Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 05 Januari 2013

Hukuman Sanksi Atas Tindakan Memata-Matai

Hukuman Sanksi Atas Tindakan Memata-Matai



SANKSI ATAS TINDAKAN TAJASSUS (Memata-Matai)

    Apabila tajassus dilakukan kafir harbi baik hakiki, maupun hukman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’.

Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para shahabat Nabi saw, dan ia berbincang-bincang dengan para shahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku [Salamah bin al-Akwa’] berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para shahabat yang lain, dan aku membunuhnya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dengan pengertian senada namun dengan lafadz berbeda. Sedangkan dalam riwayat Abu Na’iim dalam al-Mustakhraj, dari jalan Yahya al-Hamaniy, dari Abu al-‘Umais, “Ketahuilah, bahwa dia adalah mata-mata”. Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw telah menetapkan, bahwa ia adalah mata-mata, kemudian beliau saw berkata, “Cari, dan bunuhlah dia.” Ini menunjukkan, bahwa thalab dari Rasul adalah thalab yang pasti, sehingga sanksi bagi kafir harbiy yang mematai-matai kaum muslimin, adalah dibunuh tanpa perlu komentar. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua kafir harbi, baik kafir mu’ahid, musta’min, atau bukan mu’ahid dan musta’min. [idem, hal.215]

    Bila tajassus (memata-matai) dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus (memata-matai), maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya, atau tidak, bila ia melakukan tajassus (memata-matai).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi saw telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir dzimmiy, yakni mata-matanya Abu Sofyan [Furat bin Hayyan], kemudian sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin Hayyan, lalu dia [Furat bin Hayyan] berkata, “Saya muslim!”. Kemudian para shahabat berkata, “Dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw memerintahkan para shahabat untuk membunuh kafir dzimmiy yang melakukan tindak spionase (tajassus). Namun demikian, hal ini hanya berhukum jaiz (boleh) bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila menjadi mata-mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap kafir dzimmiy jaiz (boleh) dan tidak wajib, adalah, hadits di atas tidak memiliki qarinah yang bersifat jaazm (qarinah yang pasti).

Walhasil, hadits di atas thalab-nya (tuntutannya) menjadi tidak pasti (ghairu jaazim). Ada qarinah yang menunjukkan bahwa thalab pada hadits itu tidak pasti (ghairu jaazim) yakni, nash hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak langsung membunuh Furat bin Hayyan, sekedar mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal kafir harbiy yang disebutkan dalam hadits Salamah bin al-Akwa’, Rasulullah saw langsung memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah mata-mata. Rasulullah saw bersabda kepada kaum muslimin, “Cari dan bunuhlah dia!” Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal Rasulullah saw mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy, dan ini tampak jelas dari lafadz hadits, “dan dia adalah [kafir] dzimmiy, dan seorang mata-mata”, yakni bahwa dia [Furat bin Hayyan] telah diketahui oleh beliau saw. Ini juga tampak jelas dari ucapan Rasulullah saw, “dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Atas dasar itu, Rasulullah saw telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus (memata-matai), “Cari dan bunuhlah dia!”.

Sedangkan untuk Furat bin Hayyan beliau saw sekedar memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada perbedaan antara kedua riwayat tersebut; riwayat Salamah bin Akwa’ dengan Furat bin Hayyan. Terhadap kafir harbiy, maka tuntutan untuk membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang pasti (thalab jaazim), sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah tuntutan yang pasti (ghairu jaazim). Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari kalangan kafir dzimmiy, atau tidak membunuhnya, hukumnya adalah jaiz (mubah).

    Adapun bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah saw telah memerintah untuk membunuh kafir dzimi [bila mereka melakukan tindak spionase], namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah saw telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika para shahabat berkata, Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan, “Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Rasulullah saw mengutusku, juga Zubair, dan Miqdad bin al-Aswad. Rasulullah saw bersabda, “Pergilah sampai ke kebun Khakh, dan disana ada sekedup, dan di dalamnya ada wanita yang membawa surat, maka ambillah surat itu. Kemudian kami berangkat dengan menaiki kuda, hingga sampailah kami di kebun itu, kami menjumpai sekedup. Kami berkata, “Keluarkan suratnya!” Wanita itu menjawab, “Saya tidak memiliki surat.” Kami berkata, “Sungguh, engkau keluarkan suratnya, atau kami akan singkap baju kamu!” Kemudian wanita itu mengeluarkan surat itu dari gelung rambutnya. Kemudian kami memberikan surat itu kepada Rasulullah saw. Ketika di dalamnya tertulis, “Dari Hathib bin Abiy Balta’ah kepada penduduk Mekah. Dan ia mengabarkan sebagian perintah Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata, “Apa ini, wahai Hathib?” Hathib berkata, “Jangan tergesa-gesa terhadapku, Wahai Rasulullah!” Sesungguhnya aku [berbuat semacam ini] untuk keluargaku di Mekah. Sedangkan orang-orang yang bersama anda, yakni orang-orang Muhajirin mereka memiliki kerabat dekat di Mekah yang bisa melindungi keluarga dan hartanya, sedangkan aku tidak. Maka aku melakukan hal ini, agar mereka bisa melindungi kerabatku di Mekah. Aku tidak melakukan ini untuk kekafiran, dan aku tidak murtad, dan aku tidak ridlo dengan kekafiran setelah Islam. Rasulullah saw bersabda, “Benarlah engkau!”  ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini!” Rasulullah saw bersabda, “Dia adalah orang yang ikut di perang Badar, dan engkau tidak mengetahui bahwa Allah telah memuliakan ahli badar, kemudian beliau saw bersabda, “Kerjakan, apa yang engkau kehendaki, kalian telah aku maafkan!”

Hadits ini menceritakan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah telah memata-matai kaum muslimin, dan Rasulullah saw tidak membunuhnya. Ini menunjukkan, bahwa bila seorang muslim melakukan tindak tajassus(memata-matai), maka ia tidak dijatuhi sanksi bunuh. Tidak bisa dikatakan, bahwa hadits ini hanya khusus untuk ahli Badar, sebab ‘illat penafian hukuman bunuh bagi Hathib bin Abi Balta’ah, karena ia adalah ahli Badar. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab walaupun nash ini berfaedah pada ta’lil (‘illat), dan walaupun redaksi nash tersebut menunjukkan bahwa riwayat tersebut mengandung ‘illat, akan tetapi, hadits riwayat Imam Ahmad dari Furat bin Hayyan – di mana hukuman bunuh telah dibatalkan kepadanya karena ia masuk Islam; dan sebelumnya ia seorang kafir dzimmiy - telah menafikan ‘illat pada hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Riwayat Imam Ahmad ini  sekaligus telah menempatkan “‘illat” pada hadits riwayat Bukhari tersebut, sebagai sifat dari sebuah fakta saja –bukan sebagai ‘illat-, sebab, Furat bin Hayyan bukanlah ahli Badar.

Tidak bisa dikatakan juga, bahwa hadits Furat bin Hayyan, menurut Abu Dawud, dalam isnadnya terdapat Abu Himaam al-Dalaaliy Mohammad bin Mujib. Orang ini haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Selain itu, Imam Ahmad meriwayatkan hadits itu dari jalan Sofyan al-Tsauriy. Tidak bisa dikatakan seperti itu, sebab, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al-Bashariy, dan dia termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadits ini sah sebagai dalil.

Walhasil,  riwayat Imam Ahmad tersebut di atas bisa digunakan sebagai dalil, bahwa sanksi atas seorang muslim yang melakukan tindak tajassus (memata-matai), tidaklah dibunuh. Namun, ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh khalifah maupun qadhi.

Aktivitas tajassus (memata-matai) yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah sanksi ta’ziiriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadhi. [Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 218.]

Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam