Ulama adalah manusia biasa
seperti kita, hanya saja Allah SWT telah memilih para Ulama sebagai hamba-hamba
pilihan-Nya sekaligus sebagai Wali (kekasih)-Nya dan telah menganugerahkan kepada
mereka keutamaan, kelebihan dan kemuliaan dibandingkan manusia biasa lainnya, yaitu
berupa ilmu dan keimanan yang kokoh dan ketaqwaan yang tinggi.
Ulama memang bukan Nabi, tapi
mereka para Ulama adalah Pewaris para Nabi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
(artinya):
“Sesungguhnya Ulama adalah
pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh
mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah
mengambil bagian yang banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no.2681,
Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu
Dawud no.3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimah-nya, serta dinyatakan shahih oleh
al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no.3096, Shahih Sunan
at-Tirmidzi no.2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no.182, dan Shahih at-Targhib,
1/33/68)
Allah SWT pun berfirman
(artinya):
“Kemudian kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (TQS. Fathir:
32)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, Allah SWT berfirman
(artinya), “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab
(al-Qur’an) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat
ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ayat ini
sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-‘ulama waratsatil anbiya (Ulama adalah pewaris para Nabi).”
(Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa maknanya
adalah, “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba
Kami yaitu al-Kitab (al-Qur’an). Kami telah tentukan dengan cara mewariskan
kitab ini kepada para Ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami
turunkan kepadamu. Tidak ada keraguan bahwa Ulama umat ini adalah para Sahabat dan
orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah SWT telah memuliakan mereka atas
seluruh hamba dan Allah SWT menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar
mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian
karena mereka umat Nabi yang terbaik dan sayyid
bani Adam.” (FathulQadir, hlm. 1418)
Allah SWT juga menegaskan
dalam firman-NYA (artinya):
"Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan." (TQS. Al-Mujadilah: 11)
Lantas siapakah yang layak
dan pantas disebut dan menyandang gelar Ulama..?!
Pengertian
Ulama
Secara harfiah menurut
bahasa etimologi, kata Ulamāʾ () berasal dari bahasa arab (yang
berarti mengetahui) perubahan kaidah tashrif
arab menjadi kata () ismul fa il (kata
untuk menunjukkan si pelaku yang berarti orang yang mengetahui). Kemudian dari
kata tunggal () berubah menjadi kata jamak () yang diartikan sebagai
orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
Terminologi Ulama menurut Wikipedia,
Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina
dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah
sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti,
kemudian arti Ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yang
maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. (https://id.wikipedia.org/wiki/Ulama)
Ulama Menurut istilah adalah
orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Quran dan Al-Hadits
dan Menerapkan Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam kehidupannya. Ulama adalah orang-orang
yang mengetahui Al-Quran (baik bacaannya maupun kandungannya) dan
mengajarkannya.
Ulama adalah orang-orang yang
mendapat ilmu Rasulullah SAW dan setiap harinya disibukkan dengan ilmunya seperti
tabligh atau dakwah, mengajar dan mengarang kitab serta menasihati penguasa. Dan
masih banyak lagi yang lain namun pada dasarnya tetap sama yaitu orang-orang
yang bukan hanya sangat memahami ilmu agama Islam, namun juga mengamalkan
ilmunya.
Ulama adalah orang-orang
yang mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi setelah para Nabi dan Rasul dan
Ulama adalah pewaris para rasul. Pewarisan Ulama di sini bukan hanya sekedar
mengenai ilmu dan hal-hal istimewa yang diberikan kepada mereka, akan tetapi
juga mencakup beban dan tugas mereka dalam meluruskan dan membimbing masyarakat
kepada jalan yang benar menurut Akidah dan Syariah Islam.
Allah SWT menegaskan sosok
Ulama yang sesungguhnya dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (TQS. Fathir: 28)
Maka sebagai pelaku dalam
ayat ini adalah: Para ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling takut
kepada Allah. Lafdzul jalalah (Allah)
sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faidah dan fungsi didahulukannya peletakan
obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya yang takut kepada
Allah SWT tidak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya yang
didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi "Sesungguhnya
para Ulama takut kepada Allah," Permaknaan seperti ini tidak dibenarkan,
karena artinya ada di antara para Ulama yang tidak takut kepada Allah.
Atas dasar inilah Syaikhul
Islam berkomentar tentang ayat ini: “Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang
takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan bukan
berarti setiap yang Alim akan takut kepada Allah”. (Dari kitab “Majmu Al
Fatawa”, 7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494).
Dari penjelasan di atas maka
ayat yang mulia ini memberikan faidah: "Sesungguhnya para Ulama itu
pemilik rasa takut kepada Allah, dan sesungguhnya siapa saja yang tidak takut kepada
Allah berarti dia bukanlah seorang alim".
Al-Imam Ibnu Katsir
Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan benar-benar
takut adalah para Ulama yang mereka paham betul tentang hakikat Allah SWT, karena
ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah sempurna dan
bekal ilmu tentang-Nya sudah memadai maka perasaan takut kepada-Nya akan
semakin besar..”
Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhu tentang firman Allah SWT. Dia berkata, "Mereka yang takut kepada
Allah adalah mereka yang mengetahui sesungguhnya Allah Kuasa atas segala sesuatu."
Said bin Jubair berkata, "Yang dinamakan takut adalah yang menghalangi anda
dengan perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla." Al-Hasan Al-Bashri
berkata, "Orang Alim adalah yang takut kepada Yang Maha Pemurah terkait
perkara yang Ghaib, menyukai apa yang disukai oleh Allah, dan menjauhi apa-apa
yang mendatangkan kemurkaan Allah. Lalu beliau membaca Ayat (artinya): “Sesungguhnya
di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dari Abdullah bin
Mas‟ud Radhiyallahu anhu dia
berkata, "Bukanlah yang dikatakan orang berilmu itu orang yang banyak
hafal hadits, akan tetapi yang dinamakan orang berilmu itu orang yang rasa
takutnya amat besar."
Sufyan Ats Tsauri
meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Taimi dari seorang lelaki dia berkata,
"Seorang yang alim tentang Allah adalah orang yang Alim tentang perintah Allah.
Orang yang Alim tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim tentang Allah. Adapun
orang yang Alim tentang Allah dan tentang perintah Allah, dialah orang yang
takut kepada Allah SWT dan mengetahui koridor agama serta hal-hal yang
difardhukan oleh agama. Adapun orang yang Alim tentang Allah bukanlah orang yang
Alim tentang perintah Allah apabila dia takut kepada Allah SWT dan tidak mengetahui
ajaran agama serta hal-hal yang difardhukan oleh agama. Begitupun orang yang Alim
tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim tentang Allah jika dia adalah
orang yang mengetahui batasan-batasan dan hal-hal yang difardhukan oleh agama
akan tetapi sama sekali tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla." (Dikutip dengan ringkas dari Tafsir Ibnu
Katsir, 4/729)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata dalam kitab “Majmu Al Fatawa”, 17/21, tentang firman Allah
Maksud dari ayat tersebut
adalah tidak takut kepada Allah melainkan orang yang Alim. Allah telah memberitakan
sesungguhnya setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang alim,
sebagaimana Firman Allah dalam ayat yang lain (artinya):
"(Apakah kalian hai orang
musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (TQS. Az-Zumar: 9)
As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Setiap orang yang
pengetahuannya kepada Allah sangat mendalam, maka dialah orang yang banyak takut
kepada Allah. Maka rasa takutnya kepada Allah mewajibkan dia menghindari perilaku
maksiat dan selalu bersiap diri menjumpai yang ia takuti. Ini merupakan bukti dari
keutamaan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu menuntun untuk takut kepada Allah,
dan orang yang biasa takut kepada Allah maka dia layak mendapat karomah-Nya,
sebagaimana firman Allah SWT (artinya): "Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada
Tuhan-Nya." (TQS. Al-Bayyinah: 8)
Kesimpulannya: Sesungguhnya
subyek dalam ayat tersebut adalah para Ulama. Pengertian ayatnya adalah:
"Sesungguhnya tidak ada yang takut kepada Allah SWT melainkan para Ulama. Merekalah
yang paling mengetahui kekuasaan-Nya dan kemampuan-Nya.
Ulama
Benteng Terakhir Islam dan Ujung Tombak Umat Islam
Abud Darda’ radhiyallahu anhu berkata,
“Perumpamaan para ulama di
tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi
penunjuk arah bagi manusia.” (Akhlaq al-‘Ulama, hal.29, Imam al-Ajurri meriwayatkan
dengan sanadnya dari Al Hasan)
Ulama juga adalah laksana bulan
purnama yang menerangi dunia tatkala kegelapan malam tiba. Ulama adalah laksana
perisai dan benteng yang kokoh. Baiknya Ulama akan membawa kebaikan bagi seluruh
umat manusia. Sedangkan, rusaknya Ulama akan membawa kerusakan bagi seluruh
umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:
"Ingatlah, sejelek-jelek
keburukan adalah keburukan Ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan Ulama"
(HR. ad-Darimi).
Imam al-Ghazali menjelaskan:
"Setelah menulis keberanian
para ulama salaful ummah tentang banyak
dari mereka yang sangat berani ber-hisbah yaitu ber-amar makruf nahi munkar
bahkan terhadap para penguasa yang dzalim hingga siap syahid dibunuh para penguasa
karena mengamalkan hadits
“Jihad yang paling utama adalah
menyampaikan kalimat kebenaran di depan penguasa rusak yang menyimpang”.
Maka terakhir Imam Ghazali
memberikan penutup: “Bahwasanya rusaknya rakyat (masyarakat umum) disebabkan karena
rusaknya para penguasa, sedangkan rusaknya para penguasa disebabkan karena rusaknya
para Ulama. Para Ulama rusak karena terperdaya kecintaan harta dan wibawa
(tahta)".
Imam Al Ghazali melanjutkan “Barangsiapa
yang terperdaya kecintaan terhadap dunia, maka dia tidak akan mampu dan kuasa ber-hisbah
melakukan amar makruf nahi munkar terhadap perkara yang remeh, kecil dan sepele.
Bagaimana mungkin dia akan mampu ber-hisbah amar makruf nahi munkar terhadap para
penguasa dan perkara-perkara yang besar?." (Akhir Kitab Hisbah Amar Makruf
Nahi Munkar dari Kitab Ihya Ulumuddin Juz II Hal. 385)
Rasulullah SAW mengisyaratkan
hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT
tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia
mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak
menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar
ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no.100 dan Muslim no.2673)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan bahwa asy-Sya’bi
berkata, “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk
kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari
terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua
urusan.”
Di dalam Shahih al-Hakim diriwayatkan
dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma
secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah SAW): “Sesungguhnya termasuk
tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para Ulama dan diangkatnya
orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 60)
Wafatnya seorang yang alim
akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan Ulama di tengah
kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan berkah dari Allah SWT. Lebih-lebih
Rasulullah SAW mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya (artinya):
“Sebagai kunci-kunci untuk
membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.” (Hadits
Hasan, Shahihul Jami', 4108)
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Syaqiq, beliau berkata, “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya
berkata, Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya menjelang
datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu
dihilangkan.‟
Dalam riwayat Muslim dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
“Zaman saling berdekatan,
ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam
hati), dan pembunuhan semakin banyak.‟
Ini menegaskan bahwasanya Ulama
adalah simbol sekaligus representasi Islam dan umat Islam. Karena itulah, Ulama
menjadi benteng terakhir Islam dan Umat Islam. Jika Ulama dirusak maka
terusakkanlah Islam dan umat Islam pun akan menjadi rusak, maka rusaklah pula seluruh
umat manusia. Di sinilah urgensi Ulama sebagai benteng terakhir Islam sekaligus
menjadi ujung tombak umat Islam.
Karena itulah sejak dulu, Ulama
memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai peristiwa sejarah penting, terutama
sejarah perubahan masyarakat (social engineering).
Bahkan nyaris tidak ada satupun perubahan masyarakat di dunia ini yang tidak melibatkan
peran Ulama. Mereka jugalah orang pertama yang menyebarkan kesadaran ini di
tengah-tengah masyarakat hingga masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk
melakukan perubahan. Jika kesadaran terhadap kerusakan masyarakat belum tumbuh di
tengah-tengah masyarakat, niscaya tidak akan tumbuh pula keinginan untuk berubah,
apalagi upaya untuk melakukan perubahan. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa
Ulama merupakan sumber dan inspirasi perubahan.
Sayang, seiring dengan
kemunduran taraf berpikir umat Islam, yang ditambahi dengan proses sekularisasi
di Dunia Islam, umat Islam mulai kesulitan menemukan sosok Ulama yang mampu menggerakkan
perubahan, seperti yang pernah dilakukan Nabi SAW. Yang kita dapati adalah Ulama
yang fakih dalam masalah agama, tetapi tidak memiliki visi politik dan bukan negarawan
yang handal. Akhirnya, mereka mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Ada
pula Ulama yang memisahkan diri dari kekuasaan dan politik, dengan alasan
keliru, politik itu kotor dan najis.
Akibatnya, mereka tidak mampu
memberikan kontribusi bagi perubahan masyarakat dan negara. Mereka HANYA asyik dengan
ibadah-ibadah ritual yang sejatinya justru memberangus predikatnya sebagai Pewaris
Nabi. Ada pula Ulama yang, sadar atau tidak, terkooptasi oleh pemerintah kufur dan
antek-anteknya. Mereka rela menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Jahatnya lagi,
mereka bahkan rela menzalimi saudara-saudara Muslimnya untuk memenuhi keinginan
kaum kafir. Ada pula yang bertingkah bak seorang artis yang hanya mengejar
popularitas belaka. Lantas, apa fungsi dan peran ulama sesungguhnya..?!
Peran
dan Fungsi Para Ulama
Peran dan fungsi strategis
Ulama dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama: Pewaris para Nabi.
Tentu, yang dimaksud dengan Pewaris Nabi adalah pemelihara dan penjaga warisan
para Nabi, yakni wahyu atau risalah, dalam konteks ini adalah al-Quran dan
as-Sunnah. Dengan kata lain, peran utama Ulama sebagai Pewaris para Nabi adalah
menjaga agama Allah SWT dari kebengkokan dan penyimpangan. Hanya saja, peran
Ulama bukan hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam, baik yang
menyangkut masalah Akidah maupun Syariah, tetapi juga bersama umat berupaya menerapkan,
memperjuangkan, serta menyebarkan risalah Allah.
Dalam konteks saat ini, Ulama
bukanlah orang yang sekadar memahami dalil-dalil Akidah dan Syariah, kaidah istinbâth (penggalian hukum), dan
ilmu-ilmu alat lainnya. Akan tetapi, ia juga terlibat dalam perjuangan untuk
mengubah realitas rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi SAW.
Kedua: Pembimbing, pembina
dan penjaga umat. Pada dasarnya, Ulama bertugas membimbing umat agar selalu berjalan
di atas jalan lurus. Ulama juga bertugas menjaga mereka dari tindak kejahatan, pembodohan,
dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum kafir dan antek-anteknya yang berupa gagasan,
keyakinan, dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.
Semua tugas ini mengharuskan
Ulama untuk selalu menjaga kesucian agamanya dari semua kotoran. Ulama juga
harus mampu menjelaskan kerusakan dan kebatilan semua pemikiran dan sistem
kufur kepada umat Islam. Ia juga harus bisa mengungkap tendensi-tendensi jahat di
balik semua sepak terjang kaum kafir dan antek-anteknya. Ini ditujukan agar
umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.
Ketiga: Pengontrol penguasa.
Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika Ulama mampu memahami konstelasi politik
global dan regional. Ia juga mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam
memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, seorang Ulama harus memiliki
visi politis-ideologis yang kuat, hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak
hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada konteks
ideologis-politis. Dengan demikian, fatwa-fatwanya mampu menjaga umat Islam
dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum
Muslim. Misalnya, fatwa yang dahulu dikeluarkan oleh syaikhul Islam mengenai bolehnya
kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan
Barat pada akhir Kekhilafahan Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru, tetapi juga menjadi
penyebab kehancuran Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya pemahaman
politis-ideologis ulama pada saat itu.
Keempat: Sumber ilmu. Ulama
adalah orang yang fakih dalam masalah halal-haram. Ia adalah rujukan dan tempat
menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan di
atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran sentralnya adalah mendidik
umat dengan akidah dan syariah Islam. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam
yang kuat; mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.
Kelima: Ulama sebagai pemimpin
umat yang terdepan dalam memobilisasi dan menggerakkan umat dan seluruh elemen umat
Islam untuk perjuangan melanjutkan kehidupan Islam yaitu diterapkannya Syariah Islam
secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, menyebarluaskan Islam ke segala
penjuru dunia melalui dakwah dan jihad oleh Daulah Khilafah Rasyidah Islamiyah.
Perjuangan itu dilakukan para Ulama Pewaris Nabi bersama umat dan seluruh
elemen umat Islam apapun madzhab dan harakah dakwahnya. Karena Khilafah Islam adalah
benteng utama Islam sekaligus milik seluruh Umat dan kewajiban bagi seluruh Umat
Islam.
Inilah peran dan fungsi sentral
Ulama sebagai benteng terakhir Islam dan ujung tombak umat Islam di
tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, sekularisasi dan demokratisasi telah menindas
fungsi dan peran Ulama di atas, sekaligus meminggirkan mereka dari urusan
negara dan masyarakat.
Aksi Damai Bela Islam Jilid
II 411 dan Aksi Super Damai Bela Islam Jilid III 212 yang sukses dipimpin dan dimobilisasi
para Ulama sebagai respon atas penistaan terhadap Islam, Al-Quran, Ulama dan
Umat Islam yang telah dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, menjadi
sinyal kuat kebangkitan Islam dan umat Islam sekaligus menjadi sinyal kebangkitan
Ulama Pewaris Nabi dan Persatuan Umat Islam yang bakal berpotensi bangkit kembali
menjelma menjadi raksasa adidaya Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah. Tentunya
ini, membuat penjajah kafir kapitalis baik asing maupun aseng beserta rezim
bonekanya sangat ketakutan hingga mereka pun menjadi Islamphobia dan super
paranoid dengan Islam.
Sehingga demi melanggengkan gurita
penjajahan hegemoni kapitalisme global mereka, penjajah kafir kapitalis asing dan
aseng tersebut pun melalui rezim bonekanya membuat banyak skenario jahat dengan
menghalalkan segala cara untuk mematikan kebangkitan Islam dengan menjadikan
hukum tumpul ke kafir dan hanya tajam ke bawah melalui sejumlah UU, adu domba
umat, adu domba Ulama dan kriminalisasi Islam, umat Islam dan khususnya
kriminalisasi Ulama.
Penjajah kafir kapitalis asing
dan aseng beserta rezim bonekanya sangat mengetahui dan memahami dengan benar
bahwa penghalang utama mereka untuk menguasai sepenuhnya negeri zamrud
khatulistiwa yang kaya raya dengan sumberdaya alamnya ini adalah Islam, umat Islam
dan khususnya Ulama sebagai benteng terakhir Islam dan ujung tombak umat Islam.
Karena itulah, mereka
berupaya keras untuk melemahkan dan menghancurkan Islam dan umat Islam melalui
adu domba umat, kriminalisasi Ulama dan pembunuhan karakter Ulama; mereka juga
membuat sebuah skenario jahat secara sistematis untuk membungkam Ulama melalui sertifikasi
penceramah atau sertifikasi Ulama yang dilakukan secara paksa oleh rezim boneka
ini demi mengamankan kepentingan tuan besarnya tersebut dalam melanggengkan
gurita penjajahan kapitalisme global mereka di negeri ini.
Menghancurkan Ulama sebagai benteng
terakhir Islam dan ujung tombak umat Islam sama saja menghancurkan Islam dan
umat Islam.
Memusuhi Ulama sama saja
memusuhi Allah SWT Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan.
Siapapun yang memusuhi bahkan
mengkriminalkan Ulama dan membunuh karakter Ulama, maka dia benar-benar telah
menjadi musuhnya Allah.
Kecelakaan besarlah bagi mereka
khususnya penjajah kafir kapitalis asing dan aseng beserta rezim bonekanya yang
telah menjadi musuh Allah akibat memusuhi Ulama Pewaris Nabi dan agama-Nya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda (artinya):
“Sesungguhnya Allah
berfirman: 'Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah
mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
suatu (amal shalih) yang lebih Aku cintai daripada amal-amal yang Aku wajibkan
kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya…”
(HR al-Bukhari 5/2384, no.6137).
Sungguh Allah SWT adalah
Maha Perkasa dan amatlah keras adzab dan siksa-Nya. Allah SWT berfirman (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi dengan tanpa alasan yang benar
dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka berilah mereka
kabar gembira, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang
yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali
tidak memperoleh penolong.” (TQS. Ali Imran [3]: 21-22)
Dan juga Allah SWT berfirman
(artinya):
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya
dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas
segala agama meskipun orang-orang musyrik benci." (TQS. Ash-Shaff [6]: 9)
Maha benar Allah dengan
segala firman-Nya. Wallahu a'lam bish
shawab. []
Sumber bacaan: Zakariya
al-Bantany, Ulama Adalah Benteng Terakhir Islam
---
sebarkan Buku-Buku Supremasi Ideologi Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar