutkan tiga perintah, di antaranya adalah bersiwak dan memakai wewangian; keduanya dihukumi sunah, dan ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa mandi pada Hari Jumat dihukumi sunah juga.
Mereka berargumentasi dengan hadits keenam yang jelas mensunahkan.
Selain itu, mereka berargumentasi dengan hadits kesembilan yang tidak menyebutkan mandi, seandainya hukum mandi Jumat itu wajib, niscaya akan disebutkan di dalamnya.

Inilah dalil dan alasan yang digunakan oleh kedua belah pihak ketika mereka melontarkan pendapatnya itu.

Pendapat yang paling tepat menurut saya adalah: mandi pada Hari Jumat itu sunah saja, bukan wajib. Alasannya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya topik bahasannya bukan tentang adanya dua himpunan hadits yang saling bertentangan dan tidak ada peluang untuk dikompromikan sehingga salah satunya harus ditarjih. Sampai-sampai terlontar pernyataan bahwa hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat lebih shahih sanadnya dibandingkan hadits-hadits yang mensunahkan, sehingga hadits-hadits yang ini harus dijadikan pegangan, sedangkan hadits-hadits yang itu harus ditinggalkan.
Dan pernyataan yang dilontarkan as-Syaukani: Kedua himpunan hadits tersebut tidak mungkin dikompromikan, dengan alasan karena hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat menggunakan lafadz: wajib dan hak; dan ucapan as-Syaukani: hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat lebih rajih dibandingkan hadits-hadits yang tidak mewajibkan mandi Jumat. Ini merupakan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diterima.
Karena hadits-hadits yang mensunahkan pun berstatus shahih dan hasan yang tidak boleh dibuang dan digugurkan begitu saja dengan alasan tidak bisa dikompromikan satu sama lain.
Telah diketahui bahwa mengkompromikan dan mengamalkan seluruh dalil itu lebih baik dan lebih diprioritaskan daripada mengabaikan sebagiannya. Dalam persoalan ini, ternyata ada peluang untuk mengkompromikannya, terlebih lagi ketika dua kelompok di atas tidak menyatakan adanya nasakh.

2. Lafadz wajib dan haq tidak serta-merta menunjukkan kewajiban syar'i yang termasuk salah satu dari lima hukum dalam Islam. Dua lafadz tersebut kadang menunjukkan hukum wajib, dan kadangkala tidak. Qarinah-lah yang nantinya akan menentukan dan menetapkan hukum manakah yang dimaksudnya. Dan dalam persoalan ini terdapat beberapa qarinah yang akan kami jelaskan dan mesti diperhatikan.

3. Dengan mengkaji hadits-hadits tersebut, kita melihat beberapa hal berikut:
di dalam hadits pertama terdapat perintah untuk mandi, dan perintah ini memerlukan satu atau beberapa qarinah untuk menentukan maksud perintah tersebut apakah menghasilkan hukum wajib, sunah, ataukah mubah.
Hadits kedua menyebutkan: mandi pada Hari Jumat itu adalah wajib, kemudian menyebutkan: dan bersiwak, kemudian menyebutkan: dan memakai wewangian. Redaksi kalimat seperti itu mengandung arti bahwa mandi itu wajib, bersiwak itu wajib, dan memakai wewangian itu wajib. Artinya, mandi, bersiwak, dan memakai wewangian, itu adalah wajib. Inilah yang ditunjukkan oleh dhahir hadits seandainya tidak ada qarinah yang mengalihkan hadits ini dari makna dhahirnya atau makna harfiyahnya. Tetapi di hadapan kita terdapat beberapa hadits lain yang menunjukkan makna yang berbeda, selain itu ada qarinah yang mengalihkan hadits tersebut dari makna harfiyahnya.
Qarinah tersebut adalah kepastian yang berasal dari nash, bahwa siwak itu hukumnya sunah (mandub), dan kepastian yang berasal dari nash bahwa memakai wewangian itu juga sunah. Dan dari hadits ini dipahami bahwa mandi itu wajib, bersiwak itu wajib, dan memakai wewangian itu wajib. Seolah-olah pengertian hadits tersebut adalah bersiwak yang sunah itu wajib, dan memakai wewangian yang sunah itu wajib. Pengertian seperti ini tentu saja tidak mungkin, karena itu, hadits ini harus dipahami dengan cara mengalihkan lafadz wajib tersebut dari konotasi syar’i-nya, dan kemudian lafadz wajib ini dipahami hanya menjadi sekedar anjuran dan sangat dianjurkan, tanpa mencapai arti wajib menurut konotasi syar'I nya.
Jika demikian halnya, maka gugurlah hujjah orang yang menyatakan mandi Jumat itu wajib ketika didasarkan pada hadits ini, sebab jika tidak, tentu saja mereka harus mengatakan pula bahwa bersiwak itu wajib dan memakai wewangian itu wajib, dan mereka tentu tidak mengatakan seperti itu.

Adapun dalil kedua yang mereka gunakan adalah hadits ketiga:

“Satu hak bagi Allah yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi.”

Hadits ini pun tidak layak dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan mandi Jumat. Pengertian maksimal yang ditunjukkannya hanyalah anjuran untuk mandi, karena mubah itu adalah hak, mandub (sunah) juga hak, begitu pula wajib itu adalah hak, di mana haq itu lawan kata dari bathil, yakni haram. Kata haq itu tidak termasuk salah satu hukum syara yang lima (al-ahkam as-syar'iyah al-khamsah). Hukum syara yang lima adalah mubah, mandub (sunah), fardhu atau wajib, makruh dan haram, dan haq tidak termasuk salah satunya.
Karena itu ketika kata haq ini disebutkan dalam satu nash, maka harus dicari qarinahnya yang bisa menentukan hukum manakah yang ditunjukkan oleh kata tersebut. Tidak dibenarkan secara serta-merta mengarahkan kata haq tersebut pada arti wajib dengan konotasi syar’i-nya, karena kata haq itu tidak inheren dengan wajib.
Jika tidak, niscaya mandub dan mubah keluar dari kedudukannya sebagai sesuatu yang haq, sehingga keduanya (mandub dan mubah-pen.) akan terkategorikan dalam perkara batil. Tentu saja pandangan seperti ini adalah pandangan yang rusak dan tidak benar.
Orang Arab menggunakan lafadz ini untuk menunjukkan tuntutan yang secara etika mesti ditunaikan, misalnya ucapan:

“Hakmu yang semestinya aku penuhi adalah dikunjungi.”

“Hak aku yang semestinya engkau penuhi adalah menolongku ketika aku diuji.”

Dan contoh-contoh lainnya yang tidak boleh dipahami sebagai kewajiban berkonotasi syar’i, dan hadits di atas pun harus dipahami dari sisi ini.

Majduddin Abdussalam bin Taimiyah, penyusun kitab al-Muntaqa menyatakan: “Lafadz 'wajib' itu adalah penegasan anjuran untuk mandi Jumat, seperti ucapan Anda: Hakmu yang semestinya aku tunaikan dan janji itu utang, dengan alasan dipadukan dengan perbuatan yang disepakati oleh ijma sebagai sesuatu yang tidak wajib, yakni bersiwak dan memakai wewangian.”
Yang menguatkan kebenaran pemahaman kami atas hadits ini adalah hadits yang disampaikan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Hak yang harus ditunaikan setiap Muslim adalah mandi untuk setiap tujuh hari, dan memakai wewangian jika dia memilikinya.”

Hadits ini menyebutkan lafadz haq untuk mandi dan memakai wewangian, padahal sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa memakai wewangian itu tidak wajib menurut syara’, sehingga ini menjadi dalil yang terang nan jelas bahwa penggunaan lafadz haq untuk mandi itu tidak serta merta menunjukkan mandi itu wajib menurut syara.

Hadits kedelapan bersifat muhtamal, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah oleh kelompok manapun dari dua pendapat ini kecuali melalui penakwilan.
Ketika ditakwilkan, hadits ini bisa dipandang sebagai dalil yang mewajibkan mandi pada Hari Jumat, dengan mengatakan bahwa Umar tidak akan mencela orang terhormat seperti Utsman di hadapan kaum Muslim dan menghentikan khutbah Jumat, melainkan karena Utsman meninggalkan kewajiban. Seandainya Utsman meninggalkan perkara sunah, tentunya Umar tidak akan menghentikan khutbahnya dan mencelanya, terlebih lagi Umar mengutip perintah Rasulullah Saw. agar kaum Muslim mandi.
Tetapi melalui penakwilan yang lain, hadits ini bisa juga dipandang sebagai dalil yang tidak mewajibkan, karena Utsman tidak mandi. Orang seperti beliau tidak mungkin meninggalkan kewajiban. Ketika dia tidak mungkin meninggalkan wudhu yang wajib hukumnya, maka dia juga tidak mungkin meninggalkan mandi jika wajib hukumnya. Adapun ketika Umar mencela dirinya karena tidak mandi, lalu dia menghentikan khutbahnya sejenak, maka bisa dibantah bahwa Umar tidak menghentikan khutbahnya karena Utsman tidak mandi, melainkan karena Utsman terlambat sampai masjid untuk shalat Jumat. Kemudian pembicaraan Umar beralih pada persoalan mandi dan wudhu. Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat sangat memelihara perkara sunah dan nafilah, dan saling mengingatkan satu sama lain dalam persoalan tersebut. Dengan demikian hadits ini muhtamal (mengandung beberapa kemungkinan) sehingga tidak layak untuk dijadikan dalil yang mewajibkan atau tidak mewajibkan mandi Jumat.

Hadits keenam dan ketujuh merupakan nash yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat ini, dan tidak perlu ditakwilkan, sehingga sukar untuk ditolak. Kedua hadits ini menjadi dalil yang jelas menganjurkan mandi Jumat, dan jelas menafikan kewajiban mandi Jumat.
Selain itu juga, kedua hadits ini menjadi qarinah yang mengalihkan hadits mandi Jumat itu haq menjadi sebagai anjuran saja. Pihak yang mewajibkan mandi Jumat tidak bisa menakwilkan kedua hadits ini.
Mereka tidak menemukan dalih untuk menolaknya selain dengan alasan bahwa kedua hadits ini lebih lemah sanadnya dibandingkan hadits-hadits yang mewajibkannya, dan mereka telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan pernyataan seperti itu, karena sanad hadits yang keenam itu hasan, sedangkan hadits yang ketujuh sangat shahih dan kuat. Dengan demikian, semua hadits tersebut berpeluang untuk dikompromikan daripada harus ditolak sebagian sebagaimana yang mereka (pihak yang mewajibkan-pen.) lakukan.

Hadits yang keenam menyebutkan:

“Barangsiapa yang berwudhu pada Hari Jumat maka dengan rukhshah (dia berpegang) sedangkan sunah terbaik dia tinggalkan. Dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama.”

Sehingga menjadi nash yang nyata menetapkan kebolehan tidak mandi Jumat. Hadits ini menjadi dalil yang menolak kewajiban mandi Jumat, dan pada saat yang sama menjadi dalil yang mensunahkan mandi Jumat, karena hadits tersebut menyatakan bahwa mandi Jumat itu lebih utama dan lebih baik.

Sedangkan di dalam hadits ketujuh terdapat dua qarinah yang mengalihkan hukum mandi Jumat menjadi sunah saja, bukan wajib.
Qarinah pertama, penetapan alasan bahwa mandi Jumat itu semata-mata untuk menghilangkan kotoran dan bau saja, yakni dalam rangka menjaga kebersihan; telah diketahui menghilangkan kotoran (membersihkan badan yang kotor-pen.) itu hukumnya mandub (sunah) bukan wajib. 'Illat itu senantiasa menyertai ma'lul dari sisi ada dan tidaknya (ada dan tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya ‘illat-pen.).
Ketika seorang Muslim dalam keadaan bersih, maka tidak ada kotoran yang menempel sehingga badannya tidak akan mengeluarkan bau tidak sedap yang tidak mengharuskan dirinya untuk mandi, karena mandi itu sendiri dilakukan dalam rangka membersihkan tubuh dari kotoran yang menempel. Sehingga ketika tidak ada kotoran yang menempel pada tubuhnya maka gugurlah taklif (kewajiban hukum) darinya.
Qarinah yang kedua adalah sabda Rasulullah Saw.:

“Seandainya kalian bersuci (mandi) untuk hari raya kalian ini.”

Ungkapan seperti ini hanya sekedar usul atau saran saja, yang sifatnya lebih ringan dari perintah, sehingga menunjukkan ringannya tuntutan. Seandainya hukum mandi tersebut wajib, tentu Rasulullah Saw. tidak akan melontarkan pernyataan seperti ini.
Dilalah yang paling tegas menunjukkan bahwa mandi Jumat itu tidak diwajibkan dan diperintahkan hanya dalam rangka menjaga kerapihan dan kebersihan adalah dilalah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Ikrimah:

“Bahwasanya beberapa orang dari Irak datang. Mereka bertanya: Wahai Ibnu Abbas, apakah engkau berpendapat bahwa mandi Hari Jumat itu wajib? Ibnu Abbas menjawab: Tidak, akan tetapi orang yang mandi akan lebih suci dan lebih baik. Dan barangsiapa yang tidak mandi, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Aku akan memberitahu kalian, bagaimana asal mula diperintahkannya mandi. Dahulu perikehidupan orang-orang sangat sulit. Mereka memakai kain wol, bekerja berat (mengangkat barang) dengan punggung mereka, sementara masjid mereka sangat sempit, ketika itu atapnya rendah, karena hanya terbuat dari pelepah kurma. Maka Rasulullah Saw. datang pada hari yang bercuaca sangat panas, sedangkan orang-orang berkeringat membasahi pakaiannya yang terbuat dari wol, sehingga angin yang bertiup membawa bau badan mereka yang kurang sedap, yang menyebabkan satu sama lain merasa terganggu. Ketika Rasulullah Saw. mencium bau yang kurang enak itu, beliau Saw. bersabda: “Wahai jamaah sekalian, apabila datang Hari (Jum’at), maka mandilah, pakailah minyak, dan hendaknya salah seorang dari kalian mengusapkan wangi-wangian yang paling baik yang dimilikinya.” Ibnu Abbas berkata: Kemudian Allah Swt. memberi kelapangan, orang-orang tidak memakai pakaian wol lagi, mereka pun diberi kecukupan, dan masjid mereka kemudian diperluas, dan bau keringat yang kurang sedap, yang mengganggu satu sama lain itu sekarang telah hilang.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)

Al-Hakim meriwayatkan hadits ini. Ia dan ad-Dzahabi menshahihkan hadits ini berdasarkan syarat Bukhari, sedangkan an-Nawawi dan Ibnu Hajar menghasankannya.

Dengan demikian, pendapat mereka yang mensunahkan mandi Jumat lebih tepat dan lebih rajih dibandingkan mereka yang mewajibkannya.

Selain itu, kita tidak perlu mengkaji hadits kedelapan, kesembilan dan kesepuluh untuk beristidlal mencapai kesimpulan yang sedang kita cari sebagaimana yang dilakukan pihak yang mensunahkan mandi Jumat. Tiada lain karena hadits-hadits tersebut tidak memiliki kejelasan dilalah yang bisa memuaskan pihak lain dalam menetapkan hukum sunah. Selain itu, mesti diketahui pula bahwa kita tidak beristidlal dengan tiga hadits tersebut, karena pihak lain pun tidak menggunakannya untuk mewajibkan mandi Jumat. Jika mereka menggunakannya, niscaya harus dikaji pula dan dijadikan patokan. Ketika pihak yang mewajibkan mandi Jumat tidak mengutip tiga hadits tersebut untuk menopang pendapat mereka, dan ketika kelompok yang pertama tidak akan mengutipnya kecuali melalui penakwilan, maka kita tidak perlu menelaahnya lebih jauh. Semestinya kita mencukupkan diri dengan dalil-dalil yang sudah kita sebutkan sebelumnya.

Ringkas kata, syariat telah mendorong dan menganjurkan kaum Muslim untuk mandi satu hari dalam satu minggu sebagaimana disebutkan dalam hadits ketiga dan keempat. Lalu hadits-hadits lain menetapkan dan menegaskan bahwa satu hari itu adalah Hari Jumat. Pada prinsipnya memang harus diarahkan pada mandi Hari Jumat, bukan hari yang lain. Sebab atau alasannya adalah dalam rangka menjaga kebersihan, karena mandi tersebut walaupun sunah dilakukan kapanpun pada Hari Jumat itu, tetapi hadits-hadits telah mengkhususkannya dan menganjurkannya untuk dilakukan sebelum shalat. Pada prinsipnya harus diarahkan seperti itu, sehingga seorang Muslim dianjurkan mandi pada Hari Jumat sebelum melaksanakan shalat Jumat, tanpa penetapan waktu tertentu di antara fajar hingga tergelincirnya matahari.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam