Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 01 September 2017

Dalil Hukum Bercelak Dan Memakai Minyak Wangi



Hukum Bercelak dan Memakai Wewangian

Terdapat banyak hadits yang menyinggung masalah bercelak dan memakai wewangian, di antaranya adalah:

1. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. bersabda: “Hendaklah kalian bercelak menggunakan itsmid, sebab ia bisa menguatkan pandangan dan menumbuhkan bulu.” Ibnu Abbas berkeyakinan bahwa Nabi Saw. mempunyai celak yang selalu beliau Saw. gunakan setiap malam menjelang tidur, tiga kali di sini, dan tiga kali di sini.” (HR. Tirmidzi, ia menghasankannya)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban.

2. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Celak yang terbaik bagi kalian adalah itsmid, bisa menajamkan pandangan dan menumbuhkan bulu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, ad-Darimi dan Ibnu Majah)

Itsmid adalah batu celak yang sudah populer, warnanya hitam sedikit kemerahan.

3. Dari Anas, bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Yang aku cintai dari dunia adalah wanita dan wewangian, dan penyejuk mataku berada dalam shalat.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan al-Baihaqi)

Al-Hakim meriwayatkan dan menshahihkan hadits ini. Ibnu Hajar dan as-Suyuthi menghasankannya, sedangkan al-Iraqi memandang sanad hadits ini sangat bagus.

4. Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. beliau Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang ditawari minyak wangi maka janganlah ia menolaknya, karena sesungguhnya ia ringan dibawa dan harum baunya. (HR. an-Nasai dan Abu Dawud)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Barangsiapa yang ditawari wewangian maka janganlah dia menolaknya.”

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika salah seorang dari kalian diberi wewangian maka janganlah dia menolaknya.”

5. Dari Abu Said al-Khudri ra., dia berkata:

“Misik (kesturi) disebut-sebut di samping Rasulullah Saw., maka beliau Saw. bersabda: Misik itu adalah minyak yang paling wangi.” (HR. Ahmad, Muslim, al-Hakim, Malik dan an-Nasai)

6. Dari Muhammad bin Ali, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah: Apakah Rasulullah Saw. suka memakai wewangian? Aisyah berkata: Iya, minyak wangi kaum lelaki seperti kesturi dan ambergris. (HR. an-Nasai)

7. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.:

“Minyak wangi kaum lelaki itu tajam aromanya dan lembut warnanya, sedangkan minyak wangi kaum wanita itu adalah tajam warnanya dan lembut aromanya.” (HR. an-Nasai, al-Baihaqi, dan Abu Dawud)

Hadits ini diriwayatkan dan dihasankan oleh at-Tirmidzi.

8. Dari Abu Said, bahwasanya Rasulullah Saw., beliau Saw. berkata:

“Mandi pada hari jum'at itu wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh), begitu pula menggosok gigi dan memakai wewangian yang sekedar bisa didapatkan... walaupun berasal dari minyak wangi isterinya. (HR. Muslim dan Ahmad)

Bukhari meriwayatkan dari jalur Salman dengan lafadz:

“Memakai wewangian miliknya atau mengusapkan minyak wangi keluarganya.”

9. Dari Anas bin Malik ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang lelaki memakai za’faran.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, Bukhari dan Muslim)

10. Dari Ya’la bin Murrah:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihat seorang sahabat berlumuran minyak wangi, beliau Saw. berkata: “Pergilah dan cucilah, kemudian cucilah, dan janganlah engkau mengulangnya kembali.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan. Mutakhalliqan artinya berlumuran, khaluq, sejenis minyak yang dominan warna merah dan kuningnya.

11. Dari Abu Musa, dari Nabi Saw.:

“Setiap mata bisa berzina, dan seorang wanita ketika memakai wewangian, lalu dia lewat di sekumpulan (lelaki) maka dia begini dan begini.” Maksudnya adalah berzina. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai, Ahmad dan ad-Darimi)

Tirmidzi: Hadits hasan shahih.

Iktihal itu memakai celak pada kelopak mata untuk memperkuat pandangan dan memperindah mata. Bercelak bisa menggunakan bahan apa saja yang layak, tidak harus dengan itsmid saja. Setiap bahan pewarna hitam yang lembut yang bisa dilekatkan pada kelopak mata, itu boleh digunakan untuk bercelak, sehingga kita boleh bercelak menggunakan celak mata cair yang dioleskan menggunakan kuas, boleh juga bercelak menggunakan celak mata solid yang dibuat dalam bentuk pensil, begitu pula kita boleh bercelak dengan celak mata yang dibubukkan oleh tangan.
Celak merupakan perhiasan yang bisa digunakan lelaki dan wanita, sehingga tidak dikatakan bahwa lelaki menyerupai wanita, atau wanita menyerupai lelaki ketika dia bercelak.
Disunahkan bagi lelaki dan wanita untuk mengganjilkan pemakaian celak, dengan cara bercelak tiga, lima atau bilangan ganjil lainnya untuk setiap mata. Hal ini didasarkan pada hadits pertama, dan karena memang Rasulullah Saw. sangat menganjurkan sesuatu yang ganjil:

“Sesungguhnya Allah Swt. itu ganjil, dan sangat mencintai sesuatu yang ganjil.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan)

Kebiasaan bercelak sudah jarang dilakukan kaum lelaki, bahkan bisa dikatakan mulai padam. Seorang wanita yang bercelak boleh tampil keluar rumah, dengan syarat tidak mencolok dan mengundang perhatian kaum lelaki, karena sesuatu yang mencolok dan mengundang perhatian itu dipandang sebagai tabaruj yang diharamkan. Begitu pula dengan memakai wewangian, sama-sama bisa dilakukan kaum lelaki dan wanita, hukumnya sunah. Hadits keempat menyatakan:

“Barangsiapa yang ditawari minyak wangi maka janganlah ia menolaknya.”

Hadits ini berlaku umum, mencakup lelaki dan wanita, dan begitu pula dengan hadits kelima.

Tetapi harus diingat, terdapat perbedaan antara pewangi kaum lelaki dengan pewangi kaum wanita. Hal itu disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits ketujuh. Pewangi kaum lelaki itu tajam baunya tetapi tidak berwarna, seperti kesturi, ambergris, gaharu, uthur, bakhur (dupa), yang semua itu tidak berwarna.
Sedangkan pewangi kaum wanita itu berwarna tapi tidak tajam baunya, seperti kunyit (pewarna kuning), khaluuq (pewarna merah kuning) dan sebagainya.
Ini ditunjukkan oleh hadits kesembilan dan kesepuluh, kecuali jika kaum wanita menggunakan pewangi yang berbau tajam itu di rumah mereka dan di depan mahram dan kaum wanita saja, maka boleh-boleh saja hukumnya, karena para mahram dan kaum wanita di rumah dihalalkan untuk melihat perhiasan seorang wanita.
Ketika seorang wanita memakai wewangian berbau tajam, maka dia tidak boleh tampil di depan lelaki asing dan keluar rumah, karena jika hal itu dilakukannya, maka dia akan terjerumus dalam keharaman yang disebutkan dalam hadits kesebelas dan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah:

“Wanita manapun yang mengenakan wewangian maka janganlah mengikuti shalat Isya bersama kami.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Di sisi lain, kaum lelaki boleh menggunakan minyak wangi yang berwarna jika memang tidak memiliki minyak wangi tanpa pewarna. Dalilnya adalah hadits kedelapan, tetapi harus digunakan pada saat-saat tertentu saja (tidak terlalu sering-pen.), misalnya digunakan saat pernikahan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. melihat Abdurrahman bin Auf ada bekas za'faran (kunyit) padanya, maka Nabi Saw. bertanya: “Ada apa denganmu?” Abdurrahman bin Auf menjawab: Wahai Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita. Rasulullah Saw. bertanya: “Apa mahar yang engkau berikan padanya?” Abdurrahman bin Auf menjawab: Emas sebesar biji kurma. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Adakanlah walimah, walaupun hanya menyembelih seekor kambing.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Bahwasanya Nabi Saw. bertemu dengan Abdurrahman bin Auf, pada dirinya ada bekas khaluuq.”

Kata ar-rad'u artinya bekas minyak wangi, mahyam adalah kalimat tanya, artinya ada apa denganmu, al-wadhr artinya bekas.

Hadits ini sekali waktu menyebutkan za'faran (kunyit), yakni sejenis tumbuhan pewarna kuning, dan sekali waktu menyebutkan al-khaluq yakni pewarna merah kekuningan. Za’faran dan khaluq termasuk pewangi yang digunakan kaum wanita, tetapi ternyata Abdurrahman bin Auf menggunakan keduanya pada hari pernikahannya, dan Rasulullah Saw. tidak mengingkari perbuatannya itu.

Bercelak dan memakai wewangian dianjurkan bagi kaum lelaki dan wanita, kecuali dalam kondisi berkabung, di mana keduanya saat itu haram dilakukan. Karenanya, seorang wanita yang sedang ber’iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh bercelak dan memakai wewangian selama masa ‘iddahnya, yakni empat bulan sepuluh hari. Sedangkan wanita yang lain hanya tiga hari saja. Beberapa hadits berikut menjelaskan hukum tersebut, saya sebutkan di antaranya:

1. Dari Ummu Salamah ra.:

“Ada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu orang-orang mengkhawatirkan (kesehatan) kedua matanya, maka mereka menemui Rasulullah Saw. Mereka meminta ijin beliau Saw. untuk mencelak matanya, maka Rasulullah Saw. berkata: “Janganlah engkau mencelak mata. Pada masa dahulu salah seorang dari kalian berdiam diri dengan mengenakan pakaian yang paling jelek, -atau di rumahnya yang paling jelek-, ketika berlalu satu tahun maka lewatlah seekor anjing, lalu dia melemparnya dengan kotoran, maka janganlah engkau bercelak hingga empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Kata al-ahlas artinya adalah pakaian.

2. Dari Zainab binti Abi Salamah, dia berkata:

“Aku menemui Ummu Habibah, isteri Nabi Saw., ketika ayahnya yakni Abu Sufyan wafat. Ummu Habibah meminta wewangian sejenis khaluq (jenis wewangian berwarna kuning) atau selainnya, lalu dia meminyaki pelayannya, kemudian dia mengolesi kedua pelipisnya sendiri, seraya berkata: Demi Allah, sebenarnya aku tidak memerlukan wewangian ini seandainya bukan karena aku mendengar Rasulullah Saw. berkata di atas mimbar, tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali kalau ditinggal mati suaminya maka berkabung empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Tetapi wanita yang ber’iddah diberi keringanan ketika ia telah suci dari haid dan hendak mandi, maka dia boleh memakai sesuatu yang bisa menghilangkan bau untuk menghilangkan bau tidak sedap darah haid. Ini berdasarkan hadits Ummu Athiyah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah dia bercelak dan memakai wewangian kecuali setelah dia suci, dia boleh memakai qusthun atau adzfar.” (HR. Muslim)

Qusthun dan adzfar itu dua jenis wewangian.

Mengenai wanita yang ditalak, maka tidak ada satu nash pun yang menunjukkan keharusan untuk tidak berhias, seperti memakai celak dan wewangian, sehingga hal itu tidak diharamkan baginya, dengan tidak ada perbedaan antara wanita yang sudah disetubuhi dengan yang belum disetubuhi, juga tidak ada perbedaan antara yang ditalak raj'iy dengan yang ditalak ba'in.
Pendapat ini berbeda dengan sejumlah fuqaha yang menyamakan al-muthallaqah (wanita yang ditalak) dengan wanita yang ber'iddah dalam hal keharusan tidak berhias. Kami tidak ingin lebih jauh membahas masalah ini, cukup bagi kami untuk mengisyaratkannya saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam