Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 05 Januari 2013

Hukum Spionase Hukum Memata-matai Menurut Syariat Islam

Hukum Spionase Hukum Memata-matai Menurut Syariat Islam



HUKUM TAJASSUS (memata-matai)

    Hukum tajassus (memata-matai) bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang dimata-matai [Ibid, hal.212]. Al-Quran melarang dengan tegas aktivitas tajassus (memata-matai) yang ditujukan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, artinya;
    ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12].

    Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan  al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu” [dengan ha’ bukan dengan jim]. Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya [tajassasuu dan tahassasuu] tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka [membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu]. Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia.Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. [lihat Tafsir Qurthubiy, surat 49:12.]

Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui aurat (saudara)nya, setelah Allah swt menutupnya [auratnya].”

    Dalam sunnah, Nabi saw bersabda, “..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan….”[Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat 49:12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].

    Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas]

Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia.  Rasulullah saw bersabda, artinya,“Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy dalam shahih al-Tirmidziy].

    Rasulullah saw juga bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].

    Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].

    Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]

    Hadits-hadits di atas merupakan larangan yang tegas terhadap aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraan orang lain. Padahal, aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Oleh karena itu tidak ragu lagi, bahwa aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.

    Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang [electronic surveillance].

Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.” [HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; lihat pula, Abu Ameenah Bilal Philips, Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah [Elyasa’ Bahalwan (pentj)], 1990, Andalus Press, Surabaya; hal.150-151.]

Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang [diharamkan] memata-matai mereka. [Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.] Adapun memata-matai kafir harbiy [kafir yang harus diperangi], baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara [Daulah Khilafah], baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di negaranya sendiri.

Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada  ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy [dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh). Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz.

    Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak ada artinya sama sekali untuk membangun hukum syara’.

Seorang muslim diwajibkan untuk hanya bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah swt, bukan bertahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu  mengikuti hawa nafsu…”[al-Maidah”48]

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.” [al-Maidah:45]

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, bukan mashlahat. Bahkan, mashlahat hakiki baru akan tercapai bila kaum muslimin menerapkan hukum syara’. Allah swt berfirman, artinya,
Dan tiadalah kamu [Mohammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” [al-Anbiyaa’:107].

“Dan Kami telah menurunkan kepada kamu [Mohammad] al-Kitab, untuk menjelaskan segala sesuatu”.[al-Nahl:89].

Kedua ayat ini, bila dipahami akan menunjukkan dengan sharih (jelas), bahwa  Rasulullah saw diutus -dengan membawa al-Quran— untuk menjadi rahmat [membawa kemashlahatan] bagi seluruh manusia. Sehingga mashlahat hakiki hanya akan tercapai bila diterapkan aturan-aturan yang dibawa oleh Rasulullah saw di muka bumi ini.

Selain itu, surat al-Hujurat:12, dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman melakukan aktivitas tajassus (spionase). Sebab dalam ayat tersebut disebutkan, “wa laa tajassasuu” [dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..”]. Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus (memata-matai), kecuali ada dalil syara’ yang mengkhususkan. Sedangkan mashlahat tidak bernilai sama sekali untuk mentakhshish (mengkhususkan) atau apapun namanya terhadap keumuman ayat ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dibolehkan dengan alasan mashlahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah terbukti kelemahannya. Oleh karena itu, aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara secara mutlak.

Sedangkan bolehnya seorang muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy hakiki, maupun kafir harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman pengertian surat Hujurat ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang menunjukkannya, yakni sunnah Rasul.

Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam