Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 13 Maret 2013

Mekanisme Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Individu Oleh Negara

Mekanisme Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Individu Oleh Negara


Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan) Oleh Negara Khilafah

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, Islam telah menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk melaksanakan strategi tersebut. Strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:

Pertama, memerintahkan kepada setiap individu bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Agar semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier), maka barang-barang kebutuhan yang ada harus bisa diperoleh oleh manusia sehingga mereka dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sementara itu, barang-barang pokok tersebut tidak mungkin diperoleh, kecuali jika mereka berusaha mencarinya. Oleh karena itu, Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki, khususnya bagi orang yang harus menanggung diri sendiri, adalah sebuah kewajiban sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Kedua, kepala keluarga diwajibkan menafkahi kebutuhan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya. Menurut Az-Zein (1981), kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut telah ditetapkan oleh syariat atas orang-orang tertentu. Kewajiban memberi nafkah kepada istri berupa pangan, sandang, dan papan adalah merupakan kewajiban setiap suami. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:

Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…. (Qs. Ath-Thalaaq [65]: 6).

Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda:

Mereka (para istri) mempunyai hak atasmu agar kamu memberi makan dan pakaian kepada mereka. (Hadist).

Hak mereka atas kamu adalah kamu membaguskan bagi mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka. (Hadist).

Nash-nash ini menjelaskan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya. Selain itu, seorang ayah berkewajiban untuk menafkahi anak-anaknya berdasarkan firman Allah Swt.:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233).

Anak-anak juga berkewajiban untuk menafkahi kedua orang tua mereka. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:

Berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak. (Qs. An-Nisaa’ [4]: 36).

Rasulullah saw. Juga bersabda:

Sesungguhnya yang paling baik dimakan oleh seorang lelaki adalah sesudah kasabnya (usahanya), dan anaknya itu termasuk kasabnya. (Hadist).

Dari nash-nash ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak wajib menafkahi kedua orangtuanya. Nafkah itu menurut syariat adalah pangan, sandang, dan papan.

Selain itu, kerabat yang mempunyai pertalian darah (mahram) juga berkewajiban untuk menafkahi kerabatnya itu didasarkan pada firman-Nya:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…. dan ahli waris pun berkewajiban demikian. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233).

Rasulullah saw. bersabda:

Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh … (Hadis).

Ketiga, negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw. bersabda:

Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:

Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja. (Hadis).

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari juga disebutkan bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Rasulullah saw. lantas memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu yang diambilnya sendiri. Beliau kemudian menyerahkannya kepada orang tersebut. Beliau memerintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan untuk krmudian bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati.

Al-Badri (1992) bertutur sebagai berikut:

Suatu ketika, Amirul Mukminin, ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah Swt. ‘Umar r.a. lalu bertanya, “Apa yang sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?” Mereka menjawab, “Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut, marahlah ‘Umar r.a. seraya berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian ‘Umar r.a. mengusir mereka dari masjid setelah sebelumnya memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau berkata kepada mereka, “Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”

Dari sini, para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah yang sah menurut Islam yaitu Khalifah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. Itulah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Kewajiban ini telah diterapkan oleh para pemimpin Negara Islam (Daulah Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

Keempat, Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun ternyata seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt.:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya; ahli waris pun berkewajiban demikian…. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233).

Ayat al-Qur’an di atas menjelaskan tentang adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orangtuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud al-wârits pada ayat tersebut bukan hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw. telah bersabda:

Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu. [HR. Ibn Majah].

Jika ada yang mengabaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam
kitab-kitab fikih Islam.

Kelima, mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan. Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahram-nya, sementara ia pun tidak memiliki sanak-kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada Baitul Mal (negara). Namun demikian, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang Muslim untuk memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda:

Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut. [HR Al-Bazzar].

Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara agar pihak yang dibantu tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Alasannya, memang negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

Keenam, negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan. Menurut Islam, negara (Baitul Mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini, negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna — baik karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun karena lemah dan cacat sehingga tidak mampu untuk bekerja — maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Negara dapat saja memberikan nafkah Baitul Mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syariat, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…. (Qs. At-Taubah [9]: 103).

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para aamil (pekerja zakat), para muallaf yang diikat hatinya…. (Qs. At-Taubah [9]: 60).

Al-Amilûn adalah para pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat. Negara kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan (asnaf) yang jelas-jelas tersebut dalam al-Qur’an. Di antara mereka ada orang-orang fakir (al-fuqarâ) dan orang-orang miskin (al-masâkin), sebagaimana dalam ayat 60 surat at-Taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kekurangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw bersabda:

Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali aku bertanggungjawab padanya di dunia dan akhirat.
Rasul selanjutnya bersabda:
Oleh karena itu, jika seorang Mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, dipersilakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Akan tetapi, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya. [HR. Pemilik Kitab Shahih yang Enam].

Mekanisme Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Individu Negara Khilafah
Dari: Kehidupan Ekonomi Dalam Daulah Khilafah Islamiyah
Oleh: Muhammad Riza Rosadi
hayat-ul-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam