Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Januari 2013

Bid’ah-bid’ah Dalam Penyelenggaraan Jenazah

Bid’ah-bid’ah Dalam Penyelenggaraan Jenazah



Larangan Mengambil Budaya Di Luar Islam; Bid’ah-bid’ah Dalam Penyelenggaraan Jenazah

    Menyelenggarakan jenazah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Seorang muslim wajib tunduk dan patuh terhadap ketetapan Allah dan RasulNya, yang berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan jenazah. Haram hukumnya, mereka mengambil tatacara peribadatan lain, semisal, tata cara dari agama lain (Kristen, Budha, Hindu, dll), ataupun tatacara yang telah ditetapkan oleh adat-istiadat yang tidak bersumber dari al-Quran dan Sunnah.

    Ibadah merupakan hal yang bersifat tauqifiy. Seorang muslim diperintahkan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah swt. Ia diharamkan meniru ritual agama lain, ataupun adat-istiadat nenek moyang yang bertentangan dengan syari’at Allah swt. Demikian pula dalam hal menyelenggarakan jenazah; seorang muslim wajib terikat dengan aturan-aturan Allah yang mengatur masalah ini. Ia dilarang menjalankan aktivitas yang tidak  didasarkan pada al-Quran dan Sunnah.

Di bawah ini beberapa bid’ah yang berhubungan dengan jenazah.

Bid’ah Sebelum Wafat

  1. Meletakkan Mushhaf  (al-Quran) di sisi kepala orang yang akan mati.
  2. Membaca surat Yasin terhadap orang yang akan mati
  3. Menghadapkan orang yang akan mati itu, ke arah kiblat.
  4. Menalqin dengan pengakuan kepada Nabi saw dan para Imam Ahli Bait, dll.

Bid’ah Setelah Wafat

  1. Mengeluarkan orang yang sedang haid, orang yang sedang nifas dan junub
  2. Menyakini bahwa roh mayat berkeliling di sekitar tempat kematiannya
  3. Merobek pakaian terhadap ayah dan ibunya, dll.

Masih cukup banyak bid’ah tentang penyelenggaraan mayat yang harus dihindari oleh seorang muslim. Siapa saja yang melakukan aktivitas bid’ah, sungguh ia akan mendapat adzab yang keras di sisi Allah swt.

Bid’ah-bid’ah Dalam Penyelenggaraan Jenazah - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Perlakuan Terhadap Orang Yang Meninggal /Mayat

Perlakuan Terhadap Orang Yang Meninggal /Mayat



Bila tanda-tanda kematian telah tampak pada diri seseorang, maka berlakulah kepadanya hukum-hukum tentang kematian. Kewajiban, seorang muslim terhadap orang yang telah meninggal adalah sebagai berikut;

  1. Menutup kedua matanya
  2. Mengatupkan mulutnya
  3. Melemaskan persendiannya kira-kira satu jam setelah wafat
  4. Meletakkan sesuatu di atas perutnya agar tidak mengembung
  5. Menutup jasadnya sebelum dimulai penyelenggaraan jenazah
  6. Menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya. Berdasarkan hadits Rasulullah saw,

Segerakanlah penyelenggaraan jenazah! Apabila ia seorang yang shalih maka kamu telah menyegerakannya menuju kebaikan, apabila ia seorang yang jahat maka kamu mengusung sesuatu yang paling buruk di pundakmu.” [HR. Bukhari & Muslim]

  1. Menyegerakan pelunasan hutang-hutangnya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah ra,

Jiwa seorang mukmin tergadai dengan hutang-hutangnya, tidak akan bebas hingga dilunasinya.” [HR. Tirmidzi]

Perlakuan Terhadap Orang Yang Meninggal /Mayat - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Apa Arti Kematian Secara Bahasa Definisi Mati

Apa Arti Kematian Secara Bahasa Definisi Mati



KEMATIAN DAN DEFINISINYA

    Allah swt telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan. Allah swt juga memulyakan manusia dengan memberikan kepada mereka berbagai kelebihan. Bahkan, Allah juga menetapkan aturan-aturan tertentu untuk menjaga kemuliaan dan martabat manusia. Tidak hanya bagi mereka yang masih hidup, bagi mereka yang telah meninggal, Islam pun mengatur hukum-hukum khusus untuk menjaga kehormatan si mayat.

Islam telah melarang dengan larangan yang sangat keras, bagi siapapun yang memecah tulang mayat, mencincang, atau menelantarkan mayat. Bahkan tidak cukup itu saja, Islam telah memberikan ketentuan yang sangat jelas, bagaimana tata cara menyelenggarakan mayat; mulai perlakuan terhadap orang yang baru meninggal, memandikannya, mengkafaninya, hingga menguburkannya. Selain itu, Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu baik yang berkaitan dengan keyakinan seputar mayat, maupun hukum-hukum praktis mengenai penyelenggaraan mayat. Dengan hukum-hukum itu, maka kehormatan dan kemuliaan mayat bisa terjaga.

Kematian

    Al-Quran telah menggambarkan kematian dengan berbagai macam bentuknya di dalam 164 ayat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah; [QS Ali-Imron;[3]:185]; [21:35]; [29:57]; [39:30];[50:19]; [56:83-85]; [62:8];[75:26-30]; [102:2].

Kematian juga banyak disebut di dalam sunnah. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, artinya,

“Perbanyaklah mengingat ‘pemutus segala kelezatan‘” [HR. Tirmidzi].

Pemutus segala kelezatan adalah kematian. Sabda Rasulullah saw, ”Perbanyaklah mengingat ‘pemutus segala kelezatan ‘ merupakan untaian tutur kata yang sangat padat, ringkas, dan penuh dengan pelajaran yang sangat berharga. Sebab, setiap orang yang banyak mengingat kematian, pasti tidak akan mencintai keindahan dan kelezatan dunia secara membabi buta. Ia juga akan berhenti berkhayal dan berangan-angan tentang keindahan dan kelezatan dunia fana. Dalam riwayat lain disebutkan; dari Abu Hurairah ra, ia berkata,

“Pada suatu saat Rasulullah saw menziarahi makam ibunya. Ketika itu beliau menangis. Para shahabatpun ikut menangis, kemudian beliau bersabda, “Saya memohon ijin kepada Rabbku, agar Ia mengampuni ibuku, akan tetapi Ia tidak memberikan ijin kepadaku. Lalu, aku memohon ijin agar aku bisa menziarahi kuburnya, kemudian Ia memberikan ijin kepadaku. Maka berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur itu bisa mengingatkan kepada kematian.” [HR. Muslim]

Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,

Saya telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur itu bisa menciptakan zuhud di dunia, dan mengingatkan kepada kematian.” [HR. Muslim, Juz III/hal/165; dan VI/hal.82; Abu Dawud Juz II/hal/172, dan al-Nasaaiy serta al-Baihaqiy].

    Dalam riwayat lain , Rasulullah saw bersabda,

Seorang yang bijaksana [al-kais] ialah orang yang mengoreksi dirinya [daana] dan segera beramal untuk bekal akherat. Dan orang yang hina adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di samping itu ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah swt.” [HR. Tirmidzi dalam Kitab al-Qiyamah]

Kata daana;mengoreksi; ada juga yang mengartikan merendahkan diri. Abu Ubaid berkata, daana nafsahu artinya adalah merendahkan dan menundukkan dirinya – seperti dalam kalimat dintuhu-adiinuhu; apabila merendahkannya yaitu menundukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah dan segera beramal sebagai bekal menuju akherat, dan sebagai bekal bertemu Allah swt; demikian juga mengoreksi diri atas kekurangan-kekurangan selama hayatnya, serta bersiap sedia menerima segala keputusan dengan beramal shaleh, dan segera bertaubat atas dosa-dosa masa lalu.

Kata “al-kais” bermakna, orang-orang yang berakal lagi bijaksana. Sedangkan kata al-‘ajz adalah lawan dari bijaksana; yaitu orang yang menyia-nyiakan urusannya dan melalaikan berbuat taat kepada Allah swt, serta memperturutkan hawa nafsunya. Di samping itu, ia masih saja suka berkhayal mendapatkan ampunan dari Allah swt. Dirinya telah lupa bahwa Allah telah menurunkan perintah dan larangan kepadanya. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sebagian orang ada yang dilalaikan dengan angan-angan hingga ia meninggalkan dunia tanpa membawa kebaikan sedikitpun.” …..

Definisi Kematian

    Secara bahasa kematian [al-maut] adalah dlidd al-hayaah [lawan dari kehidupan]. [Lihat Syaikh Imam Mohammad bin ‘Abi Bakr al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, huruf mim; lihat pula Imam Ibnu Mandzur; Lisaan al-‘Arab, huruf mim]

Menurut para ‘ulama,kematian adalah terputus, terpisah,  bercerai, berubah kondisi, serta berpindah dari suatu alam ke alam lain [dunia ke akherat]. [lihat, ‘Abdurrahman bin ‘Abd al-Ghaits; al-Wijaazah fii Tajhiiz al-Janazah].

‘Ali al-Shabuniy dalam Tafsir Shafwaat al-Tafaasiir, juz III, hal.415, menyatakan; al-maut (kematian) adalah terputusnya ikatan ruh dengan badan (jasad) dan terpisahnya ruh dari jasad [inqithaa’ ta’alluq al-ruuh bi al-badan, wa mufaariqatihaa]. Sebagian ‘ulama menyatakan, “Kematian bukanlah kebinasaan dan terputusnya dengan kehidupan secara menyeluruh; akan tetapi kematian hanyalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, orang yang mati bisa melihat dan mendengar (merasakan) sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits shahih,

Jika di antara kalian berdiam di dalam kubur, kemudian saudara-saudaranya telah meninggalkan kubur, maka sungguh ia bisa mendengar suara sandal mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mengalami kematian ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah swt. Allah swt berfirman, artinya,

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditetapkan.” [QS al-Zumar:42]

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya,

Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”

Namun demikian, tak seorangpun mengetahui hakekat jiwa dan ruh, kecuali Allah swt. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah swt. Semua ini termasuk hal-hal ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang bisa diamati hanyalah pengaruh dari fenomena tersebut di dalam tubuh manusia, yaitu berupa tanda-tanda fisik yang menunjukkan terjadinya kematian.

Meskipun ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan (kematian) adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi, ayat dan hadits tersebut tidak menerangkan titik waktu kapan terjadinya kematian; pencabutan, penahanan jiwa dan berhentinya kehidupan. Keterangan dari hadits hanya menunjukkan bahwa jika ruh dicabut, akan diikuti dengan pandangan mata, sebagaimana hadits di atas. Dalam hadits lain juga disebutkan, artinya,

Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” [HR. Ahmad dari Syadad bin Aus ra]

Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan, memerlukan penelaahan terhadap manath (fakta yang menjadi penerapan hukum) pada seseorang yang hendak ditetapkan, apakah ia telah mati, atau telah terhenti kehidupannya. Penelaahan semacam ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan. Masalah ini sangat penting, mengingat penetapan kematian seseorang akan berimplikasi secara signifikan terhadap hukum-hukum Islam yang lain; semisal waris, wasiat, qishash, dan lain-lain.

Dahulu, orang menyangka bahwa kematian seseorang akan terdeteksi dengan berhentinya jantung. Namun pendapat itu telah dibantah dengan kenyataan empiris serta uji medis. Ternyata, terhentinya jantung bukanlah indikasi kematian bagi seseorang. Bahkan, betapa banyak orang yang jantungnya sudah berhenti, akan tetapi ia belum mengalami kematian.

Kalangan scientis, terutama praktisi-praktisi medis, kini menyatakan bahwa kematian ‘batang otak’ merupakan indikator untuk menetapkan kematian seseorang. Batang otak adalah, semacam tangkai pada orang yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebelah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin-menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak. [lihat, ‘Abdul Qadim Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam, Penerbit al-‘Izzah, Pasuruan, hal. 74]

Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir. Sebab, matinya otak dan kulit/ tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, maka matilah manusia, dan berakhirlah kehidupan manusia secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bisa bernafas seperti biasa, dan organ-organ lainnya masih berfungsi. Kadang-kadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, semisal bila ada pukulan secara langsung pada otak, atau gegar otak, ataupun terjadi pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti, dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.

Namun ada kejadian medis yang membantah asumsi di atas. Telah diberitakan, ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita tersebut koma, karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Anehnya, ia baru mengalami kematian setelah dua hari ia melahirkan anaknya. Pada saat koma, ia bernafas dengan alat pernafasan bantuan, diberi nutrisi lewat tabung, dan darahnya diganti setiap minggu selama 10 minggu. Bayi yang ia lahirkan dalam keadaan sehat dan normal. [lihat, ibid, hal. 74]

Para fuqaha tidak menetapkan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian pada diri seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang yang bisa dijadikan bukti adanya kematian, di antaranya; nafas terhenti, mulut terbuka, mata terbelalak dan pandangannya hampa, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas; rahang bawahnya melamah seiring dengan melemahnya seluruh anggota tubuh, denyut jantungnya berhenti, jasadnya dingin dan kaku, betis dan kanan dan kirinya bertautan. [untuk tanda ini, didasarkan pada firman Allah swt, artinya, “Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan)” [QS al-Qiyamah:29]

Lalu, mana yang harus kita jadikan pegangan untuk menetapkan kematian seseorang? Pendapat ahli medis, ataukah pendapat para fuqaha? Kami berpendapat, sesuatu yang memerlukan kepastian tidak bisa ditetapkan dengan jalan keraguan. Oleh karena itu, pendapat para fuqaha adalah pendapat yang mesti kita jadikan sebagai pegangan untuk menetapkan titik kematian seseorang.

Apa Arti Kematian Secara Bahasa Definisi Mati - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Pengertian Kaidah Syar’iyah Definisi Arti

Pengertian Kaidah Syar’iyah Definisi Arti



    Kaidah Syar'iyyah adalah hukum syar'iyyah yang diistinbathkan dari dalil syara' yang terperinci. Kaidah syara' berbeda dengan dalil syara'. Dalil syara' adalah al-kitab, sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas. Dari kaidah syar'iyah diperoleh hukum syara' yang bersifat juz-'iyyah. Akan tetapi, baik kaidah syar'iyah maupun hukum syara' harus selalu disandarkan kepada sumber tasyri'iyyah yang diakui (dalil).

Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap sebagai kaidah syara' kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya. Misalnya, kaidah "Al-wasiilat ila al-haraam muharramah" (wasilah menuju keharaman adalah diharamkan), atau kaidah "Kullu syai' mu'ayyan yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam" (segala sesuatu yang mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram). Ini adalah kaidah syar'iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara' yang bersifat juz'i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara'. Untuk memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah tersebut. Kaidah "Al-ashl fi al-asyya' ibaahah" (Asal dari segala sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan hukum syara' dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini. Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan manusia. Allah swt berfirman :

    "Dialah Allah, yang menciptakan bagi apa-apa yang ada di permukaan bumi seluruhnya" (QS Al-Baqarah : 29)

    "Telah dihamparkan (diberikan) bagi kamu apa-apa yang ada di langit dan di muka bumi" (QS Luqman : 20)

    Walhasil, manath (sandaran hukum) kaidah ini adalah benda, bukan perbuatan. Langit, bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, yakni laut, sungai, barang tambang, tumbuhan, hewan dan sebagainya telah diciptakan al-Khaliq untuk kita. Kesemuanya adalah mubah, kecuali yang diharamkan oleh Allah (al-syaari' al-haakim). Atas dasar itu lahirlah kaedah :

    "Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah ma lam yarid dalil al-tahriim" (Asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan)

    Kaidah syar'iyyah biasanya bersifat umum dan mengandung lafadz-lafadz umum atau kulliyah (menyeluruh)

Pengertian Kaidah Syar’iyah Definisi Arti - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Hukum Poligami Mubah Boleh

Hukum Poligami Mubah Boleh



Tidak Ada ‘Illat dalam Poligami      

    Bolehnya melakukan praktek poligami juga tidak didasarkan pada ‘illat tertentu. Sebab, nash-nash yang membolehkan poligami sama sekali tidak mengandung ‘illat (alasan hukum) secara mutlak. Ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam firman Allah swt, artinya:

    “Kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat….” [QS al-Nisaa’:3]

    Atas dasar itu, kita tidak boleh menyatakan bahwa bolehnya poligami dikarenakan ‘illat-‘illat tertentu, misalnya untuk menolong para janda, maupun korban-korban perang. Bahkan ada yang menyatakan bahwa, ‘illat bolehnya poligami karena adanya janda-janda yang jumlahnya sangat banyak akibat korban perang. Jika janda-janda ini tidak ada lagi, maka hukum bolehnya poligami tidak berlaku lagi. Ada juga yang beranggapan bahwa ‘illat bolehnya melakukan poligami adalah untuk menjaga diri dari tindak kemaksiyatan, berzina misalnya. Akibatnya, jika dengan satu isteri orang bisa menahan dirinya dari tindak maksiyat maka ia tidak boleh melakukan poligami. Sebab, ‘illat itu beredar sesuai dengan apa yang di’illati (al-‘illat taduuru ma’a ma’luul wujuudan wa ‘adaman).

    Pada dasarnya, ‘illat-illat tersebut di atas sama sekali tidak didasarkan pada nash-nash syara’. Padahal, ‘illat yang absah dijadikan sebagai dalil hukum adalah ‘illat yang syar’iyyah. ‘Illat Syar’iyyah adalah ‘illat yang terkandung di dalam nash-nash al-Quran dan bisa digali dari nash-nash al-Quran dan sunnah. Sedangkan ‘illat ‘aqliyyah sama sekali tidak bernilai untuk menetapkan hukum syari’at.

Kebolehan berpoligami bersifat mutlak, tanpa memandang apakah ia mampu menjaga dirinya dari maksiyat atau tidak, ada janda perang ataupun tidak, maupun karena sebab-sebab yang lainnya.

Namun demikian, jika dilihat sebagai bagian dari solusi atas problematika manusia, maka poligami adalah salah satu solusi atas berbagai macam problem yang menimpa manusia. Menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, problem-problem yang bisa dipecahkan melalui poligami adalah problem-problem berikut ini:

1. Adanya tabiat pada sebagian laki-laki yang tidak puas hanya dengan seorang isteri. Bila ia menyalurkan hasrat biologisnya hanya kepada satu isterinya saja, tentu hal ini akan berakibat buruk bagi dirinya dan juga isterinya. Namun, bila ada jalan keluar bagi dirinya, yakni diperbolehkannya poligami, maka laki-laki itu bisa melangsungkan pernikahan dengan wanita-wanita lain yang ia sukai. Sebaliknya, jika di hadapannya tidak ada jalan keluar, yakni ada larangan berpoligami, tentunya larangan ini akan berdampak buruk bagi laki-laki tersebut dan juga masyarakat. Praktek perzinaan akan tersebar luas, dan anggota keluarga akan saling curiga satu dengan yang lainnya. Atas dasar itu, bagi orang-orang yang memiliki tabiat semacam ini – tidak puas hanya dengan satu isteri — harus mendapatkan pemecahan yang menjadikan dirinya bisa memenuhi kebutuhan biologisnya yang menggebu, atau bisa menyalurkannya pada perbuatan-perbuatan yang dihalalkan oleh Allah swt (menikah lagi).

2. Wanita-wanita mandul yang tidak bisa melahirkan anak, namun ia sangat mencintai dan menyayangi suaminya, demikian pula sebaliknya. Cinta dan kasih sayang di antara keduanya mampu mendorong mereka untuk tetap mempertahankan kehidupan rumah tangga dengan penuh ketenangan dan kesejukan. Akan tetapi, sang suami sangat menginginkan seorang anak yang benar-benar lahir dari darah dan dagingnya. Tentunya, jika dalam kondisi semacam ini sang suami dilarang melakukan poligami, keinginannya akan terpupus, sehingga ia akan menderita dan merana. Hal semacam ini akan berakibat fatal bagi kehidupan keluarganya. Pada titik tertentu ia akan menceraikan isterinya, sekedar untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Pilar keluarga yang telah mereka bangun menjadi hancur berantakan. Bahkan, larangan poligami pada suami-suami yang menginginkan anak dari darah dagingnya sendiri akan mengebiri naluri kebapakannya. Oleh karena itu, suami yang menghadapi masalah seperti ini harus mendapatkan jalan keluar, yaitu dengan memperbolehkan dirinya melakukan poligami, agar ia mendapatkan keturunan yang didambakannya.

3. Terjadinya banyak pergolakan dan peperangan yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban di pihak laki-laki. Suatu wilayah atau negara yang sering terjadi pertikaian dan peperangan tentu akan berdampak pada menurunnya jumlah laki-laki dan meningkatnya jumlah janda. Selain itu adanya peperangan dan pertikaian juga akan berdampak pada tidak seimbangnya rasio jumlah laki-laki dan wanita. Dalam kondisi semacam ini, poligami merupakan salah satu solusi untuk memecahkan problem banyaknya janda akibat peperangan dan pertikaian, sekaligus rasio jumlah wanita dan laki-laki yang tidak seimbang. Seandainya, poligami dilarang, tentu akan banyak janda dan wanita dewasa yang tidak bisa lagi mengenyam kebahagiaan dan ketenangan hidup berumah tangga. Akibatnya, banyak wanita kehilangan kesempatan untuk merefleksikan fithrahnya sebagai seorang wanita. Atas dasar itu, dalam kondisi semacam ini pelarangan poligami justru akan berdampak buruk bagi kehidupan wanita itu sendiri.

4. Rasio pertambahan jumlah wanita biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan jumlah laki-laki. Di daerah-daerah yang jumlah pertambahan wanita [akibat kelahiran] tinggi, tentu membutuhkan solusi tersendiri agar wanita-wanita yang tidak memiliki kesempatan menikah dengan seorang laki-laki bisa merasakan juga manisnya kehidupan rumah tangga. Jika demikian, poligami merupakan solusi agar wanita-wanita yang tidak “kebagian” laki-laki bisa tetap merasakan nikmatnya hidup berumah tangga. Atas dasar itu, poligami bisa dianggap sebagai solusi atas realitas-realitas tersebut di atas.

Namun demikian, kebolehan poligami tidak boleh dikaitkan dengan adanya kondisi-kondisi di atas. Sebab, kebolehan poligami ditentukan berdasarkan nash-nash yang sharih. Dengan kata lain, boleh atau tidaknya melakukan poligami harus didasarkan pada nash-nash syara’, bukan dikarenakan sebab-sebab di atas. Kebolehan berpoligami berlaku mutlak, meskipun kondisi-kondisi di atas tidak terwujud dalam kenyataan.

Hukum Poligami Mubah Boleh - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam