Mandi pada Hari Jum’at
Beberapa hadits
menyebutkan mandi pada Hari Jumat, yang akan kami sebutkan secukupnya. Kemudian
kami sebutkan beberapa pendapat terkait hukumnya. Setelah itu kami akan
mengeluarkan hukumnya yang rajih, insya Allah.
1. Dari Abdullah bin
Umar ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian hendak menghadiri shalat Jumat, maka hendaklah dia mandi.” (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai)
Dalam riwayat Muslim
yang lain disebutkan:
“Jika salah seorang
dari kalian akan mendatangi shalat Jum’at, maka hendaklah dia mandi.”
2. Dari Abu Said, dia
berkata: Aku menyaksikan Rasulullah Saw. bersabda:
“Mandi pada Hari Jumat
itu wajib atas setiap orang yang baligh, juga bersiwak dan memakai wewangian
jika ada.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Hadits ini telah kami
sebutkan dalam pembahasan siwak.
3. Dari Abu Hurairah
dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Satu hak milik Allah
yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari, di mana
dia membasuh kepala dan tubuhnya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan an-Nasai)
4. Dari Jabir bin
Abdillah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Atas setiap Muslim
diharuskan untuk mandi selama tujuh hari itu pada setiap Hari Jumat.” (HR.
Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
5. Dari Ibnu Umar:
“Bahwasanya Umar bin
Khaththab ketika dia berdiri khutbah pada Hari Jumat, sekonyong-konyong masuk
seorang sahabat Nabi dari kaum Muhajirin. Lalu Umar menyerunya: Saat apa ini?
Dia berkata: Sesungguhnya aku sibuk, dan aku belum pulang menemui keluargaku sampai
aku mendengar adzan, karenanya aku hanya sempat berwudhu saja, tidak lebih.
Maka Umar bertanya: Hanya berwudhu? Sungguh engkau telah tahu bahwa Rasulullah
Saw. memerintahkan mandi.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Malik)
6. Dari Samurah bin
Jundub:
“Barangsiapa yang
berwudhu pada Hari Jum’at, maka dengan rukhshah
(dia berpegang) sedangkan sunah terbaik dia tinggalkan. Dan barangsiapa yang
mandi maka itu lebih utama.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu
Khuzaimah)
Hadits ini
diriwayatkan dan dihasankan oleh
Tirmidzi.
7. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Orang-orang berangkat
mendatangi shalat Jumat dari rumah-rumah mereka di al-‘Awali. Mereka mendatangi
Jumat dengan mengenakan mantel, lalu mereka terkena debu, sehingga keluar bau
tidak sedap dari mereka. Kemudian salah seorang dari mereka menemui Rasulullah
Saw., dan beliau Saw. berada di sisiku. Maka Rasulullah Saw. berkata:
“Seandainya kalian bersuci (mandi) untuk hari raya kalian ini.” (HR. Bukhari)
Al-‘Awali adalah desa
di luar Madinah dengan jarak sekitar empat mil.
8. Dari Aus bin Aus
at-Tsaqafi, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mandi dengan membasuh rambutnya pada Hari Jum’at, dan mandi dengan menyiram
tubuhnya, kemudian dia bersegera pergi untuk shalat Jum’at, berjalan kaki dan
tidak berkendaraan, lalu dia mendekat kepada imam untuk mendengarkan khutbah
dan tidak lalai (tidak berbicara), maka setiap langkahnya dicatat sebagai amal
satu tahun dengan pahala ibadah puasa dan qiyamullail
selama satu tahun itu.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan.
At-Thabrani meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang dihasankan oleh al-Iraqi.
9. Dari Abu Hurairah,
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi shalat Jumat,
mendengarkan (khutbah) dan tidak berbicara, maka diampuni (dosa-dosa yang
dilakukannya) antara hari itu dengan Jumat yang lain, dengan tambahan tiga
hari. Dan barangsiapa yang meraba-raba batu kerikil maka ia telah berbuat
sia-sia.” (HR. Muslim dan Ahmad)
10. Dari Salman
al-Farisi ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang
laki-laki mandi pada Hari Jum’at, lalu bersuci sebaik mungkin, memakai
wewangian miliknya atau mengusapkan minyak wangi keluarganya, kemudian dia
keluar (berangkat menuju masjid), ia tidak memisahkan dua orang untuk
didudukinya, kemudian dia shalat yang diwajibkan padanya, kemudian dia diam
(tidak berbicara) ketika imam menyampaikan khutbah, melainkan dosa-dosanya yang
ada antara Jumatnya itu dengan Jum’at yang lainnya akan diampuni.” (HR.
Bukhari)
Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits ini dari jalur yang lain.
Para imam dan fuqaha
berbeda pendapat tentang hukum mandi pada Hari Jumat.
Penganut madzhab
Dhahiriyah, Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Ibnu Khuza'imah, as-Syaukani,
dari kalangan at-tabi’in ada al-Hasan, dari kalangan sahabat berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari mereka ada Umar, Abu Hurairah, dan Ammar; mereka berpendapat
bahwa mandi pada Hari Jumat itu wajib hukumnya. Mereka berargumentasi dengan
hadits kedua yang menyebutkan bahwa mandi pada Hari Jumat itu adalah wajib.
Mereka juga berargumentasi dengan hadits ketiga yang menyebutkan bahwa mandi
pada Hari Jumat itu adalah hak Allah yang harus ditunaikan setiap Muslim.
Selain itu, mereka berargumentasi dengan hadits kelima yang menyebutkan bahwa
Umar bin Khaththab mencela Utsman ra. karena tidak mandi, dialah orang yang
dimaksud dalam hadits ini. Pemahaman ini diperkuat juga dengan lafadz yang ada
dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Ketika Umar bin
Khaththab berkhutbah Hari Jumat di hadapan orang-orang, tiba-tiba masuklah
Utsman bin Affan, lalu Umar menyindir perbuatan Utsman: Mengapa orang-orang
bisa terlambat setelah mendengar seruan adzan.”
Mereka mengatakan,
seandainya meninggalkan mandi Jumat itu tidak dosa, niscaya Umar tidak akan
mencelanya. Tentang hadits kesembilan yang berbunyi:
“Barangsiapa yang
berwudhu, lalu ia menyempurnakan wudhunya.”
(Tentang hadits ini)
mereka berkomentar: Di dalam hadits ini tidak ada penafian kewajiban mandi.
Mereka menolak hadits-hadits lain yang digunakan sebagai hujjah oleh orang yang mensunahkan mandi
Jumat, dengan mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut tidak setara dengan
hadits-hadits mereka dari sisi kekuatan dan keshahihannya,
sehingga hadits-hadits tersebut tidak layak digunakan untuk melawan
hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mandi Jumat.
Setelah membeberkan
pendapat mereka yang mensunahkan mandi Jumat, as-Syaukani mengatakan: “Dengan
demikian tampak dengan terang di hadapan Anda, bahwa dalil-dalil yang digunakan
oleh jumhur ulama yang tidak mewajibkan mandi Jumat itu tidak sanggup bertahan
melawan dalil-dalil yang mewajibkannya. Terang pula bahwa di antara dalil-dalil
yang tidak mewajibkan dengan dalil-dalil yang mewajibkan tidak mungkin bisa
dikompromikan, walaupun peluang pengkompromian itu ada bila dikaitkan dengan
beberapa perintahnya, tetapi nyata peluang itu tidak ada ketika dikaitkan
dengan lafadz kewajiban dan hak, kecuali dengan kesewenang-wenangan yang
terlalu dipaksakan oleh tuntutan pengkompromian. Orang yang memiliki pemahaman
minimal sekalipun terkait persoalan ini tidak akan ragu menyatakan, bahwa
hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat itu lebih rajih dibandingkan
hadits-hadits yang tidak mewajibkannya, karena dilalah yang paling jelas dari
hadits yang tidak mewajibkan adalah hadits Samurah, padahal hadits ini penuh dengan
kritikan dan insya Allah akan kami jelaskan. Sedangkan di dalam hadits-hadits
yang lain tidak ada pengertian apapun selain pengambilan kesimpulan yang sangat
lemah.”
Jumhur ulama dari
kalangan salaf, khalaf, dan fuqaha yang ada di beberapa kota, seperti
al-Auza’iy, at-Tsauri, Malik, as-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat darinya),
Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah, ash-habur ra'yi,
dan at-Tirmidzi, berpendapat bahwa mandi Jumat itu dihukumi sunah saja, bukan
wajib. Mereka berargumentasi dengan hadits: kelima, keenam, ketujuh, kedelapan,
kesembilan dan kesepuluh. Sabda Rasulullah Saw.:
“Mandi pada Hari Jumat
itu wajib.”
Dan sabda beliau Saw.
dalam hadits ketiga:
“Satu hak bagi Allah
yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari.”
Dipahami oleh mereka
sebagai penekanan anjuran saja.
Mereka menafsirkan
hadits kelima bahwa seandainya Utsman mengetahui mandi Jumat itu wajib
hukumnya, niscaya tidak akan ditinggalkannya. Dan ketika Utsman meninggalkannya
(tidak mandi Jumat-pen.) niscaya Umar
tidak akan mengijinkannya ikut shalat, dan pasti mengeluarkannya dari masjid.
Mereka mengatakan
bahwa anjuran mandi pada Hari Jumat itu disebabkan faktor kebersihan, yang
disebutkan dalam hadits ketujuh. 'Illat
atau sebab yang ada dalam hadits tersebut menjadikan perintah mandi tersebut
menjadi sunah saja.
Mereka mengatakan
bahwa dalam hadits kedua disebutkan tiga perintah, di antaranya adalah bersiwak
dan memakai wewangian; keduanya dihukumi sunah, dan ini menjadi dalil yang
menunjukkan bahwa mandi pada Hari Jumat dihukumi sunah juga.
Mereka berargumentasi
dengan hadits keenam yang jelas mensunahkan.
Selain itu, mereka
berargumentasi dengan hadits kesembilan yang tidak menyebutkan mandi,
seandainya hukum mandi Jumat itu wajib, niscaya akan disebutkan di dalamnya.
Inilah dalil dan
alasan yang digunakan oleh kedua belah pihak ketika mereka melontarkan
pendapatnya itu.
Pendapat yang paling
tepat menurut saya adalah: mandi
pada Hari Jumat itu sunah saja, bukan wajib. Alasannya adalah sebagai
berikut:
1. Sesungguhnya topik bahasannya bukan tentang
adanya dua himpunan hadits yang saling bertentangan dan tidak ada peluang untuk
dikompromikan sehingga salah satunya harus ditarjih.
Sampai-sampai terlontar pernyataan bahwa hadits-hadits yang mewajibkan mandi
Jumat lebih shahih sanadnya dibandingkan hadits-hadits yang
mensunahkan, sehingga hadits-hadits yang ini harus dijadikan pegangan,
sedangkan hadits-hadits yang itu harus ditinggalkan.
Dan pernyataan yang
dilontarkan as-Syaukani: Kedua himpunan hadits tersebut tidak mungkin
dikompromikan, dengan alasan karena hadits-hadits yang mewajibkan mandi Jumat
menggunakan lafadz: wajib dan hak; dan ucapan as-Syaukani: hadits-hadits yang
mewajibkan mandi Jumat lebih rajih
dibandingkan hadits-hadits yang tidak mewajibkan mandi Jumat. Ini merupakan
pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diterima.
Karena hadits-hadits
yang mensunahkan pun berstatus shahih
dan hasan yang tidak boleh dibuang dan
digugurkan begitu saja dengan alasan tidak bisa dikompromikan satu sama lain.
Telah diketahui bahwa
mengkompromikan dan mengamalkan seluruh dalil itu lebih baik dan lebih
diprioritaskan daripada mengabaikan sebagiannya. Dalam persoalan ini, ternyata
ada peluang untuk mengkompromikannya, terlebih lagi ketika dua kelompok di atas
tidak menyatakan adanya nasakh.
2. Lafadz wajib dan haq tidak serta-merta
menunjukkan kewajiban syar'i yang termasuk salah satu dari lima hukum dalam
Islam. Dua lafadz tersebut kadang menunjukkan hukum wajib, dan kadangkala
tidak. Qarinah-lah yang nantinya akan
menentukan dan menetapkan hukum manakah yang dimaksudnya. Dan dalam persoalan
ini terdapat beberapa qarinah yang akan
kami jelaskan dan mesti diperhatikan.
3. Dengan mengkaji hadits-hadits tersebut, kita
melihat beberapa hal berikut:
di dalam hadits
pertama terdapat perintah untuk mandi, dan perintah ini memerlukan satu atau
beberapa qarinah untuk menentukan maksud
perintah tersebut apakah menghasilkan hukum wajib, sunah, ataukah mubah.
Hadits kedua
menyebutkan: mandi pada Hari Jumat itu adalah wajib, kemudian menyebutkan: dan
bersiwak, kemudian menyebutkan: dan memakai wewangian. Redaksi kalimat seperti
itu mengandung arti bahwa mandi itu wajib, bersiwak itu wajib, dan memakai
wewangian itu wajib. Artinya, mandi, bersiwak, dan memakai wewangian, itu
adalah wajib. Inilah yang ditunjukkan oleh dhahir
hadits seandainya tidak ada qarinah yang
mengalihkan hadits ini dari makna dhahirnya
atau makna harfiyahnya. Tetapi di
hadapan kita terdapat beberapa hadits lain yang menunjukkan makna yang berbeda,
selain itu ada qarinah yang mengalihkan
hadits tersebut dari makna harfiyahnya.
Qarinah tersebut adalah kepastian yang berasal
dari nash, bahwa siwak itu hukumnya sunah (mandub), dan kepastian yang berasal
dari nash bahwa memakai wewangian itu juga sunah. Dan dari hadits ini dipahami
bahwa mandi itu wajib, bersiwak itu wajib, dan memakai wewangian itu wajib.
Seolah-olah pengertian hadits tersebut adalah bersiwak yang sunah itu wajib,
dan memakai wewangian yang sunah itu wajib. Pengertian seperti ini tentu saja
tidak mungkin, karena itu, hadits ini harus dipahami dengan cara mengalihkan lafadz
wajib tersebut dari konotasi syar’i-nya, dan kemudian lafadz wajib ini dipahami
hanya menjadi sekedar anjuran dan sangat dianjurkan, tanpa mencapai arti wajib
menurut konotasi syar'I nya.
Jika demikian halnya,
maka gugurlah hujjah orang yang
menyatakan mandi Jumat itu wajib ketika didasarkan pada hadits ini, sebab jika
tidak, tentu saja mereka harus mengatakan pula bahwa bersiwak itu wajib dan
memakai wewangian itu wajib, dan mereka tentu tidak mengatakan seperti itu.
Adapun dalil kedua
yang mereka gunakan adalah hadits ketiga:
“Satu hak bagi Allah
yang wajib dipenuhi setiap Muslim adalah mandi.”
Hadits ini pun tidak
layak dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan mandi Jumat. Pengertian maksimal
yang ditunjukkannya hanyalah anjuran untuk mandi, karena mubah itu adalah hak,
mandub (sunah) juga hak, begitu pula wajib itu adalah hak, di mana haq itu
lawan kata dari bathil, yakni haram. Kata haq itu tidak termasuk salah satu
hukum syara yang lima (al-ahkam as-syar'iyah al-khamsah). Hukum syara yang lima adalah mubah, mandub (sunah),
fardhu atau wajib, makruh dan haram, dan haq tidak termasuk salah satunya.
Karena itu ketika kata
haq ini disebutkan dalam satu nash, maka harus dicari qarinahnya yang bisa menentukan hukum manakah yang ditunjukkan
oleh kata tersebut. Tidak dibenarkan secara serta-merta mengarahkan kata haq
tersebut pada arti wajib dengan konotasi syar’i-nya, karena kata haq itu tidak
inheren dengan wajib.
Jika tidak, niscaya
mandub dan mubah keluar dari kedudukannya sebagai sesuatu yang haq, sehingga
keduanya (mandub dan mubah-pen.) akan
terkategorikan dalam perkara batil. Tentu saja pandangan seperti ini adalah
pandangan yang rusak dan tidak benar.
Orang Arab menggunakan
lafadz ini untuk menunjukkan tuntutan yang secara etika mesti ditunaikan,
misalnya ucapan:
“Hakmu yang semestinya
aku penuhi adalah dikunjungi.”
“Hak aku yang
semestinya engkau penuhi adalah menolongku ketika aku diuji.”
Dan contoh-contoh
lainnya yang tidak boleh dipahami sebagai kewajiban berkonotasi syar’i, dan
hadits di atas pun harus dipahami dari sisi ini.
Majduddin Abdussalam
bin Taimiyah, penyusun kitab al-Muntaqa
menyatakan: “Lafadz 'wajib' itu adalah penegasan anjuran untuk mandi Jumat,
seperti ucapan Anda: Hakmu yang semestinya aku tunaikan dan janji itu utang,
dengan alasan dipadukan dengan perbuatan yang disepakati oleh ijma sebagai sesuatu yang tidak wajib, yakni
bersiwak dan memakai wewangian.”
Yang menguatkan
kebenaran pemahaman kami atas hadits ini adalah hadits yang disampaikan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Hak yang harus
ditunaikan setiap Muslim adalah mandi untuk setiap tujuh hari, dan memakai
wewangian jika dia memilikinya.”
Hadits ini menyebutkan
lafadz haq untuk mandi dan memakai wewangian, padahal sudah dimaklumi oleh
semua orang bahwa memakai wewangian itu tidak wajib menurut syara’, sehingga ini menjadi dalil yang terang
nan jelas bahwa penggunaan lafadz haq untuk mandi itu tidak serta merta
menunjukkan mandi itu wajib menurut syara.
Hadits kedelapan
bersifat muhtamal, sehingga tidak layak
digunakan sebagai hujjah oleh kelompok
manapun dari dua pendapat ini kecuali melalui penakwilan.
Ketika ditakwilkan,
hadits ini bisa dipandang sebagai dalil yang mewajibkan mandi pada Hari Jumat,
dengan mengatakan bahwa Umar tidak akan mencela orang terhormat seperti Utsman
di hadapan kaum Muslim dan menghentikan khutbah Jumat, melainkan karena Utsman
meninggalkan kewajiban. Seandainya Utsman meninggalkan perkara sunah, tentunya
Umar tidak akan menghentikan khutbahnya dan mencelanya, terlebih lagi Umar
mengutip perintah Rasulullah Saw. agar kaum Muslim mandi.
Tetapi melalui
penakwilan yang lain, hadits ini bisa juga dipandang sebagai dalil yang tidak
mewajibkan, karena Utsman tidak mandi. Orang seperti beliau tidak mungkin
meninggalkan kewajiban. Ketika dia tidak mungkin meninggalkan wudhu yang wajib
hukumnya, maka dia juga tidak mungkin meninggalkan mandi jika wajib hukumnya.
Adapun ketika Umar mencela dirinya karena tidak mandi, lalu dia menghentikan
khutbahnya sejenak, maka bisa dibantah bahwa Umar tidak menghentikan khutbahnya
karena Utsman tidak mandi, melainkan karena Utsman terlambat sampai masjid
untuk shalat Jumat. Kemudian pembicaraan Umar beralih pada persoalan mandi dan
wudhu. Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat sangat memelihara perkara
sunah dan nafilah, dan saling mengingatkan satu sama lain dalam persoalan
tersebut. Dengan demikian hadits ini muhtamal
(mengandung beberapa kemungkinan) sehingga tidak layak untuk dijadikan dalil
yang mewajibkan atau tidak mewajibkan mandi Jumat.
Hadits keenam dan
ketujuh merupakan nash yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat ini, dan
tidak perlu ditakwilkan, sehingga sukar untuk ditolak. Kedua hadits ini menjadi
dalil yang jelas menganjurkan mandi Jumat, dan jelas menafikan kewajiban mandi
Jumat.
Selain itu juga, kedua
hadits ini menjadi qarinah yang
mengalihkan hadits mandi Jumat itu haq menjadi sebagai anjuran saja. Pihak yang
mewajibkan mandi Jumat tidak bisa menakwilkan kedua hadits ini.
Mereka tidak menemukan
dalih untuk menolaknya selain dengan alasan bahwa kedua hadits ini lebih lemah sanadnya dibandingkan hadits-hadits yang
mewajibkannya, dan mereka telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan
pernyataan seperti itu, karena sanad
hadits yang keenam itu hasan, sedangkan
hadits yang ketujuh sangat shahih dan
kuat. Dengan demikian, semua hadits tersebut berpeluang untuk dikompromikan
daripada harus ditolak sebagian sebagaimana yang mereka (pihak yang mewajibkan-pen.) lakukan.
Hadits yang keenam
menyebutkan:
“Barangsiapa yang
berwudhu pada Hari Jumat maka dengan rukhshah
(dia berpegang) sedangkan sunah terbaik dia tinggalkan. Dan barangsiapa yang
mandi maka itu lebih utama.”
Sehingga menjadi nash
yang nyata menetapkan kebolehan tidak mandi Jumat. Hadits ini menjadi dalil
yang menolak kewajiban mandi Jumat, dan pada saat yang sama menjadi dalil yang
mensunahkan mandi Jumat, karena hadits tersebut menyatakan bahwa mandi Jumat itu
lebih utama dan lebih baik.
Sedangkan di dalam
hadits ketujuh terdapat dua qarinah yang
mengalihkan hukum mandi Jumat menjadi sunah saja, bukan wajib.
Qarinah pertama, penetapan alasan bahwa mandi
Jumat itu semata-mata untuk menghilangkan kotoran dan bau saja, yakni dalam
rangka menjaga kebersihan; telah diketahui menghilangkan kotoran (membersihkan
badan yang kotor-pen.) itu hukumnya
mandub (sunah) bukan wajib. 'Illat itu
senantiasa menyertai ma'lul dari sisi
ada dan tidaknya (ada dan tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya ‘illat-pen.).
Ketika seorang Muslim
dalam keadaan bersih, maka tidak ada kotoran yang menempel sehingga badannya
tidak akan mengeluarkan bau tidak sedap yang tidak mengharuskan dirinya untuk
mandi, karena mandi itu sendiri dilakukan dalam rangka membersihkan tubuh dari
kotoran yang menempel. Sehingga ketika tidak ada kotoran yang menempel pada
tubuhnya maka gugurlah taklif (kewajiban hukum) darinya.
Qarinah yang kedua adalah sabda Rasulullah
Saw.:
“Seandainya kalian
bersuci (mandi) untuk hari raya kalian ini.”
Ungkapan seperti ini
hanya sekedar usul atau saran saja, yang sifatnya lebih ringan dari perintah,
sehingga menunjukkan ringannya tuntutan. Seandainya hukum mandi tersebut wajib,
tentu Rasulullah Saw. tidak akan melontarkan pernyataan seperti ini.
Dilalah yang paling tegas
menunjukkan bahwa mandi Jumat itu tidak diwajibkan dan diperintahkan hanya
dalam rangka menjaga kerapihan dan kebersihan adalah dilalah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari
Ikrimah:
“Bahwasanya beberapa
orang dari Irak datang. Mereka bertanya: Wahai Ibnu Abbas, apakah engkau
berpendapat bahwa mandi Hari Jumat itu wajib? Ibnu Abbas menjawab: Tidak, akan
tetapi orang yang mandi akan lebih suci dan lebih baik. Dan barangsiapa yang
tidak mandi, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Aku akan memberitahu
kalian, bagaimana asal mula diperintahkannya mandi. Dahulu perikehidupan
orang-orang sangat sulit. Mereka memakai kain wol, bekerja berat (mengangkat
barang) dengan punggung mereka, sementara masjid mereka sangat sempit, ketika
itu atapnya rendah, karena hanya terbuat dari pelepah kurma. Maka Rasulullah
Saw. datang pada hari yang bercuaca sangat panas, sedangkan orang-orang
berkeringat membasahi pakaiannya yang terbuat dari wol, sehingga angin yang
bertiup membawa bau badan mereka yang kurang sedap, yang menyebabkan satu sama
lain merasa terganggu. Ketika Rasulullah Saw. mencium bau yang kurang enak itu,
beliau Saw. bersabda: “Wahai jamaah sekalian, apabila datang Hari (Jum’at), maka
mandilah, pakailah minyak, dan hendaknya salah seorang dari kalian mengusapkan
wangi-wangian yang paling baik yang dimilikinya.” Ibnu Abbas berkata: Kemudian
Allah Swt. memberi kelapangan, orang-orang tidak memakai pakaian wol lagi,
mereka pun diberi kecukupan, dan masjid mereka kemudian diperluas, dan bau
keringat yang kurang sedap, yang mengganggu satu sama lain itu sekarang telah
hilang.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)
Al-Hakim meriwayatkan
hadits ini. Ia dan ad-Dzahabi menshahihkan
hadits ini berdasarkan syarat Bukhari, sedangkan an-Nawawi dan Ibnu Hajar menghasankannya.
Dengan demikian,
pendapat mereka yang mensunahkan mandi Jumat lebih tepat dan lebih rajih dibandingkan mereka yang mewajibkannya.
Selain itu, kita tidak
perlu mengkaji hadits kedelapan, kesembilan dan kesepuluh untuk beristidlal mencapai kesimpulan yang sedang kita
cari sebagaimana yang dilakukan pihak yang mensunahkan mandi Jumat. Tiada lain
karena hadits-hadits tersebut tidak memiliki kejelasan dilalah yang bisa memuaskan pihak lain dalam menetapkan hukum
sunah. Selain itu, mesti diketahui pula bahwa kita tidak beristidlal dengan tiga hadits tersebut, karena
pihak lain pun tidak menggunakannya untuk mewajibkan mandi Jumat. Jika mereka
menggunakannya, niscaya harus dikaji pula dan dijadikan patokan. Ketika pihak
yang mewajibkan mandi Jumat tidak mengutip tiga hadits tersebut untuk menopang
pendapat mereka, dan ketika kelompok yang pertama tidak akan mengutipnya
kecuali melalui penakwilan, maka kita tidak perlu menelaahnya lebih jauh.
Semestinya kita mencukupkan diri dengan dalil-dalil yang sudah kita sebutkan
sebelumnya.
Ringkas kata, syariat
telah mendorong dan menganjurkan kaum Muslim untuk mandi satu hari dalam satu
minggu sebagaimana disebutkan dalam hadits ketiga dan keempat. Lalu
hadits-hadits lain menetapkan dan menegaskan bahwa satu hari itu adalah Hari
Jumat. Pada prinsipnya memang harus diarahkan pada mandi Hari Jumat, bukan hari
yang lain. Sebab atau alasannya adalah dalam rangka menjaga kebersihan, karena
mandi tersebut walaupun sunah dilakukan kapanpun pada Hari Jumat itu, tetapi
hadits-hadits telah mengkhususkannya dan menganjurkannya untuk dilakukan
sebelum shalat. Pada prinsipnya harus diarahkan seperti itu, sehingga seorang
Muslim dianjurkan mandi pada Hari Jumat sebelum melaksanakan shalat Jumat,
tanpa penetapan waktu tertentu di antara fajar hingga tergelincirnya matahari.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar