Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 19 Desember 2015

HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA TERIKAT HUKUM SYARIAH



HUKUM ASAL PERBUATAN MANUSIA TERIKAT HUKUM SYARA`

       Mubah= apa yang ditunjukkan oleh dalil mengandung dua pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan (apa yang menjadi pilihan seseorang antara berbuat atau meninggalkan berdasarkan syara‘).
       Ibahah (kebolehan) termasuk salah satu hukum syara‘. Hukum syara' membutuhkan dalil yang menunjukkan kedudukan hukum ke-mubah-annya.  Selama tidak ada dalil yang menunjukkannya maka hukum syara' tentang hal itu belum diketahui.
       Mengetahui hukum Allah atas perbuatan yang menunjukkan mubah membutuhkan adanya dalil syara'.  Belum ditemukannya dalil syara' atas suatu perbuatan bukan berarti perbuatan itu mubah. Belum diketahui hukumnya menunjukkan wajibnya mencari dalil untuk mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut . Mencari tahu hukum suatu perbuatan WAJIB bagi setiap mukallaf agar dapat memutuskan sikapnya apakah dia harus mengerjakan atau meninggalkan. Selama tidak ditemukan dalil tentang kebolehan, maka tidak ada hukum mubah. Tidak diketahui hukum bagi perbuatan manusia sebelum datangnya dalil. Untuk menentukan perbuatan itu mubah, mandub, makruh, fardlu, dan haram harus didasarkan pada (adanya) dalil. Kalau tidak menggunakan dalil, tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut, dan tidak mungkin menetapkan pula bahwa perbuatan ini mubah.
       Perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya mencari dalil-dalil syar'i dan menyesuaikan fakta terhadap dalil-dalil tersebut sehingga dapat diketahui hukum Allah atas perbuatan itu, apakah haram, makruh, mubah, mandub, atau fardlu.  Dan setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman Allah: "Maka demi Rabb-mu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu."  (QS Al Hijr: 92-93). "Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan  suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya."(QS Yunus: 61).
       Rasulullahpun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, dengan sabdanya: "Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak.“

       Para sahabat r.a selalu bertanya kepada Rasul Saw. lebih dahulu tentang perilaku mereka hingga mereka mengetahui hukum Allah sebelum melakukannya.
       Ibnul Mubarak telah mengeluarkan hadits bahwa Usman bin Madh'un telah datang kepada Rasul Saw. dan bertanya: Apakah aku diizinkan melakukan pengebirian?  Jawab Rasul; 'Bukan tergolong umatku yang melakukan pengebirian, baik terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain, dan sesungguhnya pengendalian syahwat bagi umatku adalah shaum.  Kemudian dia bertanya lagi: 'Apakah aku diizinkan melakukan perjalanan (melancong )? Rasul menjawab: "Perjalanan (melancong) bagi umatku adalah jihad fisabilillah."  Ibnu Madh'un pun bertanya lagi; "Apakah aku diizinkan bertapa?  Rasul menjawab lagi: 'Bertapanya umatku adalah duduk di dalam masjid sambil menunggu shalat". 
       Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa para sahabat selamanya tidak mendahulukan perbuatan, kecuali bertanya lebih dahulu kepada Rasul. Seandainya asal dari perbuatan adalah mubah, niscaya mereka akan melakukannya, dan mereka tidak akan bertanya kepada Rasul karena apabila Allah mengharamkan (perbuatan tersebut) tentu mereka akan meninggalkannya, kalau tidak mereka tentu melakukannya dan tidak perlu bertanya lagi.
        Adapun diamnya Syari' (Allah SWT) terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dijelaskan hukumnya, sedangkan manusia melakukannya bukan berarti tidak ada ketentuan hukum dari Syari' (tentang perbuatan tersebut) baik itu berupa ucapan ataupun perbuatan, bukan berarti bahwa hal ini merupakan dalil untuk membolehkan perbuatan yang nash tidak melarangnya secara jelas baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan (Rasul).  Akan tetapi arti diam di sini ialah bahwa perbuatan yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Rasul Saw. bahwasanya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Rasul telah mengerjakannya, menunjukkan bolehnya perbuatan-perbuatan itu saja, tidak menunjukkan bolehnya seluruh perbuatan mereka (manusia) secara mutlaq, karena diamnya Rasul (taqrir) atas perbuatan-perbuatan tersebut (yang merupakan pengakuan beliau) adalah dalil yang menunjukkan bolehnya perbuatan itu.

       Maka diamnya Rasul saw terhadap suatu perbuatan dapat dianggap sebagai dalil yang membolehkannya, dengan syarat hal itu diketahui oleh beliau, misalnya dikerjakan di hadapan beliau atau telah sampai beritanya kepada beliau.  Sedangkan, apabila diamnya Rasul terhadap suatu perbuatan karena belum sampai beritanya pada beliau atau telah terjadi di luar kekuasaan (wilayah Islam) meskipun beliau mengetahuinya, maka hal ini tidak dianggap pengakuan yang termasuk salah satu macam dalil-dalil syara'.
       Yang dimaksud taqrir/pengakuan yang menunjukkan kebolehan, adalah diamnya Rasul, bukan diamnya Al Qur'an, karena Al Qur'an merupakan kalamullah, Allah Maha Mengetahui atas setiap perbuatan, baik yang belum, sedang terjadi maupun yang akan terjadi.  Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa tidak adanya penjelasan dari Al Qur'an (tentang suatu perbuatan tertentu) berarti hukum atas perbuatan itu didiamkan, akan tetapi yang dimaksud diam dalam suatu perbuatan adalah diamnya Rasul Saw. dengan syarat beliau mengetahuinya, yaitu suatu perbuatan dikerjakan di hadapan Rasul atau berada dalam kekuasaan Rasul yang diketahuinya kemudian beliau mendiamkannya.
       Sebagai contoh sikap sebagian shahabat yang mengambil dalil atas dibolehkannya 'azl (menumpahkan air mani di luar tempatnya) karena Nabi Saw. mendiamkannya, dalil tersebut adalah riwayat yang ditunjukkan oleh perkataan mereka: "Kami melakukan 'azl sedangkan Al Qur'an masih turun". Artinya, Rasul Saw. masih hidup. Hal ini difahami dari teks riwayat "sedangkan Al Qur'an masih turun".  Kalimat ini adalah kiasan bahwa Rasul Saw. masih ada di tengah-tengah mereka, namun beliau tidak melarangnya.
       Begitu juga sebagian para mujtahid beralasan mengambil dalil atas dibolehkannya memakan daging biawak, karena diamnya Rasul.
       Oleh karena itu, diamnya Rasul Saw. atas suatu perbuatan yang telah diketahuinya menunjukkan adanya dalil tentang kebolehannya, bukan sebaliknya tidak adanya penjelasan dan ketentuan hukum terhadap suatu perbuatan tertentu dijadikan dalil untuk membolehkan perbuatan tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam