Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Agustus 2017

Pembahasan Hukum Air Kencing Hewan



Beberapa Syubhat

Sekarang kita akan menghilangkan beberapa syubhat yang bisa saja muncul ketika membahas benda-benda najis. Kami akan mulai membahas syubhat najisnya air kencing hewan.

Pertama: Air Kencing Hewan yang Dimakan (dikonsumsi) Dagingnya dan Hewan yang tidak Dimakan (tidak dikonsumsi) Dagingnya

Sejumlah imam menyebutkan bahwa air kencing hewan yang dimakan dagingnya itu suci, sedangkan air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya itu najis. Beberapa fuqaha yang lain menyebutkan bahwa air kencing hewan yang dimakan ataupun yang tidak dimakan dagingnya, itu tetap najis.
Pendapat pertama dilontarkan oleh Malik, Ahmad, az-Zuhri, an-Nakha’iy, al-Auza’iy, at-Tsauriy, as-Syaukani, sejumlah fuqaha dari madzhab Hanafiyah di antaranya adalah Muhammad bin al-Hasan dan Zufar, sejumlah fuqaha dari madzhab Syafi'iyah di antaranya adalah Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isthakhriy, dan ar-Rauyani.
Sedangkan pendapat kedua dilontarkan oleh as-Syafi’i, Abu Hanifah, Abu Tsur dan al-Hasan.
Kelompok pertama berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:

a. Dari Anas dia berkata:

“Sejumlah orang dari Ukl atau Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka menderita sakit. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka agar menyusul liqah (sekawanan unta yang menghasilkan air susu) dan memerintahkan mereka untuk meminum air kencing dan susunya. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Al-Liqah artinya adalah unta yang menghasilkan susu.

Ketika Rasulullah Saw. memerintahkan orang-orang Ukl dan Uraniyyin meminum air kencing unta, dan unta itu sendiri adalah hewan yang dimakan dagingnya, maka ini menjadi dalil sucinya air kencing unta dan air kencing hewan yang dimakan dagingnya. Artinya, dari hadits ini kelompok pertama telah mengistinbathillat unta sebagai hewan yang dimakan dagingnya, lalu mereka menganalogikannya pada seluruh hewan yang dimakan dagingnya, seperti domba, sapi, kambing, ayam, merpati dan selainnya.

b. Dari Anas ra. dia berkata:

“Sebelum masjid dibangun, Nabi Saw. seringkali shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mereka menyatakan hadits ini menjadi dalil kedua yang menunjukkan sucinya air kencing kambing dan sapi, karena shalat di kandang kambing menjadi dalil kesucian keduanya, karena kandang itu tidak mungkin bersih dari air kencing dan kotoran. Fakta Rasulullah Saw. shalat di tempat yang di dalamnya ada air kencing dan kotoran kambing, menjadi dalil sucinya air kencing dan kotoran kambing. Kemudian mereka menganalogikan keduanya dengan air kencing seluruh hewan yang dimakan dagingnya.

c. Dari Jabir bin Samurrah ra.:

“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.: Apakah aku harus berwudhu setelah memakan daging kambing? Beliau Saw. menjawab: “Jika kamu berkehendak maka boleh berwudhu dan boleh juga tidak berwudhu.” Dia bertanya: Apakah aku harus berwudhu karena memakan daging unta? Beliau Saw. menjawab: “Iya, berwudhulah karena memakan daging unta.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang kambing? Beliau Saw. menjawab: “Iya boleh.” Dia bertanya: Apakah aku boleh shalat di kandang unta? Beliau Saw. menjawab: “Tidak.” (HR. Muslim, Ahmad dan al-Baihaqi)

d. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya kambing itu termasuk tunggangan Surga, maka usaplah ingusnya, dan shalatlah di kandangnya.” (HR. al-Baihaqi dan al-Khatib)

Status sanad hadits ini hasan.

Dalam satu riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Adi dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda: )

“Sholatlah kalian di kandang kambing, dan usaplah ingusnya, karena kambing itu termasuk tunggangan Surga.”

Muraah artinya ma’wa (tempat berlindung alias kandang), sedangkan rughaam artinya adalah mukhaath (ingus).

Ini adalah beberapa nash lain yang membolehkan shalat di kandang kambing, padahal di dalamnya ada air kencing dan kotoran, sehingga semua nash tersebut menjadi dalil kesucian air kencing. Adapun larangan Rasulullah Saw. shalat di kandang unta, itu bukan karena najis statusnya, tetapi didasari ‘illat bahwa unta itu diciptakan dari setan. Dari al-Barra bin Azib, dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang mengerjakan shalat di kandang unta, maka beliau Saw. menjawab: “Janganlah kalian shalat di tempat tambatan (kandang) unta, karena unta itu berasal dari setan,” dan beliau Saw. ditanya tentang mengerjakan shalat di tempat tambatan (kandang) kambing, maka beliau Saw. menjawab: “Shalatlah di dalamnya karena tempat itu mengandung barakah.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dari jalur Abdullah bin Mughaffal dengan lafadz:

“Sholatlah kalian di kandang kambing, dan janganlah kalian shalat di kandang unta, karena unta itu diciptakan dari setan.”

Dalam hadits Ahmad dari jalur yang sama diriwayatkan dengan lafadz:

“Karena unta itu diciptakan dari jin.”

Ketika hadits ini melarang shalat di kandang unta dengan ‘illat bahwa unta itu berasal dari setan -dalam arti bisa menyakiti orang yang dekat dengannya ketika unta tersebut menjadi liar- ini menjadi bukti ‘illat larangan tersebut bukan karena najisnya unta.

e. Dari Ummu Salamah ra., dia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak menjadikan obat penawar untuk penyakit kalian itu berada dalam barang haram.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya'la dan al-Bazzar)

f. Dari Abu Darda ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan penyakit dan obat penawar, dan menetapkan untuk setiap penyakit ada obat penawarnya. Maka berobatlah kalian, dan janganlah kalian berobat dengan barang yang haram.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

g. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang menggunakan obat yang najis dan haram.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan at-Tirmidzi)

Dengan hadits-hadits ini, kelompok pertama membantah orang yang menyatakan Rasulullah Saw. mengijinkan air kencing unta digunakan sebagai obat. Ijin tersebut semata-mata khusus untuk pengobatan saja, sehingga bila tidak terkait dengan pengobatan maka air kencing unta itu tetap najis. Mereka mengatakan bahwa Rasululah Saw. melarang menggunakan al-khabits, yakni benda najis dan benda haram sebagai obat. Dan fakta beliau Saw. mengijinkan berobat dengan air kencing unta itu menjadi dalil bahwa air kencing unta itu di luar hukum najis dan haram (artinya tidak najis dan tidak haram). Sebagian dari mereka berargumentasi dengan hadits marfu' yang diriwayatkan al-Barra dan Jabir, yang lafadznya berbunyi:

“Tidak ada masalah dengan air kencing hewan yang dimakan dagingnya.” (HR. ad-Daruquthni dengan sanad yang sangat lemah).

Ibnu Hazm menyebutkan hadits ini dalam kitabnya al-Maudhu'at (hadits-hadits maudhu).

Inilah ringkasan pendapat mereka tentang sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya, berikut dalil-dalil yang mereka gunakan.

Perihal pernyataan mereka, bahwa selain hewan yang dimakan dagingnya itu najis, tiada lain berdasarkan dalil-dalil yang mereka tetapkan ‘illatnya sebagai hewan yang dimakan dagingnya, sehingga mereka menyimpulkan bahwa hewan yang tidak dimakan dagingnya itu najis; juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata:

“Nabi Saw. mendatangi tempat buang air besar, lalu beliau Saw. memerintahkan aku membawakan tiga buah batu untuknya. Aku hanya mendapatkan dua buah batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, tetapi aku tidak menemukannya hingga akupun mengambil kotoran yang sudah kering. Kemudian aku membawa semua itu ke hadapan Nabi Saw. Namun beliau Saw. hanya mengambil dua buah batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut, seraya berkata: “Ini adalah riksun.” (HR. Bukhari, Ahmad dan at-Tirmidzi)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Nabi Saw. hendak buang air besar, lalu beliau Saw. berkata: “Berikanlah aku tiga buah batu.” Aku hanya mendapatkan dua buah batu dan kotoran himar yang sudah kering. Beliau Saw. kemudian menerima dua buah batu itu, dan melemparkan kotoran kering tersebut, seraya Beliau berkata: “Ini adalah rijsun.”

Mereka berkata: Rasulullah Saw. telah menyebutkan kotoran kering (ar-rautsah) itu riksun atau rijsun, yakni najis, dan kotoran tersebut adalah kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya, sehingga ini menunjukkan bahwa air kencing atau kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya itu adalah najis.

Adapun kelompok yang melontarkan pendapat yang kedua, yakni ulama as-Syafi’iyah dan Hanafiyah yang memandang kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya dimakan dan tidak dimakan itu sebagai najis, mereka berargumentasi dengan dua hadits: hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, yakni hadits ar-riksu, mereka menggeneralisir kotoran tersebut pada air kencing dan kotoran seluruh binatang, dan hadits dua kuburan yakni: dari Ibnu Abbas dia berkata:

“Nabi Saw. melewati dua kuburan, lalu beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak menjaga diri dari air kencing, sedangkan yang satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba (menyebar fitnah).” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Dalam riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasululah Saw. bersabda:

“Sebagian besar siksa kubur itu disebabkan oleh air kencing.”

Dalam hadits yang diriwayatkan ad-Daruquthni dari Anas ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jagalah diri kalian dari air kencing, karena sebagian besar azab kubur itu disebabkan oleh air kencing.”

Mereka menggeneralisir air kencing tersebut untuk air kencing manusia dan hewan, karena lafadz al-baul (air kencing) merupakan isim jins sehingga berlaku umum (general), dan air kencing itu bisa ditarik untuk air kencing manusia dan air kencing hewan, sehingga ini menunjukkan bahwa air kencing manusia dan air kencing hewan itu adalah najis.

Mengenai shalat yang dilakukan Rasulullah Saw., dan begitu pula perintah beliau Saw. untuk shalat di kandang kambing, maka as-Syafi’i berkata ini harus dipahami bahwa shalatnya itu harus jauh dari kotoran dan air kencing.
Adapun meminum air kencing unta, maka mereka mengatakan bahwa air kencing unta itu untuk pengobatan; dalam pengobatan dibolehkan untuk meminum benda najis. Mereka memahami hadits Rasulullah Saw. yang melarang berobat dengan benda najis dan haram itu berlaku dalam kondisi ikhtiar (memiliki pilihan), sedangkan dalam kondisi darurat (tidak ada pilihan) maka berobat dengan benda najis dan haram itu tidak apa-apa. Mereka menyatakan hal seperti itu dengan argumentasi firman Allah Swt.:

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (TQS. al-An’am [6]: 119)

Inilah pendapat dua kelompok tersebut beserta dalil-dalilnya. Dengan mencermati pendapat keduanya nampak jelas bahwa kedua kelompok tersebut memiliki pendapat yang sama terkait najisnya air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya, seperti air kencing singa, serigala, harimau, keledai, baghal dan sebagainya, tetapi keduanya berbeda pendapat terkait air kencing hewan yang dimakan dagingnya, seperti air kencing binatang ternak, rusa, unggas, burung yang dimakan, dan lainnya.

Sebelum kita membahas lebih rinci dua pendapat ini, terkait persoalan ini kami akan menyebutkan pendapat ketiga yang dilontarkan oleh as-Sya’biy dan Dawud, dan cenderung dipegang oleh Bukhari, dia mengatakan: Seluruh air kencing hewan itu suci tanpa kecuali, tidak dinukil dari mereka apakah mereka mengecualikan air kencing anjing dan babi atau tidak.
Saya katakan cenderung dipegang oleh Bukhari, saya tidak mengatakan pendapat yang dikatakan oleh Bukhari, hal ini karena Bukhari dalam kitab Shahihnya telah mencantumkan satu bab yang diberi judul: Bab air kencing unta, hewan tunggangan, kambing dan kandangnya, dan Abu Musa shalat di Darul Barid dan kandang kambing, padahal padang pasir ada di sampingnya, seraya berkata: Shalat di sini dan di sana sama saja. Bukhari tidak menyatakan hukumnya dengan jelas, tetapi beliau mencantumkan hadits orang-orang 'Uraniyyin, yang mengesankan beliau memandang sucinya air kencing unta. Salah satu tanda yang menunjukkan hal itu adalah komentar yang dinyatakan Bukhari tentang hadits penghuni kubur: Beliau Saw. tidak menyebutkan selain air kencing manusia. Ibnu Bathal berkata: Bukhari menegaskan bahwa maksud hadits “orang tersebut tidak menjaga diri dari air kencing” adalah air kencing manusia, bukan air kencing binatang, sehingga hadits ini tidak bisa menjadi hujjah (argumentasi) bagi orang yang memahami hadits tersebut secara umum untuk air kencing seluruh binatang.

Dalam pembahasan ini, saya tidak akan mencantumkan setiap pendapat dari ketiganya itu secara terpisah. Saya akan membahas masalah tersebut seluruhnya secara sekaligus, agar nanti bisa nampak jelas pendapat yang tepat di antara ketiganya dengan izin Allah.
Saya katakan: orang yang menyatakan najisnya air kencing hewan seraya mengutip hadits Bukhari, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan ad-Daruquthni sebagai dalilnya, saya katakan sebagai tidak teliti. Mereka mengatakan bahwa kata al-baul (air kencing) itu mencakup air kencing manusia dan air kencing binatang. Pernyataan seperti itu semisal dengan pernyataan: air itu seluruhnya suci mensucikan, dengan dalil ucapan beliau Saw.:

“Air itu suci mensucikan, tidak ada sesuatupun yang bisa menajisinya” dengan tanpa memperhatikan lagi hadits dua qullah yang telah mentakhsis pernyataan yang umum tersebut. Ucapan Rasulullah Saw.:

“Tidak menjaga diri dari air kencing.”

Atau dalam riwayat lain:

“Tidak membersihkan diri dari air kencing.” (HR. Ahmad)

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Tidak membebaskan diri dari air kencing.” (HR. an-Nasai)

Kalimat seperti itu bersifat umum untuk seluruh air kencing, tanpa ada perdebatan lagi menurut yang saya ketahui, kecuali oleh orang yang memahami alif lam pada kata al-baul itu sebagai alif lam lil 'ahdi. Sesungguhnya alif lam di sini berposisi sebagai pengganti mudhaf ilaih, sehingga kata al-baul (air kencing) tersebut bermakna baul al-insan (air kencing manusia), atau semisal dengan pernyataan yang dilontarkan al-Qurthubi: Sabda beliau Saw. “minal baul (dari air kencing)” itu adalah isim mufrad yang tidak mengharuskan digeneralisirnya kata air kencing tersebut, seandainya bisa diterima, ucapan tersebut telah ditakhsis dengan dalil yang menetapkan sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya.

Tetapi ucapan seperti ini terlalu ringkas dan global. Sebenarnya ada beberapa riwayat lain untuk hadits yang sama, yang menjelaskan bahwa itu adalah air kencing manusia (baul al-insan), di dalam riwayat Bukhari disebutkan:

“Tidak menjaga diri dari air kencingnya.”

Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan:

“Tidak membersihkan diri dari air kencingnya.”

Inilah dua nash yang menunjukkan bahwa air kencing tersebut adalah air kencing manusia. Kedua nash tersebut menjelaskan pernyataan global yang ada dalam hadits-hadits lain, dan telah diketahui oleh kalangan ahli ushul yang diamalkan itu adalah dalil yang mubayyin, sehingga yang mujmal dibawa pada yang mubayyin (yang menjelaskan). Inilah perkara yang samar tersembunyi bagi mereka yang mengatakan najisnya seluruh air kencing karena dipandang tercakup oleh lafadz al-baul (air kencing). Hadits-hadits yang mereka kutip tidak layak menopang klaim dan pendapat mereka, karena hadits-hadits tersebut mujmal adanya, dan riwayat hadits yang menyebutkan lafadz baulihi (air kencingnya) itu telah membantah pendapat mereka tersebut. Jelaslah kini bahwa air kencing yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut adalah air kencing manusia.
Penafsiran dan pemahaman terhadap lafadz-lafadz hadits ini selaras dengan hadits-hadits yang menyatakan sucinya air kencing kambing, air kencing unta dan kotoran kambing dan unta. Telah diketahui bahwa pada prinsipnya semua benda itu berstatus suci. Ini berdasarkan dilalah firman Allah Swt.:

“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi.” (TQS. al-Hajj [22]: 65)

Dan firman Allah Swt.:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (TQS. al-Jatsiyah [45]: 13)

Allah Swt. telah menundukkan apa yang ada di bumi dan di langit seluruhnya untuk kita. Taskhir (menundukkan) itu menghendaki penggunaan dan pemanfaatan. Benda najis itu tidak boleh digunakan dan tidak boleh dimanfaatkan. Karena itu, status suci menjadi kondisi asal suatu benda, sehingga penetapan najis atas sesuatu apapun, itulah yang sebenarnya memerlukan dalil.
Ibnu al-Mundzir berkata: Benda-benda itu berada dalam status suci, hingga terbukti najisnya. Karena itu, mereka memiliki dua opsi: mendatangkan satu dalil yang manthuqnya jelas menyebutkan atau mafhumnya menyatakan bahwa air kencing hewan itu najis; atau menetapkan bahwa air kencing hewan itu tetap dalam kondisi asalnya yakni dalam kondisi suci.
Mereka telah mendatangkan satu hadits yang mereka kira menjadi nash yang menyatakan najisnya air kencing binatang, yakni hadits ar-rautsah (kotoran hewan yang kering) yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya dari Ibnu Mas’ud, tetapi setelah dibahas nampak jelas bahwa hadits tersebut bukan hujjah (argumentasi) yang memperkuat dan menjadi sandaran pendapat mereka, sehingga ketika mereka tidak memiliki dalil lain selain hadits tersebut nampak jelas kekeliruan pendapat mereka.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya itu menyebutkan bahwa ar-rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) itu adalah riksun (dengan huruf kaf). Hadits Ibnu Khuzaimah yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah menyebutkan bahwa ar-rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) itu adalah rijsun (dengan huruf jim). Ibnu Khuzaimah menyebutkan bahwa kotoran tersebut adalah kotoran keledai. Untuk menjawabnya adalah sebagai berikut: riwayat yang shahih dan kuat itu harus didahulukan daripada riwayat yang lebih lemah darinya, sekalipun hadits tersebut bisa jadi sama-sama shahih. Riwayat Bukhari itu lebih kuat dibandingkan riwayat Ibnu Khuzaimah dan riwayat Ibnu Majah, sehingga pada prinsipnya kita harus mengamalkan hadits Bukhari saja, tidak dengan hadits Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah. Walaupun begitu dan untuk menegakkan hujjah yang bisa membantah mereka, maka kita akan mengamalkan kedua riwayat ini bersama-sama. Kita akan mulai dengan riwayat Bukhari.

Kata riksun yang disebutkan dalam hadits Bukhari untuk mendeskripsikan ar-rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) itu tidak berarti najis. Adalah keliru bila orang menafsirkan riksun dengan najis.
Di dalam bahasa Arab kata riksun tidak digunakan dalam arti najis. Penjelasan yang ditemukan dalam sebagian kamus (al-mu'jam) yang menafsirkan kata riksun dengan arti najis itu semata-mata karena terpengaruh oleh pendapat para fuqaha. Kitab al-Qamus al-Muhith menafsirkan kata riksun dengan dua arti, [riksun (huruf ra dikasrahkan) adalah rijsun, dan raksun (huruf ra difathahkan) artinya adalah mengembalikan sesuatu menjadi terbalik, membalikan bagian awalnya ke bagian akhirnya].
Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibnu al-Mandzur disebutkan: [ar-raksa adalah membalikkan sesuatu di atas kepalanya atau mengembalikan awal sesuatu kepada bagian akhirnya], di tempat kedua disebutkan: [ar-raksa artinya adalah mengembalikan sesuatu dalam keadaan terbalik], Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: Lebih tepat untuk dikatakan mengembalikan dari hal makanan menjadi hal kotoran.
Dinukil dari Abu Abdil Malik bahwa makna ar-raksu adalah ar-raddu (mengembalikan) sebagaimana Allah Swt. berfirman: urkisuu fi ihaa (mereka dikembalikan kepadanya) artinya rudduu, Ibnu Hajar mengomentari pernyataan tersebut: Ketika terbukti apa yang dikatakannya niscaya dengan memfathahkan huruf ra akan dikatakan arkasahuu raksan jika dia mengembalikannya. Seperti ini pula Ibnu Abbas membuat penafsiran: arkasahum raddahum (mengembalikan mereka). Ibnu Jarir at-Thabari menyatakan ketika menafsirkan firman Allah Swt.:

“Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 91)

Dia berkata: Allah Swt. berfirman setiap mereka diajak kembali kepada fitnah, mereka masuk ke dalamnya, yakni setiap kali mereka diajak untuk menyekutukan Allah mereka kembali murtad, mereka kembali menjadi orang musyrik seperti orang yang mengajaknya. An-Nasai berkata: ar-raksu itu makanan jin. Ibnu Hajar al-Asqalani lantas menyatakan: Ketika terbukti dalam bahasa memiliki arti seperti itu, maka kata tersebut tidak mengandung paradoks.

Dengan demikian para pakar bahasa dan pakar hadits berbeda pendapat dalam menafsirkan lafadz ini. Sebagian besar mereka menafsirkan lafadz riksun ini dengan ar-raddu dan al-qalbu (mengembalikan dan membalikkan). Mereka mengalami kebingungan karena bahasa menggunakan lafadz yang difathahkan (raksun), sedangkan kata yang dibaca dalam hadits itu dikasrahkan (riksun), ketika pendapat ini mengalami perbedaan maka harus ada yang ditarjih (dipilih mana yang lebih tepat dan lebih kuat), sehingga jika tidak ditarjih maka penafsiran kata tersebut akan memiliki lebih dari satu makna, padahal kata para ahli ushul dengan adanya ihtimal (beberapa kemungkinan) itu maka tidak bisa digunakan sebagai dalil. Artinya kata tersebut tetap dibiarkan mengandung ihtimal seperti itu sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah, atau ihtimal tersebut harus dihilangkan dengan cara mentarjih salah satunya agar istidlal bisa sah dilakukan.

Dengan merujuk pada al-Qur’an dan Hadits, kita menemukan faktor pentarjih yang jelas dan sempurna. Al-Qur'an menggunakan akar kata ini pada dua tempat:

Firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa: 88

“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri?”

Firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa: 91

“Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun ke dalamnya.”

Dua ayat ini menunjukkan kata ar-riksu pada satu makna, yakni ar-raddu dan al-qalbu (mengembalikan dan membalikkan). Makna ini sesuai dengan penafsiran al-Qamus al-Muhith dan kitab Lisan al-Arab, juga sesuai dengan penafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Hajar, Ibnu Jarir dan Abu Abdil Malik.
Yang paling tepat adalah bahwa kata raksun (dengan difathahkan) itu bermakna al-qalbu dan ar-raddu (membalikkan dan mengembalikan). Inilah makna raksun yang ada dalam al-Qur'an, dan seperti ini pulalah makna raksun menurut bahasa (lughah).

Jika mereka mengatakan bahwa al-Qur’an menggunakan akar kata raksun (dengan difathahkan), padahal hadits menyebutkan lafadz ini riksun (dengan dikasrahkan) dan arti riksun itu adalah najis, maka kami katakan kepada mereka: arti bahasa manakah yang memastikan riksun itu berarti najis?
Al-Qamus al-Muhith menafsirkan kata riksun (dengan dikasrahkan) itu berarti rijsun, begitu pula kitab Mukhtar as-Shihah, kedua kamus bahasa Arab ini tidak menafsirkan kata riksun dengan kata najisun, dan kata rijsun tidak berarti najisun kecuali dengan adanya qarinah (indikasi), padahal tidak ada qarinah di sini.

Sekarang kita beralih untuk menafsirkan kata rijsun, yakni lafadz yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.

Beberapa Kamus Bahasa menyebutkan bahwa kata rijsun artinya adalah al-qadzaru (kotor), dan sesuatu yang kotor itu ada yang bersifat material (al-maadiy) ada pula yang non material berupa perbuatan.
Kata rijsun ditafsirkan dengan al-ghadhab (kemarahan), al-qubhu (keburukan), al-i'aqatu (halangan), al-ikhtilathu (campur baur), al-iltibaasu (kebingungan), as-syakk (keraguan), al-‘iqaab (sanksi), sebagian kamus menafsirkannya dengan kata an-najsu (najis), karena itu kata rijsun memiliki beragam makna, tetapi najis bukanlah makna yang paling menonjol dari lafadz rijsun itu sendiri. Ini menurut bahasa.
Dalam al-Qur’an lafadz rijsun ini disebutkan di sepuluh tempat dalam sembilan ayat. Tidak apa kiranya bila saya sebutkan seluruhnya:

1. Firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah: 90

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor termasuk perbuatan setan,”

2. Firman Allah Swt. dalam surat al-An’am: 125:

“Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”

3. Firman Allah Swt. dalam surat al-An’ am: 145

“Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.”

4. Firman Allah Swt. dalam surat al-A’raf: 71

“Ia berkata: “Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.”

5. Firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah: 95

“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor.”

6. Firman Allah Swt. dalam surat Yunus: 100

“Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”

7. Firman Allah Swt. dalam surat al-Hajj': 30

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

8. Firman Allah Swt. dalam surat al-Ahzab: 33

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.”

9. Firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah: 125

“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).”

Dengan mencermati semua ayat tersebut, nampak jelas bahwa kata rijsun yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut memiliki beberapa makna, tidak ada satupun yang memiliki makna najis kecuali di satu tempat saja, dan itu pun dengan adanya qarinah. Ini telah kami paparkan dalam pembahasan sisa minum binatang, yakni ayat ketiga:

“Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu najis.” (TQS. al-An'am [6]:145)

Makna kata rijsun yang lainnya berbeda dengan makna rijsun dalam surat al-An'am: 145 ini.
Dalam ayat yang pertama, berjudi dan mengundi nasib dengan panah itu tidak najis.
Rijsun dalam ayat kedua berarti keburukan.
Dalam ayat keempat mengandung arti azab atau siksaan.
Dalam ayat kelima mengandung arti najis maknawi sebagaimana telah kami verifikasi maknanya.
Dalam ayat keenam mengandung arti siksaan dan keburukan.
Dalam ayat ketujuh tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa berhala itu najis.
Dalam ayat kedelapan tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Allah Swt. ingin membersihkan najis dari ahli bait.
Dalam ayat kesembilan lafadz rijsun tidak mengandung arti najis.
Jikalau boleh saya himpunkan seluruh makna atau pengertian ini dalam satu kata, maka saya katakan makna rijsun itu adalah suu'un (keburukan). Lihatlah seluruh ayat tersebut, dan tafsirkanlah dengan makna keburukan, maka Anda akan mendapatkan keselarasan seluruh ayat dengan makna “keburukan” tersebut.
Kata rijsun berarti keburukan, tidak diartikan dengan najasah (najis) kecuali dengan adanya qarinah. Dengan demikian, di dalam al-Qur’an tidak ada keharusan untuk menafsirkan kata rijsun dengan arti najis, sehingga pengertian hadits bahwa ar-rautsatu riksun (kotoran yang kering itu riksun) artinya adalah dikembalikan atau dibalikkan, atau rijsun dalam arti suu’un (keburukan atau sesuatu yang buruk). Inilah dilalah kata rijsun menurut bahasa (lughah) dan menurut al-Qur’an yang mulia.

Hadits telah menafsirkan lafadz ini dengan ungkapan yang paling jelas, dan kita mengetahui bahwa hadits itu saling menjelaskan satu sama lain, di antaranya adalah:

1. Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Seorang da'i dari kalangan jin mendatangi aku, maka aku pergi bersamanya. Lalu aku membaca al-Qur'an di hadapan mereka. Perawi berkata: Lalu beliau Saw. beranjak pergi bersama kami untuk menunjukkan jejak-jejak mereka dan jejak perapian mereka, dan mereka meminta bekal kepada beliau Saw., maka beliau Saw. bersabda: “Bagi kalian setiap tulang yang disebutkan nama Allah atasnya (ketika disembelih), yang mana di tangan kalian lebih baik daripada daging dan setiap kotoran hewan adalah makanan untuk hewan tunggangan kalian.” Lalu beliau Saw. bersabda: “Maka janganlah kalian beristinja dengan keduanya (yakni kotoran hewan dan tulang), karena keduanya adalah makanan saudara kalian.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Maka janganlah kalian beristinja dengan tulang dan jangan pula dengan kotoran hewan, karena semua itu adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin.”

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Janganlah kalian beristinja dengan kotoran hewan dan jangan pula dengan tulang, karena semua itu adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin.”

Tirmidzi berkata: hadits inilah yang diamalkan menurut ahli ilmu.

2. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Sesungguhnya Nabi Saw. melarang beristinja dengan kotoran atau tulang. Beliau Saw. bersabda: “Keduanya itu tidak mensucikan.” (HR. ad-Daruquthni)

Ad-Daruquthni berkata: sanad hadits ini shahih.

3. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwasanya Abu Hurairah pernah membawakan sebuah kantung air terbuat dari kulit untuk wudhu dan hajat Nabi Saw. Ketika dia mengikuti beliau Saw. dengan membawa kantung air tersebut, beliau Saw. bertanya: “Siapa ini?” Ia menjawab: Aku Abu Hurairah, Beliau Saw. berkata: “Carikanlah untukku beberapa batu untuk aku gunakan sebagai alat bersuci, dan janganlah engkau membawakan tulang dan kotoran hewan untukku.” Kemudian aku datang dengan membawa beberapa batu dengan menggunakan ujung bajuku dan meletakkannya di samping beliau Saw. Kemudian aku pergi. Ketika beliau Saw. selesai buang hajat, aku berjalan mendekati beliau Saw., seraya bertanya: Mengapa dengan tulang dan kotoran hewan? Beliau Saw. menjawab: “Keduanya adalah makanan jin, dan sesungguhnya pernah datang kepadaku utusan jin dari Nashibin, dia adalah sebaik-baik jin, lalu mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku memohon kepada Allah Swt. untuk mereka agar mereka tidak melewati tulang dan kotoran hewan melainkan mereka mendapati ada makanan padanya.” (HR. Bukhari)

4. Dari Ibnu Mas’ud ra., dia berkata:

“Jin meminta makanan kepada Rasulullah Saw. di penghujung malam saat beliau Saw. bertemu dengan mereka di sebagian lembah Makkah. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap tulang yang ada di hadapan kalian yang disebutkan nama Allah (saat menyembelihnya) itu lebih berguna daripada daging, kotoran hewan merupakan makanan untuk tunggangan kalian.” Lalu Jin berkata: Sesungguhnya manusia telah menajisi benda-benda yang diperuntukkan bagi kami itu. Maka sejak itu beliau Saw. bersabda: “Janganlah kalian beristinja dengan kotoran binatang dan jangan pula dengan tulang, sesungguhnya itu adalah makanan untuk saudara-saudara kalian dari kalangan jin.” (HR. at-Thahawi)

Dengan demikian, di dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk kuat dan jelas bahwa kata rijsun dan kata riksun di sini tidak bermakna najis, dan bahwasanya ‘illat (alasan) larangan beristinja dengan tulang dan kotoran hewan itu adalah karena keduanya merupakan makanan jin, bukan karena keduanya itu najis.

Al-Qur’an menggunakan kata riksun dengan arti ar-raddu dan al-qalbu (mengembalikan dan membalikkan), dan menggunakan kata rijsun dengan beberapa arti yang bisa dihimpun oleh kata suu'un (keburukan/ sesuatu yang buruk), dan Rasulullah Saw. ketika diberi kotoran hewan yang sudah kering (ar-rautsah) beliau Saw. berkata:

a. Sesungguhnya ini adalah riksun, yakni raddun dan qalbun, artinya benda tersebut akan dikembalikan dan akan dibalikkan, yakni benda tersebut akan berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain.
Terdapat beberapa hadits lain yang menjelaskan substansi peralihan atau perubahan ini, dan ini mengandung arti bahwa benda tersebut akan berubah kembali menjadi makanan, yakni akan kembali pada kondisi awalnya sebagai makanan. Inilah makna ar-raddu dan al-qalbu sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai kamus bahasa, dan sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat al-Qur’an.
Dengan demikian, al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan kamus bahasa, seluruhnya bertemu dalam satu makna untuk kata riksun ini, yakni menjadi kembali dan berbalik pada kondisi sebelumnya. Ketika tiga hal tersebut (al-Qur’an, as-Sunnah, dan kamus bahasa) bertemu pada satu makna, sehingga siapapun tidak boleh menyalahinya.

b. Innahaa rijsun, rijsun itu artinya adalah suu'un (keburukan/sesuatu yang buruk), dan arti yang lain adalah sukhthun (kemurkaan), sebagaimana ditafsirkan oleh Abdullah bin Abbas. Kata as-suu'u (buruk) itu kebalikan dari as-shalah (kebaikan/sesuatu yang baik). Allah Swt. berfirman:

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.” (TQS. at-Taubah [9]: 102)

Allah Swt. berfirman:

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya.” (TQS. At-Taghabun [64]: 9)

Allah Swt. berfirman:

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka.” (TQS. Ghafir [40]: 58)

Semua ayat ini menyebutkan kebaikan dan keburukan, dan menjadikan kebaikan sebagai kebalikan dari keburukan. Sesuatu yang buruk itu kebalikan dari sesuatu yang baik, dan orang yang berbuat buruk itu kebalikan dari orang yang berbuat baik. Kedua kata tersebut mengandung arti yang kontradiktif. Dengan demikian lafadz rijsun itu berarti suu’un (keburukan), sukhthun (kemurkaan), dan sesuatu yang tidak baik.
Inilah himpunan makna rijsun yang sebenarnya, sehingga sabda Rasulullah Saw. tentang rautshah (kotoran hewan yang sudah kering) bahwa rautsah itu rijsun, mengandung arti bahwa rautsah itu buruk bila digunakan untuk beristinja, atau rautsah itu mengundang kemurkaan, atau rautsah itu tidak layak atau tidak baik digunakan untuk beristinja. Inilah makna rijsun yang sebenarnya, tidak ada satupun makna rautsah di sini adalah najis, dilihat dari sisi manapun.

Ringkasnya, kami katakan bahwa Rasulullah Saw. ketika diberi rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) maka beliau Saw. hendak menjelaskan bahwa rautsah itu tidak bisa digunakan dalam beristinja, maka beliau Saw. menggunakan kata riksun yang artinya adalah bahwa rautsah itu akan berubah atau beralih kepada kondisi awalnya sebagai makanan, yakni rautsah ini akan menjadi makanan jin setelah di tangan mereka rautsah ini berubah menjadi makanan.
Ketika kita menggunakan lafadz rijsun maka kita katakan bahwa dengan kalimat seperti itu beliau Saw. ingin menampakkan penolakannya menggunakan rautsah tersebut dalam istinja, maka beliau Saw. berkata: Sesungguhnya rautsah ini buruk, yakni tidak baik, dan rautsah ini sukhthun (kebencian) karena menyalahi janji yang telah diberikan Rasulullah Saw. kepada saudara kita dari kalangan jin.

Inilah makna hadits dengan lafadz riksun dan rijsun tersebut. Makna-makna ini saling mendukung dan bersesuaian dengan makna yang digunakan dalam ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Saw. yang telah kami tampilkan sebagian darinya itu, tidak ada satupun yang bermakna najis di sana.
Tetapi anehnya mengapa kita melangkah sangat jauh dalam memahaminya, padahal hadits keempat menyatakan: sesungguhnya manusia telah menajisi benda-benda yang diperuntukkan bagi kami itu. Ini merupakan nash yang dilalahnya secara pasti menunjukkan bahwa kotoran hewan dan tulang itu suci, karena sesuatu yang najis tidak akan diminta untuk tidak dinajisi. Ketika hadits ini menyatakan hal seperti itu, maka ini menjadi dalil yang menguatkan status suci keduanya.

Dengan demikian, setelah nampak betapa kelirunya kutipan dalil yang mereka gunakan untuk menopang pendapat najisnya ar-rautsah (kotoran hewan), maka kesimpulannya kotoran hewan itu tetap berada dalam status asalnya yang suci, dan hanya air kencing manusia saja yang najis.
Ini saja sudah cukup untuk membuktikan status sucinya air kencing semua binatang, dengan pengecualian air kencing anjing dan babi, berdasarkan penelitian yang kami paparkan sebelumnya tentang najisnya anjing dan babi, karena selama kedua hewan tersebut najis maka air kencingnya pun tentu najis juga.

Penjelasan ini menjadi lebih dari memuaskan, ketika kita mengutip tiga hadits yang sebelumnya telah dikutip oleh penganut pendapat yang pertama, yang mengatakan bahwa air kencing hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Dalam faktanya, hadits-hadits tersebut dikutip untuk memuaskan kita akan kebenaran pendapat yang menyatakan sucinya air kencing dan kotoran hewan tunggangan seluruhnya. Tiga nash ini hanya menjelaskan satuan benda yang dibolehkan, tidak mencakup perkara mubah seluruhnya. Kebolehan itu terbukti ketika kita membatalkan dalil-dalil mereka yang menyatakan najisnya air kencing (hewan), karena pada prinsipnya segala benda itu dalam keadaan suci.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam