Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 08 September 2017

Arti Haid Menurut Bahasa Dan Istilah Syariah, Wajib Mandi Selesai Haid



Keempat: Haid

Haid menurut bahasa adalah as-sayalan atau al-jaryan (arus atau aliran).
Dikatakan haadhat al-mar’atu tahiidhu haidhan wa mahiidhan wa mahaadhan, jika darahnya mengalir keluar.
Seorang wanita yang haid bisa disebut haa’idh dan haa’idhah.
Telaga disebut al-haudh karena air mengalir ke sana (al-maa’u yahiidhu ilaihi).

Haid menurut syara: aliran darah wanita yang berasal dari rahimnya setelah wanita tersebut mencapai baligh, secara rutin dalam waktu tertentu.

Tidak diperselisihkan lagi bahwa haid mengharuskan si wanita untuk mandi. Ini merupakan perkara yang pasti diketahui sebagai bagian dari agama (ma’lum min ad-diin bi ad-dharurah).

Beberapa nash berikut menjelaskan persoalan mandi atas wanita haid:

1. Dari Anas bin Malik:

“Sesungguhnya orang Yahudi apabila isteri mereka haid, maka mereka tidak makan dan berkumpul dengannya di rumah. Lalu para sahabat bertanya kepada Nabi Saw., kemudian Allah Swt. menurunkan: (Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid) hingga akhir ayat. Rasulullah Saw. berkata: “Lakukanlah apapun kecuali bersetubuh.” Hal ini kemudian sampai kepada orang Yahudi, maka mereka berkata: Lelaki ini tidak ingin meninggalkan sesuatupun dari urusan kami kecuali hendak menyelisihi kami dalam perkara itu. Lalu datanglah Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr. Mereka berdua berkata kepada Rasulullah Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan begini dan begitu, maka kami tidak akan bergaul dengan wanita haid (mengasingkan wanita haidh-pen.). Lalu berubahlah wajah Rasulullah Saw. hingga kami menyangka Rasulullah Saw. marah pada keduanya, maka keduanya pun pergi keluar. Kemudian datanglah hadiah berupa susu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. mengutus orang memanggil keduanya, dan beliau Saw. kemudian memberi minum susu kepada keduanya. Keduanya kemudian mengetahui bahwa Rasulullah Saw. tidak marah pada mereka berdua.” (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai)

2. Dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya Asma bertanya kepada Nabi Saw. tentang cara mandi haid, maka Nabi Saw. menjawab: “Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidaranya, lalu dia bersuci (berwudhu) dan membaguskan bersucinya, kemudian mengucurkan air ke atas kepalanya seraya memijat-mijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal rambutnya. Setelah itu dia mengucurkan air ke atasnya, kemudian dia mengambil secarik kain kapas bermisik lalu dia bersuci dengannya.” Asma bertanya: Bagaimana cara bersucinya? Beliau Saw. berkata: “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -dengan suara yang samar-: Engkau sapu-sapu bekas darahnya.” (HR. Muslim)

Dalam satu riwayat disebutkan dengan lafadz:

“Beliau Saw. berkata: “Ambillah secarik kain kapas yang sudah diberi wewangian, lalu bersihkanlah tiga kali.” Kemudian beliau Saw. merasa malu lalu memalingkan muka, atau berkata: “Bersihkanlah dengan kapas itu.” Lalu aku mengambil kapas itu dan menarik wanita itu, kemudian aku terangkan apa yang dimaksud Nabi Saw.” (HR. Bukhari)

Asma yang disebutkan dalam hadits ini adalah Asma binti Syakal, seorang wanita Anshar.

3. Dari Ummu Salamah ra., dia berkata:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang suka mengepang rambut dengan kuat, apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub? Beliau Saw. berkata: “Jangan, engkau cukup menciduk air (dan mengucurkannya ke) kepalamu tiga genggaman, kemudian engkau curahkan air ke atas tubuhmu, maka engkau sudah suci.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Dalam sebagian lafadz hadits Ummu Salamah disebutkan:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut dengan kuat, apakah aku harus menguraikan ikatan tersebut saat mandi haid dan junub? Beliau Saw. berkata: “Jangan, engkau cukup mengucurkan air ke atas kepalamu tiga kali, kemudian engkau mengguyurkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.” (HR. Muslim)

Beberapa hadits yang lain menyebutkan persoalan haid ini, di antara hadits-hadits tersebut ada yang shahih dan ada yang dhaif, tetapi kami cukup mencantumkan tiga hadits ini saja.

Hadits ketiga menunjukkan bahwa gambaran mandi setelah haid itu sama persis dengan gambaran mandi setelah junub. Di dalam hadits tersebut hanya ada satu jawaban dari Rasululah Saw. atas pertanyaan Ummu Salamah tentang mandi orang yang junub dan haid.
Wanita haid mesti mandi dengan cara yang persis sama dengan mandi junub, dia tidak diharuskan menguraikan ikatan rambutnya saat mandi haid, begitu pula dia tidak perlu menguraikan ikatan rambutnya saat mandi junub. Persoalan ini telah kami bahas sehingga tidak perlu diulang kembali.

Di dalam hadits kedua terdapat dorongan atau anjuran untuk benar-benar membersihkan dan memakai wewangian, hingga bekas dan bau darahnya bisa hilang. Beliau Saw. bersabda:

“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidaranya, lalu dia bersuci (berwudhu) dan membaguskan bersucinya… seraya memijat-mijatnya dengan keras ...kemudian dia mengambil secarik kain kapas bermisik.”

Rasulullah Saw. memerintahkan wanita tersebut menambahkan daun bidara pada air yang digunakannya. Bidara itu sama dengan sabun di zaman kita ini, beliau Saw. berkata: “Hendaknya dia bersuci.” Kemudian beliau Saw. menambahkan: “dan membaguskan bersucinya” (benar-benar bersih dalam bersuci-pen.). Beliau Saw. berkata: “lalu engkau memijatnya.” Kemudian ucapan tersebut ditegaskan lagi dengan frase: “dengan keras,” dan beliau Saw. memerintahkan memberi pengharum pada bagian tersebut untuk menghilangkan bau darah. Semua perintah tersebut mengandung pengertian sunah saja, bukan wajib, karena tuntutan tersebut adalah tuntutan untuk membersihkan dan mengharumkan.

Adapun hadits pertama, maka dilalahnya merupakan bagian dari dilalah ayat al-Qur’an yang disebutkan dalam hadits itu juga, yakni firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah: 222:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Lafadz tathahhur dalam ayat ini maksudnya adalah mandi setelah haid.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam