Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 14 Mei 2017

Rezim Budha Biadab, Ribuan Muslim Rohingya Terkatung-Katung Di Lautan



“Kami Ingin Hidup”

Tak ada pilihan lain bagi Muslim Rohingya kecuali meninggalkan Myanmar yang dulu bernama Burma. Mereka menjadi sasaran kekerasan fisik berupa pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah-rumah oleh etnis Budha yang mayoritas. Tak ada tempat berlindung di negara itu karena negara ada di balik kebiadaban kaum Budha.

Muhammad Ali, remaja yang bisa berbahasa Inggris di antara 200-an pengungsi di Langsa, Aceh, mengisahkan kondisi yang dialaminya kepada kontributor Media Umat. "Kami hanya ingin tetap hidup," katanya sambil meneteskan air mata.

Bersama dengan Muslim lainnya, kisahnya, ia berhasil melarikan diri dari kejaran etnis Budha Myanmar. Mereka naik ke atas kapal dan mengarungi lautan menuju daratan Thailand. Satu harapan yang ingin diraih yakni keberlangsungan hidup.

Ia mengaku, tak tahu hidup yang bagaimana yang akan dijalani kelak. ”Yang penting hidup," kata Ali di kamp penampungan pengungsi Muslim Rohingya, Pelabuhan Kuala Langsa, Aceh beberapa waktu lalu.

”Jumlah kami ada ribuan yang melarikan diri dari Burma, ini hanya sebahagian saja, masih banyak lagi orang-orang kami yang belum terselamatkan dan berada di lautan," lanjutnya.

Umumnya Muslim Rohingya, lari keluar dari Myanmar melalui jalur laut, karena ini satu-satunya jalan yang masih dianggap aman. "Kami keluar di waktu malam dari tempat-tempat persembunyian kami, dengan kapal-kapal kecil (perahu-red) menuju sebuah kapal kayu besar yang berlabuh jauh dari pantai.”

Bukannya selamat di Thailand, mereka malah ditahan oleh kapal patroli Thailand selama tiga hari. Babak baru penderitaan pun terjadi. Pembantaian etnis.

Menurut Ali, di Thailand, mereka dipaksa berkelahi dengan warga Bangladesh oleh aparat keamanan Thailand. ”Saat di darat kami dipaksa untuk berkelahi dengan orang Bangladesh. Banyak dari kami yang meninggal akibat terbunuh dalam perkelahian itu."

Tak berhenti di situ. Setelah mengalami nasib tragis tersebut, mereka dipaksa untuk meninggalkan Thailand. Dua etnis yang berbeda pun dinaikkan ke kapal dengan kondisi berdesak-desakan. Kapal mereka digiring kembali ke laut untuk meninggalkan negara Gajah Putih itu. Tapi kapal itu tak mempunyai nahkoda.

Pertikaian sebelumnya yang dipicu oleh tentara Thailand di daratan pun berlanjut di atas kapal. Tak jarang perkelahian ini kerap berujung pada kematian. ”Kami sering sekali bertengkar dengan Bangladesh, bahkan sampai terjadi perkelahian, hanya gara-gara jatah makan, jatah air, atau masalah lainnya, bahkan pernah ada seorang bayi dibuang ke laut oleh orang Bangladesh, hanya karena anak itu menangis terus,” kata Ali.

Mereka terkatung-katung selama kurang lebih tiga bulan di tengah lautan, tanpa persediaan makanan dan air yang cukup. Di tengah suasana permusuhan di atas kapal karena memperebutkan sumber daya dan adanya dendam akibat adu-domba, mereka ditolong oleh para nelayan Aceh. Mereka pun dibawa ke Pelabuhan Kuala Langsa. Sementara mereka bisa hidup, seperti yang mereka harapkan.

”Hidup" itulah harapan terakhir para pengungsi Rohingya. Itu pula yang dikemukakan Abdur Rasyid (40 tahun). Rumahnya dibakar oleh orang Budha, hingga ia harus lari bersama tiga anaknya ke lain desa. Ia tak tahu lagi nasib istrinya. Ia mengaku ingin tinggal di mana saja asal bisa hidup.

Juru bicara Hizbut Tahrir lndonesia M Ismail Yusanto yang menyerahkan bantuan yang dikumpulkan oleh HTl dalam program 'Donasi Peduli Rohingya' saat berada di Langsa mengatakan, para pengungsi tampak mendapat perlakuan yang baik oleh pemerintah daerah Langsa maupun pemerintah pusat melalui instansi seperti BNPB dan Depsos. Juga dari para relawan seperti ACT, MerC, PMI, HTI dan lainnya. Pengungsi laki-laki dan perempuan ditempatkan di tempat terpisah. Layanan makan dan kesehatan serta pakaian terlihat cukup.

Terombang-ambing

Sementara itu, juru bicara badang urusan pengungsi PBB UNHCR kawasan Asia Tenggara, Bernard Kerblat, Rabu (27/5), mengungkapkan, masih ada ribuan etnis Rohingya yang terombang-ambing di lautan. Kebanyakan dari mereka menggunakan perahu kecil dan berdesak-desakan di dalamnya.

”Mereka kini kekurangan air bersih, makanan, dan sarana sanitasi yang baik," tambah Bernard.

UNHCR mencatat 3.302 etnis Rohingya kini telah diselamatkan dan ditampung oleh Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Sayangnya, PBB sendiri tak mengambil tindakan atas kondisi tersebut. Para pengungsi tetap dibiarkan terombang-ambing di laut dengan kondisi minim fasilitas. Sementara negara-negara Asean tak tergerak untuk menyelematkan nyawa ribuan orang tersebut dan lebih senang mengadakan pertemuan demi pertemuan. Bahkan terkesan mereka berusaha agar para pengungsi tak singgah di negaranya. []

Bhiksu James Bond

Kebiadaban warga Budha di Myanmar tak lepas dari propaganda sejumlah tokoh dengan dukungan junta militer. Salah satu orang yang disebut-sebut berperan dalam memanaskan konllik tersebut adalah Bhiksu Ashin Wirathu, 46 tahun.

BBC menyebut Bhiksu Wirathu sebagai bhiksu Buddha paling radikal yang gemar menyebarkan kebencian pada kaum minoritas Muslim dengan mengatakan kelompok minoritas Islam akan menguasai negara.

Dalam laporannya, BBC Myanmar menyebut Wirathu mulai terkenal sejak ikut gerakan nasionalis anti-Muslim '969' pada 2001. Kelompok ini disebut ekstremis walau tak mengakui julukan itu. Wirathu pernah dihukum penjara 25 tahun pada 2003. Namun, pada 2010, dia dibebaskan bersama tahanan politik lain.

Bhiksu itu kemudian menggencarkan propagandanya. Ia membagikan video di internet yang menyuarakan peringatan anti-Muslim. "Muslim menyerang gadis Myanmar tak bersalah, memperkosa mereka." ujarnya. Secara terbuka dia menyatakan bangga disebut pemeluk Budha radikal.

Ia merasa dirinya mirip dengan James Bond, agen mata-mata fiksi paling terkenal di dunia. “James Bond seorang nasionalis,“ kata Wirathu seperti yang dikutip dari laman LA Times. Selasa, 26 Mei 2015. "Ia tidak melakukan kesenangan dalam bertindak, Dia melakukan hal tersebut untuk negaranya.”

Wirathu pun menyerukan pemboikotan usaha milik warga Muslim. Menurutnya, Muslim adalah 'ular' dan 'anjing gila' yang tak perlu diajak bersosialisasi. "Kebanyakan Muslim menghancurkan negara kita, rakyat kita dan agama Budha," kata Wirathu.

Anehnya, tindakan kejam penganut Budha ini didiamkan oleh peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Para analis menyatakan, Suu Kyi khawatir jika ia membela etnis Rohingya, partainya tidak akan mendapatkan simpati kaum Budha. Tak heran, tak pernah sekalipun Suu Kyi menyebut kata ‘Rohingya’ dalam pidatonya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 152, Juni 2015
---

1 komentar:

  1. Mereka Bicara Genosida Muslim Rohingya
     
    Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI:
    Relevansi Umat Butuh Khilafah
     
    Ini bukti kesekian kali bahwa rezim-rezim sekuler, bahkan yang mengatakan rezim demokratis sekalipun seperti rezim di Burma yang dipimpin Aung San Suu Kyi pemenang nobel perdamaian tidak mampu melindungi seluruh rakyatnya khususnya kaum minoritas Muslim. Ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini mereka gembar-gemborkan bahwa demokrasi itu memberikan kesamaan hak kepada seluruh penduduknya.
     
    Ini juga bukti bahwa betapa lemahnya umat Islam untuk melindungi saudara-saudara kita yang diperlakukan secara tidak manusiawi, diusir lalu dibantai, kemudian dihancurkan rumah dan harta miliknya. Kita tidak mampu menghadapinya, padahal umat Islam itu dari segi jumlah sangat besar yaitu lebih dari 1,6 miliar. Nah kenapa bisa begitu?
     
    Itulah yang Hizbut Tahrir sering sampaikan bahwa umat Islam yang jumlahnya sebegitu banyak tapi tanpa persatuan begitu lemah, di situlah pentingnya kita mewujudkan persatuan yang hakiki.
     
    Persatuan yang hakiki itu butuh dua hal yaitu kepemimpinan dan institusi politik yang memang tujuannya didirikan untuk mewujudkan persatuan itu, dan itulah khilafah.
     
    Jadi apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, itu untuk kepentingan umat Islam, untuk tegaknya kembali kemuliaan umat Islam, dan untuk tegaknya kembali izzul Islam wa al-Muslimin.
     
    Tanpa itu, kita akan terus mendapatkan penderitaan dan kezaliman yang korbannya umat Islam di berbagai neqara.[]
     
    Ricky fattamazaya, Ketua Umum Gema Pembebasan:
    Seruan Jihad Dari Negara
     
    Kasus Rohingya butuh solusi yang tepat. Solusi yang tepat hari ini adalah ya, seruan jihad dari negara, apalagi Indonesia hari ini tentaranya itu ratusan ribu, mungkin kalau kirim sepertiganya selesai lah, apalagi kalau kita semua turun.
     
    Media ini juga tidak pro terhadap Muslim, jadi pembantaian yang jumlahnya ribuan, bahkan lebih dari itu, tidak menjadi alasan untuk mereka liput. Bahkan ada upaya memelintirkan bahwa pembantaian itu bukan mereka yang lakukan, tapi dimulai oleh kaum Muslimin. Padahal ini jelas ada upaya tersistematis untuk membunuhi kaum Muslim di sana.
     
    Iya Indonesia ini tidak punya sisi politik internasional, karena mereka gak melek politik internasional. Bahkan banyaknya kaum Muslimin di Indonesia yang tidak mempunyai sense dalam kepedulian sesama Muslim, karena ikatan nasionalisme yang mengotak-kotakan negara. []
     
    Sumber: Tabloid Media Umat edisi 186
    ---
     

    BalasHapus

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam