Arti Dialog Antar Peradaban
Definisi Dialog (al-Hiwar) antar Peradaban
Manakala kita menyebutkan istilah dialog atau benturan, maka
maksudnya adalah, bahwa kaum Muslimin, diin mereka, serta peradaban
mereka di satu sisi; sedangkan kaum Nasrani dan agama mereka, serta kaum
kapitalis dan peradaban mereka ada pada sisi yang lain.
Adalah para pemimpin dan pemikir kapitalis yang acapkali
berusaha memisahkan Islam dari para pemeluknya, atau antara Islam dengan kaum
Muslimin. Mereka sering mengatakan bahwa Islam adalah agama yang besar, tetapi
kaum Muslimin adalah kaum yang terbelakang, bahkan beberapa di antaranya
merupakan teroris yang kejam.
Sesungguhnya mereka adalah para pendusta. Mereka menyatakan
Islam sebagai agama yang besar sehingga layak untuk mereka anut. Namun di lain
pihak mereka berupaya menipu sebagian kaum Muslimin serta berusaha meredam
kebencian kaum Muslimin, pada saat mereka menghujat segolongan Muslim yang taat, atau ketika
mereka berusaha menyebarluaskan konsep-konsep peradaban kufur mereka kepada
kaum Muslimin. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aqidah Islam tetap terpatri dalam
jiwa kaum Muslimin, bahkan mayoritas di antaranya masih memegang kuat aqidah
Islamiyah. Jadi, bila mereka menyatakan kedengkiannya terhadap Islam secara
terbuka, sama artinya mereka menghasut dan memprovokasi bangkitnya kaum
Muslimin. Oleh karena itu mereka menggunakan kata-kata yang lunak sebagai
senjata untuk membius kaum Muslimin dan memperdayakannya.
Sebagian kaum Muslimin menyantap umpan ini dan bersedia
berdialog dengan kaum Nasrani dan para kapitalis, yang didukung oleh para
intelektual yang menjadi agen-agen mereka. Mereka mengkonsentrasikan dialog ini
pada tiga hal utama. Pertama, persamaan antar agama dan peradaban dalam dialog,
tanpa adanya agama atau peradaban yang lebih unggul dan lebih baik daripada
yang lain. Kedua, bahwa dialog tersebut dibatasi hanya sebagai ajang untuk
mengetahui pendapat pihak lain, bukan dimaksudkan untuk menyanggah atau
membuktikan kesalahannya. Ketiga, dialog itu bertujuan menciptakan suatu
peradaban alternatif dengan cara mencari titik temu dan persamaan antara kedua
agama dan kedua peradaban.
Inilah makna dialog dalam pandangan mereka. Sedangkan
tujuannya – menurut mereka – adalah agar terjadi “interaksi yang produktif
antar budaya yang khas, untuk membentuk suatu peradaban alternatif yang unggul,
yang membuat suatu pihak dapat menerima pihak yang lain atas dasar landasan
yang sama.” (Dr. Milad Hana dalam suatu debat kultural yang diadakan di
Kairo pada hari Senin, 2/4/2001). Demikian juga, “Setiap peradaban harus
selalu berusaha mencari titik temu dan persamaan di antara mereka, dan segala
sesuatu yang bersifat manusiawi harus dikembangkan dan ditumbuh-suburkan,
sehingga perdamaian akan tersebar luas.” (Dr. Ja’far Abdussalam, Sekretaris
Jenderal Konferensi Universitas Islam).
Bahkan di antara mereka ada yang sampai menyatakan, “Islam
adalah agama interaksi dan agama kemajuan, dan bukan seperti kata mereka bahwa
Islam adalah agama masa lalu dan agama isolasi. Sebaliknya, masa keemasan Islam
dan kaum Muslimin terjadi ketika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban
lain di dunia; dan ketika Islam tersebar luas ke seluruh dunia, Islam mengambil
dan mempunyai ruang bagi seluruh warisan peradaban dunia dan berbagai peradaban
manusia lainnya, serta memberikan warisan dan peradabannya. Inilah masa
keemasan Negara Islam.” (pidato Dr. Qasim Jafar, pada suatu lingkar studi
tentang ‘Perang Pertama di Abad Ini’ pada stasiun TV Al-Jazeera, dengan
tajuk ‘Ledakan di Amerika: Menjadi Pendorong bagi Dialog atau Perang
Peradaban?’ tanggal 29/9/2001). Lebih lanjut ia mengatakan, “Adalah
tugas kita sebagai bangsa Arab dan kaum Muslimin untuk menjauhkan diri dari
masalah ini ... menjadi tugas kita untuk memiliki kepercayaan pada diri kita,
pada peradaban kita, dan pada sejarah dan peninggalan kita, sehingga dapat
tampil ke dunia pada posisi yang sama, bukan pada posisi sebagai pengekor ...”
Ada pula yang berkata, “Peradaban Islam dibangun atas
dasar landasan yang sama dengan peradaban-peradaban dunia lainnya, sehingga
Islam dapat menerima keberadaan peradaban lain, dan berinteraksi dengan jalan
saling memberi dan menerima.” (Amru Abdulkarim, seorang pengamat politik,
dalam situs IslamOnline.net). Ada pula yang berusaha menggunakan ayat-ayat
Kitab Suci Al Qur’an sebagai dalil untuk dialog antar peradaban. Ia berkata, “Dan
kitab suci kita, Al Qur’an, menekankan perlunya dialog dengan pihak lain, yakni
dialog dengan kaum musyrikin,
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah.” (QS At-Taubah: 6),
atau dialog dengan kaum kafir,
“Katakanlah, hai orang-orang kafir” (QS Al Kafirun:
1),
atau dialog dengan agama-agama yang ada dan diakui di dunia,
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada
yang kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan.” (QS Ali Imran: 64).
Dialog dalam posisi yang sama ... Saya memandang bahwa tidak
mungkin ada peperangan yang abadi, karena kita adalah kaum Muslimin. Saya
menukil sebuah ayat Al Qur’an,
“Marilah menuju suatu kalimat yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu.” (QS Ali Imran: 64).
Ayat ini bermakna bahwa tidak mustahil kita berdialog dengan
kaum Nasrani, kita berdialog dengan kaum Yahudi, dan kita berdialog dengan yang
lain. Mengapa? Karena ada kalimat yang sama di antara kita; kita tidak
berdialog untuk mencari kebenaran yang sepihak.” (Ata-Allah Muhajirani, Ketua Penasihat Dialog Antar
Peradaban dalam lingkar studi yang sama di stasiun TV Al-Jazeera).
Ada pula orang-orang yang menyerukan dialog antar agama untuk
mencari titik temu antara mereka, dan membiarkan perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Tujuannya hanya sekedar untuk membius kaum Muslimin dari kenyataan
adanya benturan. Mereka selalu menyeru kepada kaum Muslimin untuk menyebut diri
sebagai “anak-anak Ibrahim” dengan maksud untuk memperkuat keinginan melakukan
dialog antara tiga agama semata-mata atas dasar bahwa mereka sama-sama berasal
dari keturunan Nabi Ibrahim AS. Ada pula segolongan muslim yang selalu
menjadikan ayat Qur’an sebagai dalil bahwa semua Nabi beragama Islam,
sebagaimana firman-Nya melalui lisan Nabi Nuh,
“Dan aku diperintahkan supaya menjadi yang pertama-tama
Muslim.” (QS Az-Zumar: 12),
atau melalui lisan Nabi Ibrahim dan Ismail,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang Muslim (yang
tunduk dan patuh) kepada-Mu.” (QS Al Baqarah: 128),
atau tentang kisah kaum Nabi Luth,
“Dan kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah
rumah dari orang-orang Muslim.” (QS Adz-Dzariyaat: 36),
dan melalui lisan kaum hawariyyin (murid-murid Nabi
Isa),
“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang Muslim.” (QS Ali Imran: 52)
Barangkali ada juga orang-orang yang mengatakan bahwa kaum
Nasrani dan kaum Yahudi adalah orang-orang Muslim, dan ada juga yang mengatakan
bahwa penganut ketiga agama itu adalah ummat yang beriman (mukmin) sekalipun
dengan jelas ayat-ayat Al Qur’an menyatakan dengan gamblang bahwa kaum Yahudi
dan kaum Nasrani merupakan kaum kafir, seperti firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-rasulNya, dan bermaksud membedakan antara Allah dan rasul-rasulNya dengan
mengatakan bahwa ‘Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu) dan
kami ingkar terhadap sebagian yang lain’ serta bermaksud mengambil jalan lain
di antara yang demikian. Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.
Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir tersebut siksaan yang menghinakan.”
(QS An Nisa’: 150-151)
Dan juga firman-Nya,
“Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan
orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul
dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an).”
(QS Al Bayyinah: 1-2),
Demikian juga,
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari
ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.”
(QS Ali Imran: 98)
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik
tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
Allah menentukan siapa yang dikehendakinya (untuk diberi) rahmat-Nya. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar.” (QS Al Baqarah: 105)
Atau,
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,
padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?” (QS Ali Imran: 70)
Demikian pula,
“Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap
Maryam dengan kedustaan yang besar.” (QS An Nisa’: 156)
Demikian juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an,
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan
bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga.” (QS Al Ma’idah: 73)
Dan,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah
dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar. (Yaitu orang-orang)
yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At Taubah: 29)
Begitu juga ayat Al Qur’an,
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli
kitab dari rumah-rumah mereka pada saat pengusiran yang pertama.” (QS Al
Hasyr: 2)
Dengan demikian, maka sesungguhnya mereka tergolong
orang-orang yang kafir dan bukan termasuk orang-orang Muslim. Tidak
diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim. Secara lughawi, Islam
bermakna penyerahan diri (inqiyad), sedangkan menurut terminologi
syariah, Islam bermakna diin yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW. Kita diperbolehkan menyebut Islam dalam makna lughawi kepada
nabi-nabi terdahulu beserta orang-orang yang mengimani dan mengikutinya,
sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW serta sebelum mereka (kaumnya yang ingkar)
menyimpangkan kitab-kitabnya. Kita tidak diperbolehkan menyebut mereka (kaum
ahli kitab) dengan sebutan itu setelah misi Rasulullah Muhammad SAW. Jadi siapapun
yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW dan risalahnya adalah kafir, dan tidak
diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim atau mukmin. Allah SWT berfirman,
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al
Kitab dan orang-orang ummi, ‘Apakah kamu mau masuk Islam?’ Jika mereka masuk
Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,
maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat atas
hamba-hambanya.” (QS Ali Imran: 20).
Sedangan Rasulullah SAW bersabda,
“Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tangannya, tidak
seorangpun yang mendengar tentang aku dari kalangan ummat ini, Yahudi, dan
Nasrani, kemudian mati tanpa mengimani segala sesuatu yang aku sampaikan,
kecuali termasuk golongan penghuni neraka.”
Sedangkan Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Anas
tentang Caesar dari Romawi yang menulis surat kepada Rasulullah SAW dan
menyatakan, “Saya adalah seorang Muslim”. Maka setelah membaca surat itu,
Rasulullah berkata,
“Musuh Allah telah berdusta. Tidaklah ia menjadi seorang
muslim sementara ia tetap dalam kenasraniannya.”
Amir Mousa, Sekretaris Jenderal Liga Arab, menyatakan secara
gamblang bahwa ia tidak percaya bahwa ada peradaban yang lebih baik dari
peradaban lainnya. Dari pernyataan itu dapat ditarik pengertian bahwa peradaban
Islam tidak lebih baik dari peradaban kapitalis, Hindu, atau Yahudi. Ia
mengatakan, “Kami tidak percaya adanya peradaban yang lebih baik”, pada
saat ia menyanggah pernyataan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi.
Ada pula di antara mereka yang menggunakan dalil-dalil untuk
menerima pandangan pihak lain tanpa batasan dan syarat tertentu, serta tanpa
niatan untuk menyalahkannya. Dengan berlindung di balik ayat-ayat Qur’an dalam
surat Al Kahfi, mereka mengatakan, “Dialog antar agama merupakan suatu
sarana di mana seseorang yang menganut nilai-nilai, aturan-aturan, dan
keyakinan-keyakinan lama akan mengetahui nilai dan keyakinan agama yang
berbeda, sehingga ia mampu memahami dan memperoleh suatu pandangan filosofis
yang formal, tanpa bermaksud menghakimi pihak lain ... para pendukung dialog
antar agama selalu mengagungkan motto ‘niat yang tulus’. Dengan begitu, ia
membebaskan diri dari berbagai syarat dan tujuan, selain keinginan untuk
memahami agama lain dan memandangnya secara ilmiah ... Materi dialog pada
prinsipnya tidak berbeda dengan riwayat yang diceritakan dalam Kitab Suci Al
Qur’an pada surat Al Kahfi ayat 32 – 42 tentang dialog antara dua laki-laki.
Allah mengaruniakan kepada salah seorang di antara mereka – yang kafir – dua
kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon kurma, serta mengalir di
dalamnya sebuah sungai. Kedua kebun itu menghasilkan buah yang melimpah.
Demikianlah, Allah melebihkan harta dan keturunan salah seorang di antara
mereka. Riwayat tersebut mengungkapkan bahwa telah terjadi dialog antara dua
orang – seorang mukmin dan yang lain kafir – yang berlangsung tanpa batasan
atau syarat tertentu. Dengan riwayat tersebut, Al Qur’an menggambarkan secara
detil bagaimana yang mukmin tidak memutus dialog hanya karena lawan bicaranya
adalah orang kafir. Demikian pula Al Qur’an tidak berusaha menghindari
penyebutan istilah ‘kufur’, karena secara keseluruhan mereka berdua mampu
membangun dan merumuskan kaidah ilmiah tentang pribadi yang kafir kepada Allah
‘azza wa jalla ... Dialog antar agama berbeda dengan perbandingan agama atau
kompetisi agama, sekalipun konsep-konsep tersebut saling tumpang tindih dalam
literatur. Perbandingan agama merupakan ilmu pengetahuan di mana suatu agama
dibandingkan dengan agama lain dalam hal keimanan (aqidah), pengambilan hukum
dan ibadah ritual, pandangannya tentang manusia, alam semesta, serta kehidupan,
dan sebagainya, berdasarkan objektivitas dan menghindarkan berbagai prasangka.
Sementara itu, kompetisi agama adalah suatu proses yang bertujuan untuk
membuktikan keunggulan suatu agama dan memisahkan suatu agama dari agama lain;
suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh dialog antar agama yang
merupakan proses untuk saling memahami.” (Husam Tammam, peneliti dan
jurnalis dari Mesir, dalam IslamOnline.net, dengan judul ‘Dialog Antar
Agama: Suatu Kebutuhan atau Konspirasi Internasional’).
Kutipan-kutipan di atas perlu diketahui untuk memahami lebih
jauh maksud dan alasan di balik gagasan penyelenggaraan dialog antar agama,
serta pengertian istilah tersebut. Cara terbaik untuk memahami pengertian
dialog antar agama adalah dengan mengikuti pernyataan atau tulisan para
penganjurnya, karena makna lughawi istilah tersebut tidak berarti
apa-apa. Dari seluruh kutipan pernyataan di atas, kita dapat merumuskan makna
atau pengertian istilah dialog antar agama sebagai berikut.
Pertama, kesamaan dan
persamaan antar agama dan peradaban, serta tidak ada agama atau peradaban yang
lebih baik dibandingkan agama atau peradaban lainnya.
Kedua, menerima keberadaan
agama atau peradaban lain sebagaimana adanya, serta mengungkap konsep agama dan
peradaban lain tanpa mengarahkan berbagai prasangka dan tuduhan, namun dengan
tujuan agar saling memahami dan mengakui pandangan pihak lain tanpa batasan
atau syarat tertentu.
Ketiga, tujuan
dialog antar agama dan peradaban adalah interaksi untuk menciptakan suatu
peradaban alternatif yang unggul dengan cara mencari titik temu dan nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung dalam tiap agama atau peradaban. Hal ini akan
menciptakan kemajuan dan perkembangan peradaban, serta menyebarluaskan
perdamaian. Dengan kata lain, tujuan dialog antar agama adalah untuk mencegah
masuknya Islam dalam arena kompetisi antar peradaban.
Seluruh konsep di atas sangat bertentangan dengan Islam. Tak
satu pun di antara ketiga konsep itu yang mempunyai dalil atau syubhat dalil.
Seluruh konsep itu bukan berasal dari aqidah Islam, namun merupakan
penyimpangan (tamwih) dan penyesatan yang jelas-jelas membahayakan
Islam.
Arti Dialog Antar Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar