Beberapa Syubhat
Sekarang kita akan
menghilangkan beberapa syubhat yang bisa saja muncul ketika membahas
benda-benda najis. Kami akan mulai membahas syubhat najisnya air kencing hewan.
Pertama: Air Kencing Hewan yang
Dimakan (dikonsumsi) Dagingnya dan Hewan yang tidak Dimakan (tidak dikonsumsi)
Dagingnya
Sejumlah imam
menyebutkan bahwa air kencing hewan yang dimakan dagingnya itu suci, sedangkan
air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya itu najis. Beberapa fuqaha yang
lain menyebutkan bahwa air kencing hewan yang dimakan ataupun yang tidak
dimakan dagingnya, itu tetap najis.
Pendapat pertama
dilontarkan oleh Malik, Ahmad, az-Zuhri, an-Nakha’iy, al-Auza’iy, at-Tsauriy,
as-Syaukani, sejumlah fuqaha dari madzhab Hanafiyah di antaranya adalah
Muhammad bin al-Hasan dan Zufar, sejumlah fuqaha dari madzhab Syafi'iyah di
antaranya adalah Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isthakhriy,
dan ar-Rauyani.
Sedangkan pendapat
kedua dilontarkan oleh as-Syafi’i, Abu Hanifah, Abu Tsur dan al-Hasan.
Kelompok pertama
berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:
a. Dari Anas dia berkata:
“Sejumlah orang dari
Ukl atau Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim
Madinah hingga mereka menderita sakit. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka agar
menyusul liqah (sekawanan unta yang
menghasilkan air susu) dan memerintahkan mereka untuk meminum air kencing dan
susunya. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Al-Liqah artinya adalah unta yang menghasilkan
susu.
Ketika Rasulullah Saw.
memerintahkan orang-orang Ukl dan Uraniyyin meminum air kencing unta, dan unta
itu sendiri adalah hewan yang dimakan dagingnya, maka ini menjadi dalil sucinya
air kencing unta dan air kencing hewan yang dimakan dagingnya. Artinya, dari
hadits ini kelompok pertama telah mengistinbath
‘illat unta sebagai hewan yang dimakan
dagingnya, lalu mereka menganalogikannya pada seluruh hewan yang dimakan
dagingnya, seperti domba, sapi, kambing, ayam, merpati dan selainnya.
b. Dari Anas ra. dia berkata:
“Sebelum masjid
dibangun, Nabi Saw. seringkali shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Mereka menyatakan
hadits ini menjadi dalil kedua yang menunjukkan sucinya air kencing kambing dan
sapi, karena shalat di kandang kambing menjadi dalil kesucian keduanya, karena
kandang itu tidak mungkin bersih dari air kencing dan kotoran. Fakta Rasulullah
Saw. shalat di tempat yang di dalamnya ada air kencing dan kotoran kambing,
menjadi dalil sucinya air kencing dan kotoran kambing. Kemudian mereka
menganalogikan keduanya dengan air kencing seluruh hewan yang dimakan
dagingnya.
c. Dari Jabir bin Samurrah ra.:
“Bahwasanya seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.: Apakah aku harus berwudhu setelah
memakan daging kambing? Beliau Saw. menjawab: “Jika kamu berkehendak maka boleh
berwudhu dan boleh juga tidak berwudhu.” Dia bertanya: Apakah aku harus berwudhu
karena memakan daging unta? Beliau Saw. menjawab: “Iya, berwudhulah karena
memakan daging unta.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?
Beliau Saw. menjawab: “Iya boleh.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di
kandang unta? Beliau Saw. menjawab: “Tidak.” (HR. Muslim, Ahmad dan al-Baihaqi)
d. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya kambing
itu termasuk tunggangan Surga, maka usaplah ingusnya, dan shalatlah di
kandangnya.” (HR. al-Baihaqi dan al-Khatib)
Status sanad hadits
ini hasan.
Dalam satu riwayat
al-Baihaqi dan Ibnu Adi dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda: )
“Sholatlah kalian di
kandang kambing, dan usaplah ingusnya, karena kambing itu termasuk tunggangan
Surga.”
Muraah artinya ma’wa
(tempat berlindung alias kandang), sedangkan rughaam
artinya adalah mukhaath (ingus).
Ini adalah beberapa
nash lain yang membolehkan shalat di kandang kambing, padahal di dalamnya ada
air kencing dan kotoran, sehingga semua nash tersebut menjadi dalil kesucian
air kencing. Adapun larangan Rasulullah Saw. shalat di kandang unta, itu bukan karena
najis statusnya, tetapi didasari ‘illat
bahwa unta itu diciptakan dari setan. Dari al-Barra bin Azib, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang mengerjakan shalat di kandang unta, maka beliau Saw. menjawab:
“Janganlah kalian shalat di tempat tambatan (kandang) unta, karena unta itu
berasal dari setan,” dan beliau Saw. ditanya tentang mengerjakan shalat di
tempat tambatan (kandang) kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Shalatlah di
dalamnya karena tempat itu mengandung barakah.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Majah, Ahmad, dan
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dari jalur Abdullah bin Mughaffal dengan
lafadz:
“Sholatlah kalian di
kandang kambing, dan janganlah kalian shalat di kandang unta, karena unta itu
diciptakan dari setan.”
Dalam hadits Ahmad
dari jalur yang sama diriwayatkan dengan lafadz:
“Karena unta itu
diciptakan dari jin.”
Ketika hadits ini
melarang shalat di kandang unta dengan ‘illat
bahwa unta itu berasal dari setan -dalam arti bisa menyakiti orang yang dekat
dengannya ketika unta tersebut menjadi liar- ini menjadi bukti ‘illat larangan tersebut bukan karena najisnya
unta.
e. Dari Ummu Salamah ra., dia berkata: Nabi
Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah
Swt. tidak menjadikan obat penawar untuk penyakit kalian itu berada dalam
barang haram.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya'la dan al-Bazzar)
f. Dari Abu Darda ra., dia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah
Swt. menurunkan penyakit dan obat penawar, dan menetapkan untuk setiap penyakit
ada obat penawarnya. Maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat
dengan barang yang haram.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
g. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang menggunakan obat yang najis dan haram.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ahmad dan at-Tirmidzi)
Dengan hadits-hadits
ini, kelompok pertama membantah orang yang menyatakan Rasulullah Saw.
mengijinkan air kencing unta digunakan sebagai obat. Ijin tersebut semata-mata
khusus untuk pengobatan saja, sehingga bila tidak terkait dengan pengobatan
maka air kencing unta itu tetap najis. Mereka mengatakan bahwa Rasululah Saw.
melarang menggunakan al-khabits, yakni
benda najis dan benda haram sebagai obat. Dan fakta beliau Saw. mengijinkan
berobat dengan air kencing unta itu menjadi dalil bahwa air kencing unta itu di
luar hukum najis dan haram (artinya tidak najis dan tidak haram). Sebagian dari
mereka berargumentasi dengan hadits marfu'
yang diriwayatkan al-Barra dan Jabir, yang lafadznya berbunyi:
“Tidak ada masalah
dengan air kencing hewan yang dimakan dagingnya.” (HR. ad-Daruquthni dengan
sanad yang sangat lemah).
Ibnu Hazm menyebutkan
hadits ini dalam kitabnya al-Maudhu'at
(hadits-hadits maudhu).
Inilah ringkasan
pendapat mereka tentang sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya,
berikut dalil-dalil yang mereka gunakan.
Perihal pernyataan
mereka, bahwa selain hewan yang dimakan dagingnya itu najis, tiada lain
berdasarkan dalil-dalil yang mereka tetapkan ‘illatnya
sebagai hewan yang dimakan dagingnya, sehingga mereka menyimpulkan bahwa hewan
yang tidak dimakan dagingnya itu najis; juga berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata:
“Nabi Saw. mendatangi
tempat buang air besar, lalu beliau Saw. memerintahkan aku membawakan tiga buah
batu untuknya. Aku hanya mendapatkan dua buah batu, lalu aku mencari batu yang
ketiga, tetapi aku tidak menemukannya hingga akupun mengambil kotoran yang
sudah kering. Kemudian aku membawa semua itu ke hadapan Nabi Saw. Namun beliau
Saw. hanya mengambil dua buah batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering
tersebut, seraya berkata: “Ini adalah riksun.”
(HR. Bukhari, Ahmad dan at-Tirmidzi)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Nabi Saw. hendak
buang air besar, lalu beliau Saw. berkata: “Berikanlah aku tiga buah batu.” Aku
hanya mendapatkan dua buah batu dan kotoran himar yang sudah kering. Beliau
Saw. kemudian menerima dua buah batu itu, dan melemparkan kotoran kering
tersebut, seraya Beliau berkata: “Ini adalah rijsun.”
Mereka berkata:
Rasulullah Saw. telah menyebutkan kotoran kering (ar-rautsah)
itu riksun atau rijsun, yakni najis, dan kotoran tersebut adalah kotoran hewan
yang tidak dimakan dagingnya, sehingga ini menunjukkan bahwa air kencing atau
kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya itu adalah najis.
Adapun kelompok yang
melontarkan pendapat yang kedua, yakni ulama as-Syafi’iyah dan Hanafiyah yang
memandang kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya dimakan dan tidak
dimakan itu sebagai najis, mereka berargumentasi dengan dua hadits: hadits yang
telah kami sebutkan sebelumnya, yakni hadits ar-riksu,
mereka menggeneralisir kotoran tersebut pada air kencing dan kotoran seluruh
binatang, dan hadits dua kuburan yakni: dari Ibnu Abbas dia berkata:
“Nabi Saw. melewati
dua kuburan, lalu beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya kedua orang ini sedang
disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena
tidak menjaga diri dari air kencing, sedangkan yang satunya lagi disiksa karena
suka mengadu domba (menyebar fitnah).” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dalam riwayat Ibnu
Majah dan Ahmad dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasululah Saw. bersabda:
“Sebagian besar siksa
kubur itu disebabkan oleh air kencing.”
Dalam hadits yang
diriwayatkan ad-Daruquthni dari Anas ra., dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Jagalah diri kalian
dari air kencing, karena sebagian besar azab kubur itu disebabkan oleh air
kencing.”
Mereka menggeneralisir
air kencing tersebut untuk air kencing manusia dan hewan, karena lafadz al-baul (air kencing) merupakan isim jins sehingga berlaku umum (general), dan
air kencing itu bisa ditarik untuk air kencing manusia dan air kencing hewan,
sehingga ini menunjukkan bahwa air kencing manusia dan air kencing hewan itu
adalah najis.
Mengenai shalat yang
dilakukan Rasulullah Saw., dan begitu pula perintah beliau Saw. untuk shalat di
kandang kambing, maka as-Syafi’i berkata ini harus dipahami bahwa shalatnya itu
harus jauh dari kotoran dan air kencing.
Adapun meminum air
kencing unta, maka mereka mengatakan bahwa air kencing unta itu untuk
pengobatan; dalam pengobatan dibolehkan untuk meminum benda najis. Mereka
memahami hadits Rasulullah Saw. yang melarang berobat dengan benda najis dan
haram itu berlaku dalam kondisi ikhtiar
(memiliki pilihan), sedangkan dalam kondisi darurat (tidak ada pilihan) maka
berobat dengan benda najis dan haram itu tidak apa-apa. Mereka menyatakan hal
seperti itu dengan argumentasi firman Allah Swt.:
“Padahal sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya.” (TQS. al-An’am [6]: 119)
Inilah pendapat dua
kelompok tersebut beserta dalil-dalilnya. Dengan mencermati pendapat keduanya
nampak jelas bahwa kedua kelompok tersebut memiliki pendapat yang sama terkait
najisnya air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya, seperti air kencing singa,
serigala, harimau, keledai, baghal dan sebagainya, tetapi keduanya berbeda
pendapat terkait air kencing hewan yang dimakan dagingnya, seperti air kencing
binatang ternak, rusa, unggas, burung yang dimakan, dan lainnya.
Sebelum kita membahas
lebih rinci dua pendapat ini, terkait persoalan ini kami akan menyebutkan
pendapat ketiga yang dilontarkan oleh as-Sya’biy dan Dawud, dan cenderung
dipegang oleh Bukhari, dia mengatakan: Seluruh air kencing hewan itu suci tanpa
kecuali, tidak dinukil dari mereka apakah mereka mengecualikan air kencing
anjing dan babi atau tidak.
Saya katakan cenderung
dipegang oleh Bukhari, saya tidak mengatakan pendapat yang dikatakan oleh
Bukhari, hal ini karena Bukhari dalam kitab Shahihnya
telah mencantumkan satu bab yang diberi judul: Bab air kencing unta, hewan
tunggangan, kambing dan kandangnya, dan Abu Musa shalat di Darul Barid dan
kandang kambing, padahal padang pasir ada di sampingnya, seraya berkata: Shalat
di sini dan di sana sama saja. Bukhari tidak menyatakan hukumnya dengan jelas,
tetapi beliau mencantumkan hadits orang-orang 'Uraniyyin, yang mengesankan
beliau memandang sucinya air kencing unta. Salah satu tanda yang menunjukkan
hal itu adalah komentar yang dinyatakan Bukhari tentang hadits penghuni kubur:
Beliau Saw. tidak menyebutkan selain air kencing manusia. Ibnu Bathal berkata:
Bukhari menegaskan bahwa maksud hadits “orang tersebut tidak menjaga diri dari
air kencing” adalah air kencing manusia, bukan air kencing binatang, sehingga
hadits ini tidak bisa menjadi hujjah
(argumentasi) bagi orang yang memahami hadits tersebut secara umum untuk air
kencing seluruh binatang.
Dalam pembahasan ini,
saya tidak akan mencantumkan setiap pendapat dari ketiganya itu secara
terpisah. Saya akan
membahas masalah tersebut seluruhnya secara sekaligus, agar nanti bisa nampak
jelas pendapat yang tepat di antara ketiganya dengan izin Allah.
Saya katakan: orang
yang menyatakan najisnya air kencing hewan seraya mengutip hadits Bukhari,
hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan ad-Daruquthni sebagai dalilnya, saya
katakan sebagai tidak teliti. Mereka mengatakan bahwa kata al-baul (air kencing) itu mencakup air kencing
manusia dan air kencing binatang. Pernyataan seperti itu semisal dengan
pernyataan: air itu seluruhnya suci mensucikan, dengan dalil ucapan beliau
Saw.:
“Air itu suci
mensucikan, tidak ada sesuatupun yang bisa menajisinya” dengan tanpa
memperhatikan lagi hadits dua qullah
yang telah mentakhsis pernyataan yang
umum tersebut. Ucapan Rasulullah Saw.:
“Tidak menjaga diri
dari air kencing.”
Atau dalam riwayat
lain:
“Tidak membersihkan
diri dari air kencing.” (HR. Ahmad)
Dalam satu riwayat
disebutkan:
“Tidak membebaskan
diri dari air kencing.” (HR. an-Nasai)
Kalimat seperti itu
bersifat umum untuk seluruh air kencing, tanpa ada perdebatan lagi menurut yang
saya ketahui, kecuali oleh orang yang memahami alif
lam pada kata al-baul itu sebagai
alif lam lil 'ahdi. Sesungguhnya alif lam di sini berposisi sebagai pengganti mudhaf ilaih, sehingga kata al-baul (air kencing) tersebut bermakna baul al-insan (air kencing manusia), atau
semisal dengan pernyataan yang dilontarkan al-Qurthubi: Sabda beliau Saw. “minal baul (dari air kencing)” itu adalah isim mufrad yang tidak mengharuskan
digeneralisirnya kata air kencing tersebut, seandainya bisa diterima, ucapan
tersebut telah ditakhsis dengan dalil
yang menetapkan sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya.
Tetapi ucapan seperti
ini terlalu ringkas dan global. Sebenarnya ada beberapa riwayat lain untuk
hadits yang sama, yang menjelaskan bahwa itu adalah air kencing manusia (baul al-insan), di dalam riwayat Bukhari
disebutkan:
“Tidak menjaga diri
dari air kencingnya.”
Dalam riwayat Ahmad
dan Ibnu Majah disebutkan:
“Tidak membersihkan
diri dari air kencingnya.”
Inilah dua nash yang
menunjukkan bahwa air kencing tersebut adalah air kencing manusia. Kedua nash
tersebut menjelaskan pernyataan global yang ada dalam hadits-hadits lain, dan
telah diketahui oleh kalangan ahli ushul yang diamalkan itu adalah dalil yang mubayyin, sehingga yang mujmal dibawa pada yang mubayyin (yang menjelaskan). Inilah perkara
yang samar tersembunyi bagi mereka yang mengatakan najisnya seluruh air kencing
karena dipandang tercakup oleh lafadz al-baul
(air kencing). Hadits-hadits yang mereka kutip tidak layak menopang klaim dan
pendapat mereka, karena hadits-hadits tersebut mujmal
adanya, dan riwayat hadits yang menyebutkan lafadz
baulihi (air kencingnya) itu telah membantah pendapat mereka tersebut.
Jelaslah kini bahwa air kencing yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut
adalah air kencing manusia.
Penafsiran dan
pemahaman terhadap lafadz-lafadz hadits ini selaras dengan hadits-hadits yang
menyatakan sucinya air kencing kambing, air kencing unta dan kotoran kambing
dan unta. Telah diketahui bahwa pada prinsipnya semua benda itu berstatus suci.
Ini berdasarkan dilalah firman Allah
Swt.:
“Apakah kamu tiada
melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi.” (TQS.
al-Hajj [22]: 65)
Dan firman Allah Swt.:
“Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya.” (TQS. al-Jatsiyah [45]: 13)
Allah Swt. telah
menundukkan apa yang ada di bumi dan di langit seluruhnya untuk kita. Taskhir (menundukkan) itu menghendaki
penggunaan dan pemanfaatan. Benda najis itu tidak boleh digunakan dan tidak
boleh dimanfaatkan. Karena itu, status suci menjadi kondisi asal suatu benda,
sehingga penetapan najis atas sesuatu apapun, itulah yang sebenarnya memerlukan
dalil.
Ibnu al-Mundzir
berkata: Benda-benda itu berada dalam status
suci, hingga terbukti najisnya. Karena itu, mereka memiliki dua opsi:
mendatangkan satu dalil yang manthuqnya
jelas menyebutkan atau mafhumnya
menyatakan bahwa air kencing hewan itu najis; atau menetapkan bahwa air kencing
hewan itu tetap dalam kondisi asalnya yakni dalam kondisi suci.
Mereka telah
mendatangkan satu hadits yang mereka kira menjadi nash yang menyatakan najisnya
air kencing binatang, yakni hadits ar-rautsah
(kotoran hewan yang kering) yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya
dari Ibnu Mas’ud, tetapi setelah dibahas nampak jelas bahwa hadits tersebut
bukan hujjah (argumentasi) yang
memperkuat dan menjadi sandaran pendapat mereka, sehingga ketika mereka tidak
memiliki dalil lain selain hadits tersebut nampak jelas kekeliruan pendapat
mereka.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya itu menyebutkan bahwa ar-rautsah (kotoran hewan yang sudah kering)
itu adalah riksun (dengan huruf kaf). Hadits Ibnu Khuzaimah yang juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah menyebutkan bahwa ar-rautsah
(kotoran hewan yang sudah kering) itu adalah rijsun
(dengan huruf jim). Ibnu Khuzaimah
menyebutkan bahwa kotoran tersebut adalah kotoran keledai. Untuk menjawabnya
adalah sebagai berikut: riwayat yang shahih
dan kuat itu harus didahulukan daripada riwayat yang lebih lemah darinya,
sekalipun hadits tersebut bisa jadi sama-sama shahih.
Riwayat Bukhari itu lebih kuat dibandingkan riwayat Ibnu Khuzaimah dan riwayat
Ibnu Majah, sehingga pada prinsipnya kita harus mengamalkan hadits Bukhari
saja, tidak dengan hadits Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah. Walaupun begitu dan
untuk menegakkan hujjah yang bisa
membantah mereka, maka kita akan mengamalkan kedua riwayat ini bersama-sama.
Kita akan mulai dengan riwayat Bukhari.
Kata riksun yang disebutkan dalam hadits Bukhari
untuk mendeskripsikan ar-rautsah
(kotoran hewan yang sudah kering) itu tidak berarti najis. Adalah keliru bila
orang menafsirkan riksun dengan najis.
Di dalam bahasa Arab
kata riksun tidak digunakan dalam arti
najis. Penjelasan yang ditemukan dalam sebagian kamus (al-mu'jam) yang menafsirkan kata riksun
dengan arti najis itu semata-mata karena terpengaruh oleh pendapat para fuqaha.
Kitab al-Qamus al-Muhith menafsirkan
kata riksun dengan dua arti, [riksun (huruf ra
dikasrahkan) adalah rijsun, dan raksun
(huruf ra difathahkan) artinya adalah
mengembalikan sesuatu menjadi terbalik, membalikan bagian awalnya ke bagian
akhirnya].
Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibnu al-Mandzur
disebutkan: [ar-raksa adalah membalikkan
sesuatu di atas kepalanya atau mengembalikan awal sesuatu kepada bagian
akhirnya], di tempat kedua disebutkan: [ar-raksa
artinya adalah mengembalikan sesuatu dalam keadaan terbalik], Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata: Lebih tepat untuk dikatakan mengembalikan dari hal makanan
menjadi hal kotoran.
Dinukil dari Abu Abdil
Malik bahwa makna ar-raksu adalah ar-raddu (mengembalikan) sebagaimana Allah
Swt. berfirman: urkisuu fi ihaa (mereka
dikembalikan kepadanya) artinya rudduu,
Ibnu Hajar mengomentari pernyataan tersebut: Ketika terbukti apa yang
dikatakannya niscaya dengan memfathahkan
huruf ra akan dikatakan arkasahuu raksan jika dia mengembalikannya.
Seperti ini pula Ibnu Abbas membuat penafsiran: arkasahum
raddahum (mengembalikan mereka). Ibnu Jarir at-Thabari menyatakan ketika
menafsirkan firman Allah Swt.:
“Setiap mereka diajak
kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya.” (TQS. an-Nisa
[4]: 91)
Dia berkata: Allah
Swt. berfirman setiap mereka diajak kembali kepada fitnah, mereka masuk ke
dalamnya, yakni setiap kali mereka diajak untuk menyekutukan Allah mereka
kembali murtad, mereka kembali menjadi orang musyrik seperti orang yang
mengajaknya. An-Nasai berkata: ar-raksu
itu makanan jin. Ibnu Hajar al-Asqalani lantas menyatakan: Ketika terbukti
dalam bahasa memiliki arti seperti itu, maka kata tersebut tidak mengandung
paradoks.
Dengan demikian para
pakar bahasa dan pakar hadits berbeda pendapat dalam menafsirkan lafadz ini.
Sebagian besar mereka menafsirkan lafadz riksun
ini dengan ar-raddu dan al-qalbu (mengembalikan dan membalikkan).
Mereka mengalami kebingungan karena bahasa menggunakan lafadz yang difathahkan (raksun),
sedangkan kata yang dibaca dalam hadits itu dikasrahkan
(riksun), ketika pendapat ini mengalami
perbedaan maka harus ada yang ditarjih
(dipilih mana yang lebih tepat dan lebih kuat), sehingga jika tidak ditarjih maka penafsiran kata tersebut akan
memiliki lebih dari satu makna, padahal kata para ahli ushul dengan adanya ihtimal (beberapa kemungkinan) itu maka tidak
bisa digunakan sebagai dalil. Artinya kata tersebut tetap dibiarkan mengandung ihtimal seperti itu sehingga tidak layak
digunakan sebagai hujjah, atau ihtimal tersebut harus dihilangkan dengan cara
mentarjih salah satunya agar istidlal bisa sah dilakukan.
Dengan merujuk pada
al-Qur’an dan Hadits, kita menemukan faktor pentarjih
yang jelas dan sempurna. Al-Qur'an menggunakan akar kata ini pada dua tempat:
Firman Allah Swt.
dalam surat an-Nisa: 88
“Maka mengapa kamu
(terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal
Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka
sendiri?”
Firman Allah Swt.
dalam surat an-Nisa: 91
“Setiap mereka diajak
kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya.”
Dua ayat ini
menunjukkan kata ar-riksu pada satu
makna, yakni ar-raddu dan al-qalbu (mengembalikan dan membalikkan).
Makna ini sesuai dengan penafsiran al-Qamus
al-Muhith dan kitab Lisan al-Arab,
juga sesuai dengan penafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Hajar, Ibnu Jarir dan Abu Abdil
Malik.
Yang paling tepat
adalah bahwa kata raksun (dengan difathahkan) itu bermakna al-qalbu dan ar-raddu
(membalikkan dan mengembalikan). Inilah makna raksun
yang ada dalam al-Qur'an, dan seperti ini pulalah makna raksun menurut bahasa (lughah).
Jika mereka mengatakan
bahwa al-Qur’an menggunakan akar kata raksun
(dengan difathahkan), padahal hadits
menyebutkan lafadz ini riksun (dengan dikasrahkan) dan arti riksun itu adalah najis, maka kami katakan kepada mereka: arti
bahasa manakah yang memastikan riksun
itu berarti najis?
Al-Qamus al-Muhith menafsirkan kata riksun (dengan dikasrahkan)
itu berarti rijsun, begitu pula kitab Mukhtar as-Shihah, kedua kamus bahasa Arab ini
tidak menafsirkan kata riksun dengan
kata najisun, dan kata rijsun tidak berarti najisun kecuali dengan adanya qarinah
(indikasi), padahal tidak ada qarinah di
sini.
Sekarang kita beralih
untuk menafsirkan kata rijsun, yakni
lafadz yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
Beberapa Kamus Bahasa
menyebutkan bahwa kata rijsun artinya
adalah al-qadzaru (kotor), dan sesuatu
yang kotor itu ada yang bersifat material (al-maadiy)
ada pula yang non material berupa perbuatan.
Kata rijsun ditafsirkan dengan al-ghadhab (kemarahan), al-qubhu (keburukan), al-i'aqatu (halangan), al-ikhtilathu
(campur baur), al-iltibaasu
(kebingungan), as-syakk (keraguan), al-‘iqaab (sanksi), sebagian kamus
menafsirkannya dengan kata an-najsu (najis),
karena itu kata rijsun memiliki beragam
makna, tetapi najis bukanlah makna yang paling menonjol dari lafadz rijsun itu sendiri. Ini menurut bahasa.
Dalam al-Qur’an lafadz
rijsun ini disebutkan di sepuluh tempat
dalam sembilan ayat. Tidak apa kiranya bila saya sebutkan seluruhnya:
1. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Maidah: 90
“Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah kotor termasuk perbuatan setan,”
2. Firman Allah Swt.
dalam surat al-An’am: 125:
“Begitulah Allah
menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
3. Firman Allah Swt.
dalam surat al-An’ am: 145
“Kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya
semua itu kotor.”
4. Firman Allah Swt.
dalam surat al-A’raf: 71
“Ia berkata: “Sungguh
sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.”
5. Firman Allah Swt.
dalam surat at-Taubah: 95
“Maka berpalinglah
dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor.”
6. Firman Allah Swt.
dalam surat Yunus: 100
“Dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
7. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Hajj': 30
“Maka jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
8. Firman Allah Swt.
dalam surat al-Ahzab: 33
“Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.”
9. Firman Allah Swt.
dalam surat at-Taubah: 125
“Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu
bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).”
Dengan mencermati
semua ayat tersebut, nampak jelas bahwa kata rijsun
yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut memiliki beberapa makna, tidak ada
satupun yang memiliki makna najis kecuali di satu tempat saja, dan itu pun
dengan adanya qarinah. Ini telah kami
paparkan dalam pembahasan sisa minum binatang, yakni ayat ketiga:
“Kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya
semua itu najis.” (TQS. al-An'am [6]:145)
Makna kata rijsun yang lainnya berbeda dengan makna rijsun dalam surat al-An'am: 145 ini.
Dalam ayat yang
pertama, berjudi dan mengundi nasib dengan panah itu tidak najis.
Rijsun dalam ayat kedua berarti keburukan.
Dalam ayat keempat
mengandung arti azab atau siksaan.
Dalam ayat kelima
mengandung arti najis maknawi sebagaimana telah kami verifikasi maknanya.
Dalam ayat keenam
mengandung arti siksaan dan keburukan.
Dalam ayat ketujuh
tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa berhala itu najis.
Dalam ayat kedelapan
tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Allah Swt. ingin membersihkan najis
dari ahli bait.
Dalam ayat kesembilan
lafadz rijsun tidak mengandung arti
najis.
Jikalau boleh saya
himpunkan seluruh makna atau pengertian ini dalam satu kata, maka saya katakan
makna rijsun itu adalah suu'un (keburukan). Lihatlah seluruh ayat
tersebut, dan tafsirkanlah dengan makna keburukan, maka Anda akan mendapatkan
keselarasan seluruh ayat dengan makna “keburukan” tersebut.
Kata rijsun berarti keburukan, tidak diartikan
dengan najasah (najis) kecuali dengan
adanya qarinah. Dengan demikian, di
dalam al-Qur’an tidak ada keharusan untuk menafsirkan kata rijsun dengan arti najis, sehingga pengertian
hadits bahwa ar-rautsatu riksun (kotoran
yang kering itu riksun) artinya adalah
dikembalikan atau dibalikkan, atau rijsun
dalam arti suu’un (keburukan atau
sesuatu yang buruk). Inilah dilalah kata
rijsun menurut bahasa (lughah) dan menurut al-Qur’an yang mulia.
Hadits telah
menafsirkan lafadz ini dengan ungkapan yang paling jelas, dan kita mengetahui
bahwa hadits itu saling menjelaskan satu sama lain, di antaranya adalah:
1. Dari Ibnu Mas'ud
bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Seorang da'i dari
kalangan jin mendatangi aku, maka aku pergi bersamanya. Lalu aku membaca
al-Qur'an di hadapan mereka. Perawi berkata: Lalu beliau Saw. beranjak pergi
bersama kami untuk menunjukkan jejak-jejak mereka dan jejak perapian mereka,
dan mereka meminta bekal kepada beliau Saw., maka beliau Saw. bersabda: “Bagi
kalian setiap tulang yang disebutkan nama Allah atasnya (ketika disembelih),
yang mana di tangan kalian lebih baik daripada daging dan setiap kotoran hewan
adalah makanan untuk hewan tunggangan kalian.” Lalu beliau Saw. bersabda: “Maka
janganlah kalian beristinja dengan
keduanya (yakni kotoran hewan dan tulang), karena keduanya adalah makanan
saudara kalian.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Maka janganlah kalian
beristinja dengan tulang dan jangan pula
dengan kotoran hewan, karena semua itu adalah makanan saudara kalian dari
kalangan jin.”
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Janganlah kalian beristinja dengan kotoran hewan dan jangan pula
dengan tulang, karena semua itu adalah makanan saudara kalian dari kalangan
jin.”
Tirmidzi berkata:
hadits inilah yang diamalkan menurut ahli ilmu.
2. Dari Abu Hurairah
ra., dia berkata:
“Sesungguhnya Nabi
Saw. melarang beristinja dengan kotoran
atau tulang. Beliau Saw. bersabda: “Keduanya itu tidak mensucikan.” (HR.
ad-Daruquthni)
Ad-Daruquthni berkata:
sanad hadits ini shahih.
3. Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwasanya Abu
Hurairah pernah membawakan sebuah kantung air terbuat dari kulit untuk wudhu
dan hajat Nabi Saw. Ketika dia mengikuti beliau Saw. dengan membawa kantung air
tersebut, beliau Saw. bertanya: “Siapa ini?” Ia menjawab: Aku Abu Hurairah,
Beliau Saw. berkata: “Carikanlah untukku beberapa batu untuk aku gunakan
sebagai alat bersuci, dan janganlah engkau membawakan tulang dan kotoran hewan
untukku.” Kemudian aku datang dengan membawa beberapa batu dengan menggunakan
ujung bajuku dan meletakkannya di samping beliau Saw. Kemudian aku pergi.
Ketika beliau Saw. selesai buang hajat, aku berjalan mendekati beliau Saw.,
seraya bertanya: Mengapa dengan tulang dan kotoran hewan? Beliau Saw. menjawab:
“Keduanya adalah makanan jin, dan sesungguhnya pernah datang kepadaku utusan
jin dari Nashibin, dia adalah sebaik-baik jin, lalu mereka meminta bekal
kepadaku. Maka aku memohon kepada Allah Swt. untuk mereka agar mereka tidak
melewati tulang dan kotoran hewan melainkan mereka mendapati ada makanan
padanya.” (HR. Bukhari)
4. Dari Ibnu Mas’ud
ra., dia berkata:
“Jin meminta makanan
kepada Rasulullah Saw. di penghujung malam saat beliau Saw. bertemu dengan
mereka di sebagian lembah Makkah. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap tulang
yang ada di hadapan kalian yang disebutkan nama Allah (saat menyembelihnya) itu
lebih berguna daripada daging, kotoran hewan merupakan makanan untuk tunggangan
kalian.” Lalu Jin berkata: Sesungguhnya manusia telah menajisi benda-benda yang
diperuntukkan bagi kami itu. Maka sejak itu beliau Saw. bersabda: “Janganlah
kalian beristinja dengan kotoran
binatang dan jangan pula dengan tulang, sesungguhnya itu adalah makanan untuk
saudara-saudara kalian dari kalangan jin.” (HR. at-Thahawi)
Dengan demikian, di
dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk kuat dan jelas bahwa kata rijsun dan kata riksun
di sini tidak bermakna najis, dan bahwasanya ‘illat
(alasan) larangan beristinja dengan
tulang dan kotoran hewan itu adalah karena keduanya merupakan makanan jin,
bukan karena keduanya itu najis.
Al-Qur’an menggunakan
kata riksun dengan arti ar-raddu dan al-qalbu
(mengembalikan dan membalikkan), dan menggunakan kata rijsun dengan beberapa arti yang bisa dihimpun oleh kata suu'un (keburukan/ sesuatu yang buruk), dan
Rasulullah Saw. ketika diberi kotoran hewan yang sudah kering (ar-rautsah) beliau Saw. berkata:
a. Sesungguhnya ini
adalah riksun, yakni raddun dan qalbun,
artinya benda tersebut akan dikembalikan dan akan dibalikkan, yakni benda
tersebut akan berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain.
Terdapat beberapa
hadits lain yang menjelaskan substansi peralihan atau perubahan ini, dan ini
mengandung arti bahwa benda tersebut akan berubah kembali menjadi makanan,
yakni akan kembali pada kondisi awalnya sebagai makanan. Inilah makna ar-raddu dan al-qalbu
sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai kamus bahasa, dan sebagaimana
disebutkan dalam berbagai ayat al-Qur’an.
Dengan demikian,
al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan kamus bahasa, seluruhnya bertemu dalam satu makna
untuk kata riksun ini, yakni menjadi
kembali dan berbalik pada kondisi sebelumnya. Ketika tiga hal tersebut
(al-Qur’an, as-Sunnah, dan kamus bahasa) bertemu pada satu makna, sehingga
siapapun tidak boleh menyalahinya.
b. Innahaa rijsun,
rijsun itu artinya adalah suu'un (keburukan/sesuatu yang buruk), dan
arti yang lain adalah sukhthun
(kemurkaan), sebagaimana ditafsirkan oleh Abdullah bin Abbas. Kata as-suu'u (buruk) itu kebalikan dari as-shalah (kebaikan/sesuatu yang baik). Allah
Swt. berfirman:
“Dan (ada pula)
orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan
pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.” (TQS. at-Taubah [9]:
102)
Allah Swt. berfirman:
“Dan barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi
kesalahan-kesalahannya.” (TQS. At-Taghabun [64]: 9)
Allah Swt. berfirman:
“Dan tidaklah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang
yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka.”
(TQS. Ghafir [40]: 58)
Semua ayat ini
menyebutkan kebaikan dan keburukan, dan menjadikan kebaikan sebagai kebalikan
dari keburukan. Sesuatu yang buruk itu kebalikan dari sesuatu yang baik, dan
orang yang berbuat buruk itu kebalikan dari orang yang berbuat baik. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang kontradiktif. Dengan demikian lafadz rijsun itu berarti suu’un (keburukan), sukhthun
(kemurkaan), dan sesuatu yang tidak baik.
Inilah himpunan makna rijsun yang sebenarnya, sehingga sabda
Rasulullah Saw. tentang rautshah
(kotoran hewan yang sudah kering) bahwa rautsah
itu rijsun, mengandung arti bahwa rautsah itu buruk bila digunakan untuk beristinja, atau rautsah
itu mengundang kemurkaan, atau rautsah
itu tidak layak atau tidak baik digunakan untuk beristinja. Inilah makna rijsun
yang sebenarnya, tidak ada satupun makna rautsah
di sini adalah najis, dilihat dari sisi manapun.
Ringkasnya, kami
katakan bahwa Rasulullah Saw. ketika diberi rautsah
(kotoran hewan yang sudah kering) maka beliau Saw. hendak menjelaskan bahwa rautsah itu tidak bisa digunakan dalam beristinja, maka beliau Saw. menggunakan kata riksun yang artinya adalah bahwa rautsah itu akan berubah atau beralih kepada
kondisi awalnya sebagai makanan, yakni rautsah
ini akan menjadi makanan jin setelah di tangan mereka rautsah ini berubah menjadi makanan.
Ketika kita
menggunakan lafadz rijsun maka kita
katakan bahwa dengan kalimat seperti itu beliau Saw. ingin menampakkan
penolakannya menggunakan rautsah
tersebut dalam istinja, maka beliau Saw.
berkata: Sesungguhnya rautsah ini buruk,
yakni tidak baik, dan rautsah ini sukhthun (kebencian) karena menyalahi janji
yang telah diberikan Rasulullah Saw. kepada saudara kita dari kalangan jin.
Inilah makna hadits
dengan lafadz riksun dan rijsun tersebut. Makna-makna ini saling
mendukung dan bersesuaian dengan makna yang digunakan dalam ayat al-Qur'an dan
hadits-hadits Nabi Saw. yang telah kami tampilkan sebagian darinya itu, tidak
ada satupun yang bermakna najis di sana.
Tetapi anehnya mengapa
kita melangkah sangat jauh dalam memahaminya, padahal hadits keempat
menyatakan: sesungguhnya manusia telah menajisi benda-benda yang diperuntukkan
bagi kami itu. Ini
merupakan nash yang dilalahnya secara pasti menunjukkan bahwa kotoran hewan dan tulang itu suci,
karena sesuatu yang najis tidak akan diminta untuk tidak dinajisi. Ketika
hadits ini menyatakan hal seperti itu, maka ini menjadi dalil yang menguatkan
status suci keduanya.
Dengan demikian, setelah nampak betapa kelirunya
kutipan dalil yang mereka gunakan untuk menopang pendapat najisnya ar-rautsah (kotoran hewan), maka
kesimpulannya kotoran hewan itu tetap berada dalam status asalnya yang suci,
dan hanya air kencing manusia saja yang najis.
Ini saja sudah cukup
untuk membuktikan status sucinya air kencing semua binatang, dengan
pengecualian air kencing anjing dan babi, berdasarkan penelitian yang kami
paparkan sebelumnya tentang najisnya anjing dan babi, karena selama kedua hewan
tersebut najis maka air kencingnya pun tentu najis juga.
Penjelasan ini menjadi
lebih dari memuaskan, ketika kita mengutip tiga hadits yang sebelumnya telah
dikutip oleh penganut pendapat yang pertama, yang mengatakan bahwa air kencing
hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Dalam faktanya, hadits-hadits tersebut
dikutip untuk memuaskan kita akan kebenaran pendapat yang menyatakan sucinya
air kencing dan kotoran hewan tunggangan seluruhnya. Tiga nash ini hanya
menjelaskan satuan benda yang dibolehkan, tidak mencakup perkara mubah
seluruhnya. Kebolehan itu terbukti ketika kita membatalkan dalil-dalil mereka
yang menyatakan najisnya air kencing (hewan), karena pada prinsipnya segala
benda itu dalam keadaan suci.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar