Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 30 Mei 2017

Papua, Skenario Balkanisasi Nusantara?


Pembukaan kantor cabang ULMWP di Wamena menjadi perbincangan hangat di media sosial. Termasuk adanya skenario rencana Balkanisasi Nusantara. Secara umum netizen khawatir itu bisa benar-benar terjadi jika tak ada tindakan antisipasi dan nyata dari pemerintah Joko Widodo.

Beredar pula sebuah kiriman melalui jejaring Whatsapp yang mengatasnamakan Prof Sri Edi Swasono, guru besar UI tentang skenario pecah belah Indonesia menjadi lima negara. Meski kemudian sang profesor mengklarifikasi bahwa itu bukan tulisannya, setidaknya ia pun sepakat mesti ada langkah nyata mencegah Indonesia terbelah.

Skenario serupa pernah dikeluarkan oleh lembaga think tank Amerika Serikat Rand Corporation. Dikutip dalam buku Tangan Tangan Amerika (Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia) terbitan 2010 karya Hendrajit, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi delapan wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua.

Rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia tersebut dikeluarkan pada tahun 1998, ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Sebagai sesama Partai Demokrat, Presiden Barack Obama masih cukup beralasan untuk menjadikan skenario itu sebagai opsinya.

Dalam skenario Balkanisasi ini ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Timor Timur berhasil memisahkan diri pada 1999 di masa pemerintahan Habibie. Beberapa daerah sudah sempat mengeluarkan niat pemisahan diri seperti Aceh dan Kalimantan Timur. Namun yang paling getol menyuarakan kemerdekaan adalah Papua.

Pemerintah Lemah

Bukan kali ini saja pemerintah begitu lemah menghadapi gerakan separatis Papua. Banyak kalangan mempertanyakan intelijen negara karena tidak bisa mengantisipasi pergerakan gerakan Papua Merdeka sampai bisa mereka meresmikan kantor perwakilan ULMWP di Wamena.

Kelemahan pemerintah lndonesia ini kian nyata di masa reformasi. Pemerintah seperti kebingungan menghadapi gerakan separatis. Ini bisa terjadi karena pemerintah sudah terjebak dalam prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) -sebuah ciri khas negara demokrasi sekuler.

Jebakan sistem sekuler ini memungkinkan kalangan separatis bisa bergerak bebas dengan memanfaatkan isu keadilan dan HAM. Dan isu inilah yang dimanfaatkan betul dan terus dipakai oleh gerakan Papua Merdeka di mana-mana. Mereka mempertanyakan ketidakadilan akibat 'pendudukan' Indonesia di Papua. Mereka mengangkat isu pelanggaran HAM di berbagai tempat di Papua yang ditujukan kepada TNI dan Polri.

Isu-isu itu sendiri tampaknya sulit dijawab oleh pemerintah. Sebaliknya, isu-isu ini sangat enak digoreng oleh mereka yang pro terhadap kemerdekaan Papua baik itu LSM maupun orang-orang asing.

Buka Celah

Pintu kemerdekaan kian terbuka ketika rezim Jokowi justru melonggarkan pihak asing masuk ke Papua. Di tahun pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi mengambil keputusan yang mengkhawatirkan banyak pihak yakni memberikan kebebasan kepada para pewarta asing untuk melakukan peliputan ke Papua. “Mulai hari ini wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua sama seperti di wilayah lainnya di Indonesia," katanya di Merauke, Ahad (10/5/15).

Sudah menjadi rahasia umum, wartawan asing selama ini tidak murni mencari berita saja. Sebagian dari mereka adalah bagian dari sebuah kegiatan intelijen asing dan juga bagian dari tim propaganda sebuah kepentingan tertentu. Terbukanya mereka ke Papua bisa membuka peluang bagi wartawan asing untuk menginternasionalisasikan kasus sekecil apapun di Papua ke dunia internasional. Ini sangat menguntungkan gerakan Papua Merdeka dan sangat merugikan posisi Indonesia.

Tak hanya itu, Presiden Jokowi pun memberikan grasi kepada lima tahanan politik terkait gerakan Papua Merdeka yang ditahan di penjara Abepura sehari sebelum ia mengumumkan pers asing bebas masuk Papua. Menurutnya, upaya pengurangan hukuman ini dilakukan sepenuh hati untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua. “Kita ingin menciptakan Papua sebagai negeri yang damai," kata Presiden Jokowi saat itu.

Jokowi menegaskan, kelima tapol mendapatkan grasi setelah melewati kajian menyeluruh. "Bukan dipilih. Ini melalui proses panjang (sejak) bulan Januari,” ujarnya. Selain grasi, pemerintah menjanjikan amnesti kepada para tahanan politik.

Nasionalis Tiarap

Anehnya, ketika gerakan separatis Papua bermanuver, justru kelompok yang selama ini selalu mengaku nasionalis sejati diam seribu bahasa. Tidak ada pernyataan yang menyerang OPM atau pihak-pihak yang ada di belakangnya.

Jargon mereka yang selama ini disuarakan dengan sangat keras 'NKRI Harga Mati' tak ada wujud nyatanya. Papua yang ada dalam bahaya karena ada sebagian orang yang berusaha melepaskannya dari NKRI dibiarkan saja. Mereka tidak protes terhadap tindakan pemerintah yang lembek. Mereka tak mengecam orang-orang Papua yang ingin merdeka.

Sikap ini sangat bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam di Indonesia secara kaffah. Mereka mengecam habis-habisan dengan mengatakan 'orang Islam tidak nasional', 'orang Islam memecah belah persatuan' dan sebagainya. Padahal, apa yang disuarakan kaum Muslimin tak ada kaitannya dengan pecah-belah bangsa.

Walhasil, seperti yang pernah dikatakan oleh Mahendradatta kepada Media Umat, jangan-jangan orang-orang yang mengaku nasionalis ini berteriak-teriak lantang hanya untuk menghalangi bangkitnya Islam di negeri ini. Mereka diam jika orang-orang asing yang memiiiki kepentingan mencaplok Indonesia dan mengeruk kekayaannya. []

Jokowi Rekomendasikan Referendum Papua?

Sabtu, 27 September 2014, sebuah twip menggegerkan dunia maya. Twip dari TM2000 itu mengungkapkan bahwa Jokowi telah menerbitkan rekomendasi referendum Papua Merdeka. Informasi yang katanya dari intelijen itu mengutip pernyataan Prof Damien Kingsbury yang menjadi pembicara dalam seminar bertema 'Timor Crisis’ di Melbourne, Australia 18-19 September 2014.

Profesor itu mengatakan dirinya memiliki “Proposal Joko Widodo” tentang Referendum Kemerdekaan Papua. Ia mengatakan, “Jika Indonesia mengalami krisis di Papua sebagaimana di Timor Timur dulu, maka Interfet harus masuk Papua." Namun demikian, belum bisa dikonfirmasi kebenaran proposal tersebut.

Yang jelas kebijakan Jokowi menimbulkan blunder. Filep Karma, tahanan politik terkemuka Papua yang dibebaskan Desember lalu setelah lebih dari satu dekade mendekam di balik jeruji besi, bersumpah untuk memerdekakan Papua dari Indonesia. Dia tidak percaya dengan Jokowi untuk memutuskan masa depan Papua karena tak punya pengaruh terhadap militer Indonesia.

“Saya percaya Jokowi sebagai (sosok) pribadi, tapi saya tidak percaya dia sebagai presiden,” kata Karma, mengacu kepada jabatan presiden dan pengaruhnya. Alasannya, Jokowi tidak memiliki pengaruh terhadap militer dan polisi.

Ia janji menghidupkan kembali gerakan kemerdekaan Papua dan siap dijebloskan lagi ke penjara jika perlu. Filep Karma sejatinya mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang ingin membuka wilayah Papua yang miskin setelah beberapa dasawarsa dilanda konflik. Tapi dia merasa itu belum cukup.

"Kami berada dalam semangat tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan kami karena perjuangan kami dapat didengar secara global, terlebih Papua telah dibuka untuk wartawan asing,” kata Filep Karma, seperti dikutip Reuters, Selasa (1/12/2015).

Ia menyatakan dulu kemerdekaan hanya mimpi. “Tapi sekarang, orang mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang pasti,” katanya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 169, Maret 2016
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam