Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 03 Juni 2017

Kabinet Pemerintah Kepentingan Neoliberal



Dalam Bayang-Bayang

Joko Widodo telah dilantik sebagai presiden Republik lndonesia. Ia memiliki hak prerogatif untuk menentukan menteri-menterinya. Tapi ternyata tak mudah menjalankan wewenang itu.

Janji untuk mengumumkan susunan kabinet sehari setelah pelantikan pun tak terlaksana. Padahal sebuah panggung besar telah dipersiapkan di Pelabuhan Tanjung Priok lengkap dengan segala dress code-nya. Ada topi proyek, dan persiapan pengamanan oleh Paspampres. Wartawan yang telah menunggu pun gigit jari. Jutaan uang melayang.

Pengumuman pun molor. Tarik-menarik kepentingan pun tak terelakkan. Penentuan calon menteri tak lagi terkonsentrasi di Istana Negara tapi berpindah ke rumah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Perjuangan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Hilir mudik para politisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tim transisi, dan tokoh-tokoh di balik kemenangan Jokowi-JK ke rumah Megawati.

Banyak kalangan berspekulasi, Jokowi tak bisa lepas dari bayang-bayang Megawati. Apalagi, dalam sebuah kesempatan Megawati pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai (PDIP). Secara politik pun, Jokowi adalah calon yang diusung oleh PDIP.

Tak mengherankan, begitu kabinet diumumkan, warna PDIP dan Megawati sangat dominan. Partai-partai lain yang ikut mengusung Jokowi-JK pun mendapat porsi menteri. Ini sangat berbeda dengan janji Jokowi untuk tidak membagi-bagi kursi kepada parpol yang mengusungnya. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Nasdem, Partai Hanura, dan belakangan PPP mendapat jatah kursi menteri.

Jokowi pun harus mengingkari janjinya yang lain yakni membentuk kabinet yang ramping. Nyatanya, kabinetnya tak ada bedanya dengan Kabinet Indonesia Bersatu II rezim SBY. Hanya beda dalam nomenklatur (penamaan).

Ketika disinggung media soal kabinet ramping, Jokowi malah berkelit. "Saya berikan contoh, negara tetangga Malaysia jumlah penduduknya 24 juta kementeriannya ada 24. Nah kita 240 juta penduduknya, kementerian harusnya 240," kata Jokowi saat jumpa pers di Kantor Tim Transisi, Jakarta, Senin (15/9/2014).

Ia beralasan, pemerintahannya memerlukan sokongan yang kuat dari menteri, "Yang paling penting kita bangun kabinet yang kuat dan siap untuk bekerja, siap laksanakan program-program," katanya.

Penuh Kepentingan

Pengamat ekonomi politik Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir menilai, komposisi kabinet menggambarkan terjadinya pertarungan cukup seru antara berbagai pihak dalam menentukan siapa dapat apa berapa banyak di pos apa.

“Saya tidak mengatakan begitu (transaksional, red.) tetapi paling tidak begitulah he..he.. Paling tidak terjadi pertarungan antara berbagai kubu yang akhirnya ada yang dapat banyak, dapat sedikit bahkan tidak dapat sama sekali. Ada yang dapat di pos bagus, ada yang di pos yang tidak bagus. Artinya, kabinet ini hasil kompromi dari pertarungan kubu-kubu yang terlibat dalam proses penyusunan,” jelasnya.

Ia menyatakan, Kabinet Kerja ini karena hasil kompromi dari kubu-kubu besar, akan berpotensi bekerja untuk kubu-kubu yang membentuk kabinet. Kubu-kubu tersebut adalah kubu masing-masing partai, kubu pengusaha, kubu mafia Berkeley -bekerja sesuai dengan agenda neoliberal, kubu mafia migas- bekerja sesuai dengan kepentingan korporasi migas.

Neoliberal

Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI, Yahya Abdurrahman, menilai rezim Jokowi tak akan ada bedanya dengan kabinet sebelumnya. Corak kebijakannya tetap sama yakni neokapitalis liberal.

Pandanganya itu didasarkan atas kerangka sistem neoliberal yang tetap berlaku hingga kini dan tidak ada niatan untuk mengubahnya. Kerahgka perundang-udangannya sudah ada. ”Siapapun yang menjadi pejabat, dia harus menjalankan aturan atau undang-undang yang bercorak neoliberal itu. Kalau dilihat dari rekam jejak pemikiran para menterinya ini kan juga banyak yang coraknya neoliberal," jelasnya.

Corak neoliberal itu ditandai dengan kerangka perundangan yang mengecilkan peran negara dan lebih banyak diserahkan kepada swasta, subsidi dikecilkan hingga dihapus, liberalisasi penanaman modal, dan tidak menganggap masalah terhadap pengelolaan asing terhadap SDA. “lni kan sebagian tanda corak neoliberal,"tegasnya.

Bagaimanapun, kata Yahya, tekanan dan kontrol asing tidak pernah bisa dilepaskan terhadap siapapun yang memimpin negeri ini. Bahkan kehadiran pejabat asing saat pelantikan, seperti Menlu Amerika Serikat John Kerry, Perdana Menteri Australia Tony Abbott, dan utusan parlemen Cina, tak bisa dilepaskan dari adanya kepentingan negara-negara tersebut di Indonesia.

Senada dengan Yahya, peneliti pada Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng, menyatakan secara otomatis ekonomi Indonesia pro asing. Soalnya, UU yang ada dibentuk dalam rangka menjalankan kebijakan neoliberal.

Bahkan di level internasional, kata Salamuddin, Indonesia telah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas seperti WTO, EPEC, APEC, Asean Economic Comunity, yang bersifat mengikat. Artinya, jika Indonesia tak melaksanakan perjanjian itu, bisa dipermasalahkan di forum arbitrase internasional.

"Jadi dapat dipastikan mereka bekerja untuk kepentingan neoliberalisme dan pasti mereka akan pro kepada kepentingan asing,” kata Salamuddin. []

Politik Pencitraan

Kalau dulu Susilo-Bambang Yudhoyono dikritik karena lebih banyak pencitraan, sekarang Jokowi pun tak kalah dalam soal pencitraan ini. Bedanya, Jokowi memiliki tim media dan relawan dunia maya yang lebih punya 'amunisi' dibanding SBY. Malah pencitraan Jokowi sudah dimulai Sejak ia menjadi Walikota Solo dan kian gencar ketika jadi Gubernur DKI Jakarta.

Tak berhenti sampai di situ, Jokowi pun berencana mengumumkan kabinetnya di Pelabuhan Tanjung Priok untuk mencitrakan dirinya. Ini sebagai bentuk representasi poros maritim yang selama ini digaungkannya.

Sayangnya, rencana itu gagal. Padahal persiapan acara itu diperkirakan tak kurang menghabiskan dana sekitar 700 juta rupiah. Banyak kalangan mempertanyakan, kepada siapa anggaran itu dibebankan?

Pencitraan pun berlaniut ketika anak sulung Jokowi Kahiyang Ayu mengikuti seleksi pegawai negeri sipil (PNS) di Solo. Media menggambarkan kesederhanaan lulusan UNS tersebut. Begitu nilainya kurang, mediapun mencoba mengangkat Jokowi bahwa presiden tidak menggunakan kekuasaannya untuk memasukkan anaknya sebagai PNS.

Seterusnya media kembali menyorot blusukan Jokowi ke berbagai daerah, tanpa melihat lagi janji-janji Jokowi yang kian hari kian banyak yang diingkari. []

Rezim yang Suka Pesta

Saat diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang Pilpres, para pendukung Jokowi-JK menggelar pesta. Usai pelantikan pun, pesta kembali digelar. Itu belum termasuk ketika Jokowi masih jadi gubernur DKI, pesta demi pesta berlangsung di Jakarta.

Yang menggemparkan adalah ketika pesta usai pelantikan Jokowi sebagai presiden. Ada pesta digelar di Monas. Tidak sekadar pesta, ternyata di area jantung ibukota itu ditemukan kondom-kondom bekas pakai. Namun itu dibantah oleh Kepala UPT Monas dengan mengatakan itu hanya fitnah.

Harian Republika memberitakan, banyak penonton konser yang lanjut menghabiskan malam di sekitar stasiun Gambir dengan menenggak minuman beralkohol. Terdapat pula remaja perempuan yang masih berkeliaran hingga menjelang dini hari. Banyak, juga di antara mereka minum-minum sambil menghisap rokok.

Pagi harinya, sampah menumpuk tak karuan. Ada tujuh truk sampah, produk pesta pelantikan Jokowi-JK. Lha, revolusi mentalnya mana? []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 138, Nopember 2014
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam