Mencabut Korupsi Sampai Ke Akar-Akarnya Dengan Syariah Islam
Oleh : M. Shiddiq Al Jawi
Fakta Korupsi
Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang
negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk
keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum,
hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan
pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).
Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang negeri ini, yang
kini tak lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat
sistemik dan dilakukan secara kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di
alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah
(eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif),
dan juga swasta. Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD pernah
menyebutkan pusat-pusat korupsi di Indonesia terdapat di 4 (empat)
sektor lembaga pemerintah, yaitu: pajak, bea cukai, pertamina, dan
pertanahan.
Di lingkungan eksekutif saja, hingga tahun 2012, Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) mencatat ada 173 kepala daerah
(gubernur/bupati/walikota) yang tersangkut berbagai kasus korupsi. Para
kepala daerah itu tersangkut dengan berbagai status yang melekat pada
mereka, mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Seperti
dilansir dari situs www.setkab.go.id, di pulau Sumatera saja ada tujuh
gubernur yang tersangkut kasus korupsi, termasuk Gubernur Bengkulu
Agusrin Najamudin. Hanya propinsi Jambi dan Bangka Belitung (Babel) saja
yang gubernurnya tidak tersangkut kasus korupsi. (www.republika.co.id,
23/4/2012).
Faktor Penyebab Korupsi
Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar
sudah melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida (2003),
berdasarkan analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi
seperti Singh (1974), Merican (1971), Ainan (1982), sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah 3 (tiga) faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga,
sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak
ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan
yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 3).
Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak
mendalam, dan hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau
kulitnya saja. Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal
dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis
inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur
korupsi saat ini.
Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi
anutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai
kebebasan dan hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat
kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah).
Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem
demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan.
Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan
kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).
Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di
masyarakat manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari
ideologi Barat tersebut. Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah
air, tapi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan
Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan
demokrasi-kapitalis justru menjadi biang perilaku bobrok ini. Para
pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu.
Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa
membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.
Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem
demokrasi melalui pilkada yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi.
Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem
demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya
selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal
agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu
dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu
menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi
presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.
Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah
yang tersangkut berbagai kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah
yang dapat ditunjuk sebagai faktor paling utama yang mendorong
terjadinya korupsi. Tentu saja tak boleh diabaikan adanya faktor
lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya, yaitu : Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga,
faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih
terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak
menimbulkan efek jera.
Kesimpulannya, menurut kami, faktor penyebab korupsi setidaknya ada 4 (empat), yaitu :
Pertama, faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai
kebebasan dan hedonisme di masyarakat, dan juga diterapkannya sistem
demokrasi yang mendorong korupsi,
Kedua, faktor kelemahan karakter individu,
Ketiga, faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap,
Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah.
Hambatan Pemberantasan Korupsi
Di Indonesia sudah dibentuk KPK (berdasarkan UU No 32/2002) yang
mempunyai misi melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga pemeriksa dan
pengawas keuangan untuk mencegah korupsi seperti BPK dan Bawasda juga
ada. Berbagai undang-undang juga sudah dibuat untuk memberantas korupsi,
di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No 28/1999
tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme). Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan
pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa
dikatakan gagal. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara
paling korup di Asia.
Apa hambatan utama pemberantasan korupsi di Indonesia? Fakta
berbicara, bahwa DPR sendirilah yang berusaha mengurangi kewenangan KPK
melalui upaya DPR menggodok Revisi UU KPK No 30/2002. Misalnya,
kewenangan melakukan penuntutan yang selama ini dimiliki KPK, hendak
dihapuskan oleh DPR (lihat pasal 1 ayat 3, pasal 6 bagian c, pasal 7
bagian a; Draft Revisi UU KPK No 30/2002).
Fakta juga berbicara, bahwa penegak hukum juga menghambat
pemberantasan korupsi. Contoh, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tidak
mengumumkan status tersangka Bupati Karanganyar Rina Iriani kepada
publik.
Fakta-fakta ini menunjukkan hambatan utama pemberantasan korupsi
justru terletak pada sistem yang ada saat ini. Mungkin ada yang
keberatan terhadap kesimpulan ini, tapi paling tidak, fakta-fakta
tersebut menunjukkan kurang seriusnya sistem yang ada dalam memberantas
korupsi.
Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam
Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat
ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan
pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang
memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.”
(Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan
pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain,
dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir,
yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk
sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat
atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir),
hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.
Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi.
Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib
dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis
itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan ideologi yang merusak
itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang
semestinya berlaku di negeri ini.
Tak dapat dipungkiri, di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum.
Pluralisme sistem hukum ini sebenarnya adalah warisan kafir penjajah,
bukan inisiatif asli bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam
sistem hukum plural ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum; yaitu sistem
hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat.
Menurut kami, secara normatif, sistem hukum plural ini haram hukumnya
diterapkan menurut Aqidah Islam. Bukankah dalam Al-Qur`an Allah sudah
berfirman yang berbunyi,”Laa yusyrik fi hukmihi ahadan.”
Artinya, Allah tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam
menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem hukum plural yang
syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari
muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini bagi kami sama saja dengan
melanggengkan penjajahan di negeri ini.
Dengan diterapkannya Syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya
sistem hukum tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat
memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik
peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan
profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau
nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan
wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa
mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan
kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum
mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh
aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan
arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada
Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak
menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya,
pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan
bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung
kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung
mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka
Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga
akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau
memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang
mengikutinya.
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin
Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas
maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”
Menindak Korupsi Menurut Syariah Islam
Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan
langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan
hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir,
yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya
mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang
paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan
dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Penutup
Demikianlah sekilas bagaimana cara memberantas korupsi hingga ke
akar-akarnya menurut Syariah Islam. Cara ini memang tidak mudah. Karena
mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat mendasar, yaitu menuju
sistem hukum tunggal, yaitu Syariah Islam. Walaupun tidak mudah, tapi
cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi hingga ke
akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di
permukaan atau kulitnya saja.
Maka dari itu, tugas suci menerapkan Syariah Islam tersebut
seharusnya tidak dipikul hanya oleh kelompok atau jamaah tertentu,
melainkan menjadi tugas bersama seluruh komponen umat Islam, termasuk
mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Di sinilah peran yang dapat
dimainkan oleh mahasiswa dan masyarakat. Wallahu a’lam.
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional bertema “Mencabut Korupsi
Sampai ke Akar Akarnya Ala Sistem Islam”, diselenggarakan oleh WAMI FH
UNIB (Wahana Mahasiswa Muslim Fakultas Hukum Universitas Bengkulu), di
Rektorat UNIB (Universitas Bengkulu), Minggu, 29 April 2012.
**KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI. Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (DPP HTI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar