Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 07 Juni 2013

Arti Dialog Antar Peradaban

Arti Dialog Antar Peradaban




Definisi Dialog (al-Hiwar) antar Peradaban

Manakala kita menyebutkan istilah dialog atau benturan, maka maksudnya adalah, bahwa kaum Muslimin, diin mereka, serta peradaban mereka di satu sisi; sedangkan kaum Nasrani dan agama mereka, serta kaum kapitalis dan peradaban mereka ada pada sisi yang lain.
Adalah para pemimpin dan pemikir kapitalis yang acapkali berusaha memisahkan Islam dari para pemeluknya, atau antara Islam dengan kaum Muslimin. Mereka sering mengatakan bahwa Islam adalah agama yang besar, tetapi kaum Muslimin adalah kaum yang terbelakang, bahkan beberapa di antaranya merupakan teroris yang kejam.

Sesungguhnya mereka adalah para pendusta. Mereka menyatakan Islam sebagai agama yang besar sehingga layak untuk mereka anut. Namun di lain pihak mereka berupaya menipu sebagian kaum Muslimin serta berusaha meredam kebencian kaum Muslimin, pada saat mereka menghujat segolongan Muslim yang taat, atau ketika mereka berusaha menyebarluaskan konsep-konsep peradaban kufur mereka kepada kaum Muslimin. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aqidah Islam tetap terpatri dalam jiwa kaum Muslimin, bahkan mayoritas di antaranya masih memegang kuat aqidah Islamiyah. Jadi, bila mereka menyatakan kedengkiannya terhadap Islam secara terbuka, sama artinya mereka menghasut dan memprovokasi bangkitnya kaum Muslimin. Oleh karena itu mereka menggunakan kata-kata yang lunak sebagai senjata untuk membius kaum Muslimin dan memperdayakannya.

Sebagian kaum Muslimin menyantap umpan ini dan bersedia berdialog dengan kaum Nasrani dan para kapitalis, yang didukung oleh para intelektual yang menjadi agen-agen mereka. Mereka mengkonsentrasikan dialog ini pada tiga hal utama. Pertama, persamaan antar agama dan peradaban dalam dialog, tanpa adanya agama atau peradaban yang lebih unggul dan lebih baik daripada yang lain. Kedua, bahwa dialog tersebut dibatasi hanya sebagai ajang untuk mengetahui pendapat pihak lain, bukan dimaksudkan untuk menyanggah atau membuktikan kesalahannya. Ketiga, dialog itu bertujuan menciptakan suatu peradaban alternatif dengan cara mencari titik temu dan persamaan antara kedua agama dan kedua peradaban.

Inilah makna dialog dalam pandangan mereka. Sedangkan tujuannya – menurut mereka – adalah agar terjadi “interaksi yang produktif antar budaya yang khas, untuk membentuk suatu peradaban alternatif yang unggul, yang membuat suatu pihak dapat menerima pihak yang lain atas dasar landasan yang sama.” (Dr. Milad Hana dalam suatu debat kultural yang diadakan di Kairo pada hari Senin, 2/4/2001). Demikian juga, “Setiap peradaban harus selalu berusaha mencari titik temu dan persamaan di antara mereka, dan segala sesuatu yang bersifat manusiawi harus dikembangkan dan ditumbuh-suburkan, sehingga perdamaian akan tersebar luas.” (Dr. Ja’far Abdussalam, Sekretaris Jenderal Konferensi Universitas Islam).

Bahkan di antara mereka ada yang sampai menyatakan, “Islam adalah agama interaksi dan agama kemajuan, dan bukan seperti kata mereka bahwa Islam adalah agama masa lalu dan agama isolasi. Sebaliknya, masa keemasan Islam dan kaum Muslimin terjadi ketika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain di dunia; dan ketika Islam tersebar luas ke seluruh dunia, Islam mengambil dan mempunyai ruang bagi seluruh warisan peradaban dunia dan berbagai peradaban manusia lainnya, serta memberikan warisan dan peradabannya. Inilah masa keemasan Negara Islam.” (pidato Dr. Qasim Jafar, pada suatu lingkar studi tentang ‘Perang Pertama di Abad Ini’ pada stasiun TV Al-Jazeera, dengan tajuk ‘Ledakan di Amerika: Menjadi Pendorong bagi Dialog atau Perang Peradaban?’ tanggal 29/9/2001). Lebih lanjut ia mengatakan, “Adalah tugas kita sebagai bangsa Arab dan kaum Muslimin untuk menjauhkan diri dari masalah ini ... menjadi tugas kita untuk memiliki kepercayaan pada diri kita, pada peradaban kita, dan pada sejarah dan peninggalan kita, sehingga dapat tampil ke dunia pada posisi yang sama, bukan pada posisi sebagai pengekor ...

Ada pula yang berkata, “Peradaban Islam dibangun atas dasar landasan yang sama dengan peradaban-peradaban dunia lainnya, sehingga Islam dapat menerima keberadaan peradaban lain, dan berinteraksi dengan jalan saling memberi dan menerima.” (Amru Abdulkarim, seorang pengamat politik, dalam situs IslamOnline.net). Ada pula yang berusaha menggunakan ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an sebagai dalil untuk dialog antar peradaban. Ia berkata, “Dan kitab suci kita, Al Qur’an, menekankan perlunya dialog dengan pihak lain, yakni dialog dengan kaum musyrikin,
Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (QS At-Taubah: 6),
atau dialog dengan kaum kafir,
Katakanlah, hai orang-orang kafir” (QS Al Kafirun: 1),
atau dialog dengan agama-agama yang ada dan diakui di dunia,
Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan.” (QS Ali Imran: 64).
Dialog dalam posisi yang sama ... Saya memandang bahwa tidak mungkin ada peperangan yang abadi, karena kita adalah kaum Muslimin. Saya menukil sebuah ayat Al Qur’an,
Marilah menuju suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (QS Ali Imran: 64).
Ayat ini bermakna bahwa tidak mustahil kita berdialog dengan kaum Nasrani, kita berdialog dengan kaum Yahudi, dan kita berdialog dengan yang lain. Mengapa? Karena ada kalimat yang sama di antara kita; kita tidak berdialog untuk mencari kebenaran yang sepihak.” (Ata-Allah Muhajirani, Ketua Penasihat Dialog Antar Peradaban dalam lingkar studi yang sama di stasiun TV Al-Jazeera).

Ada pula orang-orang yang menyerukan dialog antar agama untuk mencari titik temu antara mereka, dan membiarkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Tujuannya hanya sekedar untuk membius kaum Muslimin dari kenyataan adanya benturan. Mereka selalu menyeru kepada kaum Muslimin untuk menyebut diri sebagai “anak-anak Ibrahim” dengan maksud untuk memperkuat keinginan melakukan dialog antara tiga agama semata-mata atas dasar bahwa mereka sama-sama berasal dari keturunan Nabi Ibrahim AS. Ada pula segolongan muslim yang selalu menjadikan ayat Qur’an sebagai dalil bahwa semua Nabi beragama Islam, sebagaimana firman-Nya melalui lisan Nabi Nuh,
Dan aku diperintahkan supaya menjadi yang pertama-tama Muslim.” (QS Az-Zumar: 12),
atau melalui lisan Nabi Ibrahim dan Ismail,
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang Muslim (yang tunduk dan patuh) kepada-Mu.” (QS Al Baqarah: 128),
atau tentang kisah kaum Nabi Luth,
Dan kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang Muslim.” (QS Adz-Dzariyaat: 36),
dan melalui lisan kaum hawariyyin (murid-murid Nabi Isa),
Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim.” (QS Ali Imran: 52)

Barangkali ada juga orang-orang yang mengatakan bahwa kaum Nasrani dan kaum Yahudi adalah orang-orang Muslim, dan ada juga yang mengatakan bahwa penganut ketiga agama itu adalah ummat yang beriman (mukmin) sekalipun dengan jelas ayat-ayat Al Qur’an menyatakan dengan gamblang bahwa kaum Yahudi dan kaum Nasrani merupakan kaum kafir, seperti firman-Nya,
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membedakan antara Allah dan rasul-rasulNya dengan mengatakan bahwa ‘Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami ingkar terhadap sebagian yang lain’ serta bermaksud mengambil jalan lain di antara yang demikian. Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir tersebut siksaan yang menghinakan.” (QS An Nisa’: 150-151)

Dan juga firman-Nya,
Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an).” (QS Al Bayyinah: 1-2),

Demikian juga,
Katakanlah, ‘Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran: 98)
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakinya (untuk diberi) rahmat-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al Baqarah: 105)

Atau,
Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?” (QS Ali Imran: 70)

Demikian pula,
Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan yang besar.” (QS An Nisa’: 156)

Demikian juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an,
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga.” (QS Al Ma’idah: 73)

Dan,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar. (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At Taubah: 29)

Begitu juga ayat Al Qur’an,
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari rumah-rumah mereka pada saat pengusiran yang pertama.” (QS Al Hasyr: 2)

Dengan demikian, maka sesungguhnya mereka tergolong orang-orang yang kafir dan bukan termasuk orang-orang Muslim. Tidak diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim. Secara lughawi, Islam bermakna penyerahan diri (inqiyad), sedangkan menurut terminologi syariah, Islam bermakna diin yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita diperbolehkan menyebut Islam dalam makna lughawi kepada nabi-nabi terdahulu beserta orang-orang yang mengimani dan mengikutinya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW serta sebelum mereka (kaumnya yang ingkar) menyimpangkan kitab-kitabnya. Kita tidak diperbolehkan menyebut mereka (kaum ahli kitab) dengan sebutan itu setelah misi Rasulullah Muhammad SAW. Jadi siapapun yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW dan risalahnya adalah kafir, dan tidak diperbolehkan menyebut mereka sebagai muslim atau mukmin. Allah SWT berfirman,
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan orang-orang ummi, ‘Apakah kamu mau masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat atas hamba-hambanya.” (QS Ali Imran: 20).

Sedangan Rasulullah SAW bersabda,
Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tangannya, tidak seorangpun yang mendengar tentang aku dari kalangan ummat ini, Yahudi, dan Nasrani, kemudian mati tanpa mengimani segala sesuatu yang aku sampaikan, kecuali termasuk golongan penghuni neraka.”

Sedangkan Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Anas tentang Caesar dari Romawi yang menulis surat kepada Rasulullah SAW dan menyatakan, “Saya adalah seorang Muslim”. Maka setelah membaca surat itu, Rasulullah berkata,
Musuh Allah telah berdusta. Tidaklah ia menjadi seorang muslim sementara ia tetap dalam kenasraniannya.”

Amir Mousa, Sekretaris Jenderal Liga Arab, menyatakan secara gamblang bahwa ia tidak percaya bahwa ada peradaban yang lebih baik dari peradaban lainnya. Dari pernyataan itu dapat ditarik pengertian bahwa peradaban Islam tidak lebih baik dari peradaban kapitalis, Hindu, atau Yahudi. Ia mengatakan, “Kami tidak percaya adanya peradaban yang lebih baik”, pada saat ia menyanggah pernyataan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi.

Ada pula di antara mereka yang menggunakan dalil-dalil untuk menerima pandangan pihak lain tanpa batasan dan syarat tertentu, serta tanpa niatan untuk menyalahkannya. Dengan berlindung di balik ayat-ayat Qur’an dalam surat Al Kahfi, mereka mengatakan, “Dialog antar agama merupakan suatu sarana di mana seseorang yang menganut nilai-nilai, aturan-aturan, dan keyakinan-keyakinan lama akan mengetahui nilai dan keyakinan agama yang berbeda, sehingga ia mampu memahami dan memperoleh suatu pandangan filosofis yang formal, tanpa bermaksud menghakimi pihak lain ... para pendukung dialog antar agama selalu mengagungkan motto ‘niat yang tulus’. Dengan begitu, ia membebaskan diri dari berbagai syarat dan tujuan, selain keinginan untuk memahami agama lain dan memandangnya secara ilmiah ... Materi dialog pada prinsipnya tidak berbeda dengan riwayat yang diceritakan dalam Kitab Suci Al Qur’an pada surat Al Kahfi ayat 32 – 42 tentang dialog antara dua laki-laki. Allah mengaruniakan kepada salah seorang di antara mereka – yang kafir – dua kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon kurma, serta mengalir di dalamnya sebuah sungai. Kedua kebun itu menghasilkan buah yang melimpah. Demikianlah, Allah melebihkan harta dan keturunan salah seorang di antara mereka. Riwayat tersebut mengungkapkan bahwa telah terjadi dialog antara dua orang – seorang mukmin dan yang lain kafir – yang berlangsung tanpa batasan atau syarat tertentu. Dengan riwayat tersebut, Al Qur’an menggambarkan secara detil bagaimana yang mukmin tidak memutus dialog hanya karena lawan bicaranya adalah orang kafir. Demikian pula Al Qur’an tidak berusaha menghindari penyebutan istilah ‘kufur’, karena secara keseluruhan mereka berdua mampu membangun dan merumuskan kaidah ilmiah tentang pribadi yang kafir kepada Allah ‘azza wa jalla ... Dialog antar agama berbeda dengan perbandingan agama atau kompetisi agama, sekalipun konsep-konsep tersebut saling tumpang tindih dalam literatur. Perbandingan agama merupakan ilmu pengetahuan di mana suatu agama dibandingkan dengan agama lain dalam hal keimanan (aqidah), pengambilan hukum dan ibadah ritual, pandangannya tentang manusia, alam semesta, serta kehidupan, dan sebagainya, berdasarkan objektivitas dan menghindarkan berbagai prasangka. Sementara itu, kompetisi agama adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuktikan keunggulan suatu agama dan memisahkan suatu agama dari agama lain; suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh dialog antar agama yang merupakan proses untuk saling memahami.” (Husam Tammam, peneliti dan jurnalis dari Mesir, dalam IslamOnline.net, dengan judul ‘Dialog Antar Agama: Suatu Kebutuhan atau Konspirasi Internasional’).

Kutipan-kutipan di atas perlu diketahui untuk memahami lebih jauh maksud dan alasan di balik gagasan penyelenggaraan dialog antar agama, serta pengertian istilah tersebut. Cara terbaik untuk memahami pengertian dialog antar agama adalah dengan mengikuti pernyataan atau tulisan para penganjurnya, karena makna lughawi istilah tersebut tidak berarti apa-apa. Dari seluruh kutipan pernyataan di atas, kita dapat merumuskan makna atau pengertian istilah dialog antar agama sebagai berikut.
Pertama, kesamaan dan persamaan antar agama dan peradaban, serta tidak ada agama atau peradaban yang lebih baik dibandingkan agama atau peradaban lainnya.

Kedua, menerima keberadaan agama atau peradaban lain sebagaimana adanya, serta mengungkap konsep agama dan peradaban lain tanpa mengarahkan berbagai prasangka dan tuduhan, namun dengan tujuan agar saling memahami dan mengakui pandangan pihak lain tanpa batasan atau syarat tertentu.

Ketiga, tujuan dialog antar agama dan peradaban adalah interaksi untuk menciptakan suatu peradaban alternatif yang unggul dengan cara mencari titik temu dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam tiap agama atau peradaban. Hal ini akan menciptakan kemajuan dan perkembangan peradaban, serta menyebarluaskan perdamaian. Dengan kata lain, tujuan dialog antar agama adalah untuk mencegah masuknya Islam dalam arena kompetisi antar peradaban.
Seluruh konsep di atas sangat bertentangan dengan Islam. Tak satu pun di antara ketiga konsep itu yang mempunyai dalil atau syubhat dalil. Seluruh konsep itu bukan berasal dari aqidah Islam, namun merupakan penyimpangan (tamwih) dan penyesatan yang jelas-jelas membahayakan Islam.

Arti Dialog Antar Peradaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam