Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 04 Juni 2017

Ponpes Al Amien Miniatur Madinah Jadi Brand Baru



KH Amin Suradilaga, Pimpinan Ponpes Al-Amien Bojonggede:
Tujuh Dimensi Untuk Calon Khalifah

Setiap orang atau kelompok yang membawa bendera Islam saya dukung untuk menegakkan khilafah. Selama ini sudah banyak yang membawa dan mendukung bendera liberalis, komunis, nasionalis, materialistis, kapitalis di negeri mayoritas Muslim ini. Tetapi mengapa bendera Islam yang merupakan kebutuhan mendesak tidak diangkat benderanya? Saya sangat setuju berjuang menegakkan khilafah, karena itu kewajiban.

Namun ujian yang dulu dihadapi akan terulang lagi, ujiannya begitu berat, Rasulullah SAW dan para sahabat pada sabar, istiqamah. Kesabaran dan keistiqaamahan itulah yang jangan lupa dididikkan kepada generasi penerus kita, karena yang akan dihadapi itu semakin berat. Makanya untuk menyiapkan kader-kader calon khalifah dan aparatnya di masa datang, dari sekarang harus disiapkan generasi yang mengembangkan tujuh dimensi, yakni spiritual, emosional, intelektual, estetika, jasmani, sosial, dan finansial. []

Ponpes Al Amien Bojonggede, Bogor, Jawa Barat

Dari kejauhan KH Amin Suradilaga sudah tersenyum ketika melihat Media Umat datang. ”Wah tepat jam 2 siang," ujarnya, sambil menoleh ke jam tangannya. Media Umat datang sesuai jadwal yang disepakati. Ia mempersilakan masuk ke rumahnya yang sederhana; lantai masih belum keramik, kursi dan meja tamunya dari bambu.

Ia menyatakan sejak 2013 Yayasan Al-Amien Bojonggede mengeluarkan brand baru yakni Menuju Miniatur Madinah Al-Amien (Menuju MMA). Menurutnya, sekolah berbasis masjid ini mengembangkan tujuh dimensi manusia yaitu spiritual, emosional, intelektual, estetika, jasmani, sosial dan finansial.

Sebenarnya, sebelum ada brand itu, Al Amien sudah berupaya ke arah tersebut. Buktinya pimpinan pondok berulang kali menekankan kepada guru-guru, santri dan jamaah agar hanya taat pada syariat Islam saja (spiritual).

Meski kurikulum sekolahnya tidak mengacu pada Kementerian Agama ataupun Kementerian Pendidikan dan Budaya, tetapi ketika ikut ujian persamaan tidak ada yang gagal.Padahal, santri hanya belajar pelajaran yang mau diujian-nasionalkan pada tahun terakhir di setiap jenjang saja dengan belajar soal-soal UN. Dan ikut ujian di sekolah biasa yang sudah ada kerjasama. Hasilnya, kalau siswa sekolah tersebut nilai UN-nya 33 yang dari Al Amien sampai 42. Sehingga SMP tempat ujian persamaan santri di sini menjadi terkenal.

“Luar biasa, karena memang begitu hafal Al-Qur’an, otak itu ngikutin saja, satu buku pelajaran sekolah biasa hanya dibaca seminggu saja. Alhamdulillah, mereka langsung bisa jawab saat UN,” ungkapnya.

Pada 2011-2012, salah satu alumnus Al Amien yang meneruskan kuliah ke Universitas Pattimura mendapat penghargaan mahasiswa terbaik se-Maluku. “Waktu kerusuhan Maluku pada 2000, saya dikirimi 20 anak tidak dikenal. Salah satunya kini menjadi mahasiswa teladan di Maluku, namanya Diana," ujarnya.

Sedangkan lulusannya tidak sedikit yang terjun ke masyarakat dan menjadi dai, ada pula yang sempat kuliah dahulu ke Al Azhar Mesir dan kembali membina masyarakat dengan hukum-hukum Islam (sosial).

Kalau jasmani jangan ditanya, setiap sore santri berolahraga di lapang yang tersedia serta pada waktu-waktu tertentu outbound. Untuk melatih kemandirian secara finansial, santri pun diajari berkebun dan berternak, serta berdagang.

Sejarah

Untuk menguji mental, pada 1985 Amin Suradilaga yang lulusan Pesantren Pabelan, Muntilan Magelang merantau ke Jakarta. Ketika melihat air menggenang di selokan mess perwira Angkatan Darat Yon Zikon di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jaksel, dengan spontan ia bersihkan dan lancarkan. Tiba-tiba keluarlah salah seorang istri tentara dari dalam rumahnya menghampiri Amin muda.
”Mengapa got saya dibersihkan?” tanya ibu itu.
”Tidak boleh Bu?” Amin balik bertanya.
”Bukannya tidak boleh, tetapi orang seperti Mas ini Iangka,” jawabnya. Setelah selesai membersihan got ia dipanggil ke rumahnya ngobrol-ngobrol lalu diberi orson, kopi, kue kaleng dan lain sebagainya.

Setelah tahu Amin lulusan pesantren, maka ia diminta tinggal di mess untuk mengajari anak-anak karang taruna mengaji. Lama kelamaan para tentaranya juga minta diajari ngaji. Akhirnya, ada barak dijadikan masjid. Karena makanan yang didapatnya selalu berlimpah, maka Amin pun memungut anak telantar yang suka nyemir sepatu.

“Saya pun ditegur oleh Pak RW yang juga tentara, “Ini anak siapa?” setelah saya jelaskan bukannya marah dia malah nitipkan anak telantar lainnya, sehingga dalam sembilan bulan saya diamanahi 20 anak telantar, yatim dan dhuafa," kenang Kyai Amin kepada Media Umat.

Masuk tahun 1990, ada informasi Pangdam melarang mess difungsikan sebagai penampungan anak telantar. Maka iapun mencari tempat ke Pasar Minggu, Depok dan sekitarnya, karena tidak ada tempat yang gratis akhirnya ia berhenti di bawah pohon di pinggir jalan Lenteng Agung menangis dan berdoa, ”Ya Allah bagaimana nasib anak-anak saya yang 20 orang ini. Mau di kemanakan mereka..."

Tak lama kemudian, ia dihampiri kenalannya yang tukang ojek mengajaknya ke Bojonggede untuk melihat tanah yang mau dijual, Amin hanya melihat saja karena memang tidak ada uang untuk membeli. Di hari hari berikutnya yang punya tanah mengejarnya ke mess perwira sampai tiga kali.

Jawabannya sama, "Saya tidak akan beli tanah." Hanya saja yang ketiga kalinya si penjual tanah bertanya lagi. "lni anak-anak siapa? Kok banyak sekali?"

Setelah dia tahu mereka adalah anak-anak telantar lalu si pemilik tanah bilang, "Kalau begitu saya yakin tanah saya ini akan menjadi milik Anda.” Amin mengira mau diwakafkan tetapi tetap saja mau dijual. Lalu Amin disarankan si penjual untuk berdoa dan pamit kepada seluruh tetangga bahwa dirinya mau pindah ke Bojonggede dan mendirikan pesantren.

”Benar saja ketika pamit dapat Rp5 juta sehingga bisa membayar uang muka tanah seluas 3000 meter persegi,” ujarnya sambil menunjuk tanah yang ditempatinya sekarang ini.

Ketika pindah ke Bojonggede lalu membikin bedeng untuk tinggal semuanya, putra dan putri terpisah. Belajar dan shalat berjamaah di alam terbuka, barulah tahun ketujuh mulai membangun masjid, wakaf dari Irianto atas nama keluarganya yang jadi TNI maupun yang kontraktor. Lalu ia diajak bersilaturahim ke rumahnya.

"Lho lokasinya apalagi pohonnya saya kenal sekali, ternyata itu pohon tempat saya berdoa dan menangis dulu! Ternyata orang yang wakaf masjid, rumah tepat di depan pohon. Subhanallah," kenangnya.

Sejak itu, bantuan terus mengalir, dari berbagai pihak termasuk juga dari kalangan tentara. Uniknya, meski sudah delapan atau sembilan tahun berdiri belum ada nama. Makanya, ketika Jenderal Wiranto datanq dan bertanya apa nama pesantrennya, Amin kebingungan. Kemudian Panglima TNI kala itupun menamai pesantren tersebut dengan nama Al Amien.

”Al Amien itu adalah gelar Rasulullah SAW karena kejujuran dan keamanahannya. Jadi bukan nama depan saya, kebetulan saja sama. Itu juga setelah ditanya oleh Pak Wiranto pada 1998 atau 1999, “apa nama pesantrennya?” Saya jawab belum ada. “Ya sudah Al Amien saja!” ungkapnya.

Pesantrennya terus berkembang hingga saat ini lahan yang dimiliki sekitar 8.000 meter persegi; masjid (kapasitas 500 jamaah); gedung sekolah 14 kelas; asrama putra dan putri; laboratorium komputer; dapur umum; kamar mandi dan sarana MCK; lapangan olahraga; koperasi santri; lahan pertanian, peternakan (kandang) dan kolam perikanan; serta lokasi outbound (sungai, kebun, dll) dan sekitar 43 ustadz-ustadzah untuk membina sekitar 300 santri laki laki dan wanita. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 147, Maret-April 2015
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam