Dalam
Bayang-Bayang
Joko Widodo telah
dilantik sebagai presiden Republik lndonesia. Ia memiliki hak prerogatif untuk
menentukan menteri-menterinya. Tapi ternyata tak mudah menjalankan wewenang
itu.
Janji untuk
mengumumkan susunan kabinet sehari setelah pelantikan pun tak terlaksana.
Padahal sebuah panggung besar telah dipersiapkan di Pelabuhan Tanjung Priok
lengkap dengan segala dress code-nya.
Ada topi proyek, dan persiapan pengamanan oleh Paspampres. Wartawan yang telah
menunggu pun gigit jari. Jutaan uang melayang.
Pengumuman pun molor.
Tarik-menarik kepentingan pun tak terelakkan. Penentuan calon menteri tak lagi
terkonsentrasi di Istana Negara tapi berpindah ke rumah Ketua Umum DPP PDIP
Megawati Perjuangan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Hilir mudik para politisi
Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tim transisi, dan tokoh-tokoh di balik
kemenangan Jokowi-JK ke rumah Megawati.
Banyak kalangan
berspekulasi, Jokowi tak bisa lepas dari bayang-bayang Megawati. Apalagi, dalam
sebuah kesempatan Megawati pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai
(PDIP). Secara politik pun, Jokowi adalah calon yang diusung oleh PDIP.
Tak mengherankan,
begitu kabinet diumumkan, warna PDIP dan Megawati sangat dominan. Partai-partai
lain yang ikut mengusung Jokowi-JK pun mendapat porsi menteri. Ini sangat
berbeda dengan janji Jokowi untuk tidak membagi-bagi kursi kepada parpol yang
mengusungnya. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Nasdem, Partai Hanura,
dan belakangan PPP mendapat jatah kursi menteri.
Jokowi pun harus
mengingkari janjinya yang lain yakni membentuk kabinet yang ramping. Nyatanya,
kabinetnya tak ada bedanya dengan Kabinet Indonesia Bersatu II rezim SBY. Hanya
beda dalam nomenklatur (penamaan).
Ketika disinggung
media soal kabinet ramping, Jokowi malah berkelit. "Saya berikan contoh,
negara tetangga Malaysia jumlah penduduknya 24 juta kementeriannya ada 24. Nah
kita 240 juta penduduknya, kementerian harusnya 240," kata Jokowi saat jumpa
pers di Kantor Tim Transisi, Jakarta, Senin (15/9/2014).
Ia beralasan,
pemerintahannya memerlukan sokongan yang kuat dari menteri, "Yang paling
penting kita bangun kabinet yang kuat dan siap untuk bekerja, siap laksanakan
program-program," katanya.
Penuh
Kepentingan
Pengamat ekonomi
politik Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir menilai, komposisi kabinet
menggambarkan terjadinya pertarungan cukup seru antara berbagai pihak dalam
menentukan siapa dapat apa berapa banyak di pos apa.
“Saya tidak mengatakan
begitu (transaksional, red.) tetapi
paling tidak begitulah he..he.. Paling
tidak terjadi pertarungan antara berbagai kubu yang akhirnya ada yang dapat
banyak, dapat sedikit bahkan tidak dapat sama sekali. Ada yang dapat di pos
bagus, ada yang di pos yang tidak bagus. Artinya, kabinet ini hasil kompromi
dari pertarungan kubu-kubu yang terlibat dalam proses penyusunan,” jelasnya.
Ia menyatakan, Kabinet
Kerja ini karena hasil kompromi dari kubu-kubu besar, akan berpotensi bekerja
untuk kubu-kubu yang membentuk kabinet. Kubu-kubu tersebut adalah kubu masing-masing partai, kubu
pengusaha, kubu mafia Berkeley -bekerja sesuai dengan agenda neoliberal, kubu
mafia migas- bekerja sesuai dengan kepentingan korporasi migas.
Neoliberal
Ketua Lajnah Siyasiyah
DPP HTI, Yahya Abdurrahman, menilai rezim Jokowi tak akan ada bedanya dengan
kabinet sebelumnya. Corak kebijakannya tetap sama yakni neokapitalis liberal.
Pandanganya itu
didasarkan atas kerangka sistem neoliberal yang tetap berlaku hingga kini dan
tidak ada niatan untuk mengubahnya. Kerahgka perundang-udangannya sudah ada. ”Siapapun yang menjadi pejabat,
dia harus menjalankan aturan atau undang-undang yang bercorak neoliberal itu.
Kalau dilihat dari rekam jejak pemikiran para menterinya ini kan juga banyak yang coraknya
neoliberal," jelasnya.
Corak neoliberal itu
ditandai dengan kerangka perundangan yang mengecilkan peran negara dan lebih
banyak diserahkan kepada swasta, subsidi dikecilkan hingga dihapus,
liberalisasi penanaman modal, dan tidak menganggap masalah terhadap pengelolaan
asing terhadap SDA. “lni kan sebagian tanda corak neoliberal,"tegasnya.
Bagaimanapun, kata
Yahya, tekanan dan kontrol asing tidak pernah bisa dilepaskan terhadap siapapun
yang memimpin negeri ini. Bahkan kehadiran pejabat asing saat pelantikan, seperti Menlu Amerika Serikat
John Kerry, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, dan utusan parlemen Cina,
tak bisa dilepaskan dari adanya kepentingan negara-negara tersebut di
Indonesia.
Senada dengan Yahya,
peneliti pada Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng, menyatakan secara otomatis ekonomi
Indonesia pro asing. Soalnya, UU yang ada dibentuk dalam rangka menjalankan
kebijakan neoliberal.
Bahkan di level
internasional, kata Salamuddin, Indonesia telah terikat dengan perjanjian
perdagangan bebas seperti WTO, EPEC, APEC, Asean Economic Comunity, yang
bersifat mengikat. Artinya, jika Indonesia tak melaksanakan perjanjian itu,
bisa dipermasalahkan di forum arbitrase internasional.
"Jadi dapat
dipastikan mereka bekerja untuk kepentingan neoliberalisme dan pasti mereka
akan pro kepada kepentingan asing,” kata Salamuddin. []
Politik
Pencitraan
Kalau dulu
Susilo-Bambang Yudhoyono dikritik karena lebih banyak pencitraan, sekarang
Jokowi pun tak kalah dalam soal pencitraan ini. Bedanya, Jokowi memiliki tim
media dan relawan dunia maya yang lebih punya 'amunisi' dibanding SBY. Malah
pencitraan Jokowi sudah dimulai Sejak ia menjadi Walikota Solo dan kian gencar
ketika jadi Gubernur DKI Jakarta.
Tak berhenti sampai di
situ, Jokowi pun berencana mengumumkan kabinetnya di Pelabuhan Tanjung Priok
untuk mencitrakan dirinya. Ini sebagai bentuk representasi poros maritim yang
selama ini digaungkannya.
Sayangnya, rencana itu
gagal. Padahal persiapan acara itu diperkirakan tak kurang menghabiskan dana
sekitar 700 juta rupiah. Banyak kalangan mempertanyakan, kepada siapa anggaran
itu dibebankan?
Pencitraan pun
berlaniut ketika anak sulung Jokowi Kahiyang Ayu mengikuti seleksi pegawai
negeri sipil (PNS) di Solo. Media menggambarkan kesederhanaan lulusan UNS
tersebut. Begitu nilainya kurang, mediapun mencoba mengangkat Jokowi bahwa
presiden tidak menggunakan kekuasaannya untuk memasukkan anaknya sebagai PNS.
Seterusnya media
kembali menyorot blusukan Jokowi ke
berbagai daerah, tanpa melihat lagi janji-janji Jokowi yang kian hari kian
banyak yang diingkari. []
Rezim
yang Suka Pesta
Saat diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang Pilpres, para pendukung Jokowi-JK
menggelar pesta. Usai pelantikan pun, pesta kembali digelar. Itu belum termasuk
ketika Jokowi masih jadi gubernur DKI, pesta demi pesta berlangsung di Jakarta.
Yang menggemparkan
adalah ketika pesta usai pelantikan Jokowi sebagai presiden. Ada pesta digelar
di Monas. Tidak sekadar pesta, ternyata di area jantung ibukota itu ditemukan
kondom-kondom bekas pakai. Namun itu dibantah oleh Kepala UPT Monas dengan mengatakan
itu hanya fitnah.
Harian Republika
memberitakan, banyak penonton konser yang lanjut menghabiskan malam di sekitar
stasiun Gambir dengan menenggak minuman beralkohol. Terdapat pula remaja
perempuan yang masih berkeliaran hingga menjelang dini hari. Banyak, juga di
antara mereka minum-minum sambil menghisap rokok.
Pagi harinya, sampah
menumpuk tak karuan. Ada tujuh truk sampah, produk pesta pelantikan Jokowi-JK. Lha, revolusi mentalnya mana? []
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 138, Nopember 2014
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar