HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA TERIKAT HUKUM SYARA`
• Mubah=
apa yang ditunjukkan oleh dalil mengandung dua pilihan antara mengerjakan atau
meninggalkan (apa yang menjadi pilihan seseorang antara berbuat atau
meninggalkan berdasarkan syara‘).
• Ibahah
(kebolehan) termasuk salah satu hukum syara‘. Hukum syara' membutuhkan dalil
yang menunjukkan kedudukan hukum ke-mubah-annya. Selama tidak ada dalil yang menunjukkannya
maka hukum syara' tentang hal itu belum diketahui.
• Mengetahui
hukum Allah atas perbuatan yang menunjukkan mubah membutuhkan adanya dalil
syara'. Belum ditemukannya dalil syara' atas
suatu perbuatan bukan berarti perbuatan itu mubah. Belum diketahui hukumnya
menunjukkan wajibnya mencari dalil untuk mengetahui hukum Allah atas
perbuatan tersebut . Mencari tahu hukum suatu perbuatan WAJIB bagi setiap
mukallaf agar dapat memutuskan sikapnya apakah dia harus mengerjakan atau
meninggalkan. Selama tidak ditemukan dalil tentang kebolehan, maka tidak ada
hukum mubah. Tidak diketahui hukum bagi perbuatan manusia sebelum datangnya
dalil. Untuk menentukan perbuatan itu mubah, mandub, makruh, fardlu, dan haram
harus didasarkan pada (adanya) dalil. Kalau tidak menggunakan dalil, tidak
mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut, dan tidak mungkin
menetapkan pula bahwa perbuatan ini mubah.
• Perbuatan
manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya
mencari dalil-dalil syar'i dan menyesuaikan fakta terhadap dalil-dalil tersebut
sehingga dapat diketahui hukum Allah atas perbuatan itu, apakah haram, makruh,
mubah, mandub, atau fardlu. Dan setiap
perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu
hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya.
Sebagaimana firman Allah: "Maka demi Rabb-mu, pasti kami akan
menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (QS Al Hijr: 92-93). "Kamu tidak
berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur'an dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya."(QS
Yunus: 61).
• Rasulullahpun
menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan hukum
Islam, dengan sabdanya: "Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak.“
• Para
sahabat r.a selalu bertanya kepada Rasul Saw. lebih dahulu tentang perilaku
mereka hingga mereka mengetahui hukum Allah sebelum melakukannya.
• Ibnul
Mubarak telah mengeluarkan hadits bahwa Usman bin Madh'un telah
datang kepada Rasul Saw. dan bertanya: Apakah aku diizinkan melakukan
pengebirian? Jawab Rasul; 'Bukan
tergolong umatku yang melakukan pengebirian, baik terhadap dirinya sendiri
ataupun orang lain, dan sesungguhnya pengendalian syahwat bagi umatku adalah
shaum. Kemudian dia bertanya
lagi: 'Apakah aku diizinkan melakukan perjalanan (melancong )? Rasul menjawab: "Perjalanan
(melancong) bagi umatku adalah jihad fisabilillah." Ibnu Madh'un pun bertanya lagi; "Apakah
aku diizinkan bertapa? Rasul menjawab
lagi: 'Bertapanya umatku adalah duduk di dalam masjid sambil menunggu
shalat".
• Hal
ini dengan jelas menunjukkan bahwa para sahabat selamanya tidak mendahulukan
perbuatan, kecuali bertanya lebih dahulu kepada Rasul. Seandainya asal dari
perbuatan adalah mubah, niscaya mereka akan melakukannya, dan mereka tidak akan
bertanya kepada Rasul karena apabila Allah mengharamkan (perbuatan tersebut)
tentu mereka akan meninggalkannya, kalau tidak mereka tentu melakukannya dan
tidak perlu bertanya lagi.
• Adapun
diamnya Syari' (Allah SWT) terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dijelaskan
hukumnya, sedangkan manusia melakukannya bukan berarti tidak ada ketentuan
hukum dari Syari' (tentang perbuatan tersebut) baik itu berupa ucapan ataupun
perbuatan, bukan berarti bahwa hal ini merupakan dalil untuk membolehkan
perbuatan yang nash tidak melarangnya secara jelas baik dalam bentuk ucapan
ataupun perbuatan (Rasul). Akan tetapi
arti diam di sini ialah bahwa perbuatan yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Rasul Saw. bahwasanya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan
Rasul telah mengerjakannya, menunjukkan bolehnya perbuatan-perbuatan itu saja,
tidak menunjukkan bolehnya seluruh perbuatan mereka (manusia) secara mutlaq,
karena diamnya Rasul (taqrir) atas perbuatan-perbuatan tersebut (yang merupakan
pengakuan beliau) adalah dalil yang menunjukkan bolehnya perbuatan itu.
• Maka
diamnya Rasul saw terhadap suatu perbuatan dapat dianggap sebagai dalil yang
membolehkannya, dengan syarat hal itu diketahui oleh beliau, misalnya
dikerjakan di hadapan beliau atau telah sampai beritanya kepada beliau. Sedangkan, apabila diamnya Rasul terhadap
suatu perbuatan karena belum sampai beritanya pada beliau atau telah terjadi di
luar kekuasaan (wilayah Islam) meskipun beliau mengetahuinya, maka hal ini
tidak dianggap pengakuan yang termasuk salah satu macam dalil-dalil syara'.
• Yang
dimaksud taqrir/pengakuan yang menunjukkan kebolehan, adalah diamnya Rasul,
bukan diamnya Al Qur'an, karena Al Qur'an merupakan kalamullah, Allah
Maha Mengetahui atas setiap perbuatan, baik yang belum, sedang terjadi maupun
yang akan terjadi. Oleh karena itu,
tidak dapat dikatakan bahwa tidak adanya penjelasan dari Al Qur'an (tentang
suatu perbuatan tertentu) berarti hukum atas perbuatan itu didiamkan, akan
tetapi yang dimaksud diam dalam suatu perbuatan adalah diamnya Rasul Saw.
dengan syarat beliau mengetahuinya, yaitu suatu perbuatan dikerjakan di hadapan
Rasul atau berada dalam kekuasaan Rasul yang diketahuinya kemudian beliau
mendiamkannya.
• Sebagai
contoh sikap sebagian shahabat yang mengambil dalil atas dibolehkannya 'azl
(menumpahkan air mani di luar tempatnya) karena Nabi Saw. mendiamkannya, dalil
tersebut adalah riwayat yang ditunjukkan oleh perkataan mereka: "Kami
melakukan 'azl sedangkan Al Qur'an masih turun". Artinya, Rasul Saw.
masih hidup. Hal ini difahami dari teks riwayat "sedangkan Al Qur'an
masih turun". Kalimat ini
adalah kiasan bahwa Rasul Saw. masih ada di tengah-tengah mereka, namun beliau
tidak melarangnya.
• Begitu
juga sebagian para mujtahid beralasan mengambil dalil atas dibolehkannya
memakan daging biawak, karena diamnya Rasul.
• Oleh
karena itu, diamnya Rasul Saw. atas suatu perbuatan yang telah diketahuinya
menunjukkan adanya dalil tentang kebolehannya, bukan sebaliknya tidak adanya
penjelasan dan ketentuan hukum terhadap suatu perbuatan tertentu dijadikan
dalil untuk membolehkan perbuatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar